Oleh A.Halim R
SUATU malam, Mat Belatong tengah duduk-duduk santai di dalam rumah bersama anak dan istrinya. Pintu rumah memang terbuka.
Tiba-tiba, tanpa diketahui kapan masuknya, tanpa memberi salam, tanpa permisi, telah berdiri di dalam rumahnya seorang lelaki bertopi jungle dan bersepatu cowboy, hidung mancung berkulit putih!
Mat Belatong tertegun menatap sosok orang aneh itu, tapi kemudian setengah berteriak ia berkata,“Fausstooo!“
Dan orang itupun berkata,“Oh, Mettt!“
Mat Belatong berangkulan erat beberapa saat dengan pria kulit putih itu. Kemudian lelaki kulit putih itu bersalaman juga dengan anak-istri Mat Belatong.
Tanpa disadari air mata berlinang di pelupuk mata Mat Belatong, demikian juga dengan orang kulit putih itu.
Sedikit pun tak terbayangkan oleh Mat Belatong, ia bisa bertemu lagi dengan pria Itali yang pernah menjadi sahabat kentalnya itu.
Betapa tidak, keduanya telah lama sekali berpisah. Fausto, pada zaman Orde Baru, karena sesuatu dan lain masalah (mungkin sengaja dibuat-buat oleh sesuatu pihak), diusir pergi dari bumi Indonesia sebagai manusia: persona non grata – orang yang tidak disukai!
Tatkala akan berangkat meninggalkan Pontianak, Fausto ingin menyalami Mat Belatong terakhir kali sebelum meninggalkan Bumi Khatulistiwa ini. Namun Mat Belatong menolak salam tersebut. Mat Belatong berkata,“No Fausto, aku tak ingin bersalaman sekarang. Tapi nanti, bila kita bertemu kembali! You harus kembali!“
Perasaan keduanya luluh. Air mata merebak di mata masing-masing.
Tatkala itu, di dada Mat Belatong bergemuruh sebuah protes! Kenapa Fausto diusir, kenapa ia tidak boleh tinggal di Indonesia, kenapa di muka bumi ini ada batas negara, kenapa manusia tidak boleh tinggal di mana ia suka. Bukankah ini bumi Allah yang memang diperuntukkan bagi makhluknya!? Manusia berkelakuan zalim dan egois sehingga bumi Tuhan dibagi-bagi dan diberi berbatas-batas!
“Antaraku dan Fausto, tiada batas etnik, tiada batas bangsa dan negara! Kami dua anak manusia yang bersahabat, punya hati dan rasa: yang telah lepas bebas dari warna kulit dan etnik!“ jerit Mat Belatong di hatinya.
Ketika itu, sebuah kenyataan pahit harus ditelan. Sebuah persahabatan murni terasa mengiris hati tatkala harus berpisah!
Keduanya memang bersahabat kental, punya hobi yang sama, punya karakter yang tak jauh berbeda, walau berlainan etnik dan kebangsaan.
Bila tiga hari saja Fausto tak melihat dan berbicara dengan Mat Belatong, ia merasa rindu dan pasti berkunjung ke rumah Mat Belatong. Demikian pula dengan Mat Belatong.
Pria Itali itu tinggal di Villa Itali, di Jalan Suhada Pontianak. Di situ ia membeli berbagai binatang yang dibawa orang, sehingga tak terasa, di sekeliling rumahnya telah hadir kandang-kandang binatang, mirip kebun binatang kecil – min zoo!
“Saya terpaksa beli binatang-binatang ini Met, sebab saya kasihan. Bukan pada orangnya, tapi pada binatangnya. Saya takut kalau binatang itu sampai jatuh ke tangan orang yang tidak menyayangi binatang. Bisa tersiksa dan teraniaya dia!” ucap Fausto.
Di tangan Fausto, bila ada satwa yang sakit, ia bersedia memanggil dokter hewan untuk mengobatinya. Dan ia mempelajari, mencatat berbagai sifat dan makanan yang diberikan kepada satwa tersebut. Tengah malam buta pun ia bersedia turun, dan memberi makan satwa peliharaannya, bila diketahuinya satwa tersebut tergolong jenis binatang malam.
Pernah suatu hari, Fausto datang ke rumah Mat Belatong tergesa-gesa dengan sepeda motor besarnya.
“Met, kita ke villa sekarang juga! Ada tamu istimewa yang luar biasa!“ ucapnya.
Tergesa-gesa Mat Belatong berpakaian, kemudian keduanya berangkat ke Jalan Suhada.
Tak ada seorang pun tamu di Villa Itali itu, selain keluarga Fausto dan para pembantunya. Fausto masuk ke kamar berganti pakaian. Kini ia bertelanjang dada, berkain sarung yang digulung di perutnya hingga pertengahan betis.
Kemudian ia mengajak Mat Belatong keluar, menuju ke salah satu kandang binatang.
“Luar biasa Met dia! Dia sangat jinak dan manis!” ucap Fausto menunjuk kepada seekor biawak besar yang telah dimasukkannya ke dalam kandang.
Tak cukup dengan bicara, kemudian pria Itali itu masuk ke kandang biawak dan mengelus-elus kepalanya. Mat Belatong jadi mengerti kenapa Fausto berkain sarung. Rupanya ingin bermain dengan binatangnya! Memang begitulah “adat” Fausto, bila ia bergaul dengan satwa kesayangannya!
Namun tiba-tiba saja sang biawak mengibaskan ekornya menghantam Fausto yang lagi jongkok di sisinya. Fausto memekik, sembari berdiri dan memegang alat vitalnya!
Setelah keluar dari kandang, sambil tertawa ia berkata,”Ia tidak menggigit, tapi memukul! Saya jadi tahu sekarang, berhati-hatilah terhadap ekor biawak! Dan ia pasti tidak sengaja memukul bagian yang terlarang!”
Mat Belatong sempat terkejut juga, tapi akhirnya sama-sama ketawa, sebab pukulan sang biawak tidak terlalu fatal akibatnya!
Binatang-binatang peliharaan Fausto itulah yang “dihibahkan” kepada Gubernur Kalbar Soedjiman, yang kemudian melahirkan Bunbin di Sungai Raya Pontianak itu. Termasuk Sunaryo, satu keluarga pembantu rumah tangga Fausto ikut hijrah dari Villa Itali ke Bunbin tersebut, sebagai pemelihara binatang!
Kini Fausto Oriccio, secara mengejutkan dan tanpa dinyana sama sekali telah hadir di rumah Mat Belatong. Masih tetap dengan gaya lama, masih tetap fasih berbahasa Indonesia! Ia menepati janjinya, ia memenuhi harapan Mat Belatong!
Belasan tahun ia telah meninggalkan Indonesia, pulang ke negaranya. Dan ia memboyong istrinya – Linda, wanita Pontianak – dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibano Valerio Oriccio.
“You keterlaluan Fausto, datang ngejot-ngejotkan tak bekabar! You masih Fausto yang dulu juga, tak berubah-ubah!“ ucap Mat Belatong.
“You juga tidak berubah Met. Saya sengaja ingin bikin kejutan. Dan topi ini sengaja saya pakai, biar kelihatan seperti waktu kita masih sering masuk hutan dulu!“ jawab Fausto.
Fausto, seperti biasa, kalau bertemu langsung nyerocos bercerita. Seakan-akan, tak ada yang tak menarik di dunia ini untuk diceritakan. Barang kecik pon kalau diceritakan oleh Fausto jadi besar, jadi menarik!
Dan ternyata ia bukan baru datang dari Itali, tetapi dari Kapuas Hulu!
Ternyata, setiba di Jakarta dari Itali ia tidak langsung ke Pontianak, tetapi ngelayap dulu ke Samarinda, memudiki Sungai Mahakam, lalu berjalan kaki dari Kaltim tembus ke hulu Kapuas! Fausto memang “petualang sejati”.
Ternyata ia juga pernah bertualang ke hutan Brazilia, di wilayah Sungai Amazone!
“Di Brazil saya bertemu dengan orang Indian, yang prototip wajah maupun postur tubuhnya sangat mirip dengan orang Dayak,“ cerita Fausto.
Fausto, memang “tergila-gila“ dengan budaya Dayak, sampai-sampai anaknya pun diberi nama Ibano, yang berasal dari kata: Iban!
Dalam sebuah kesempatan menyela, Mat Belatong bertanya,”Bagaimana kabar Linda sekarang!“
“Wow Met, Linda sekarang sudah berbulu!“ jawab Fausto.
”Itulah ente, tegile-gile miare orangutan, sampai bini awak sorang tumboh bulu!“ ucap Mat Belatong.
“Oh no Met! Bukan berbulu seperti orangutan, tapi berbulu seperti umumnya orang Itali. Dia beradaptasi dengan cuaca di Itali yang ada musim dingin!“ jawab Fausto.
“Tadak! Ini pasti salah you Fausto, bini tak dikasik kumbuk, tak diberek selimot tebal! Pasti Linda tu kesejukan, sementara awak ngander keliling dunie!“ bantah Mat Belatong.
“Iya Met, mengenal dunia memang menarik. Di hulu Sungai Mahakam saya bertemu dengan orang-orang Dayak Penihing. Dan mereka yang mengantar saya berjalan sampai ke hulu Kapuas melewati perbatasan Kalbar – Kaltim. Dan orang-orang Penihing itu ikut saya turun sampai ke Putussibau,” ungkap Fausto.
“Met, orang-orang Penihing itu waktu mengantar saya membawa pukat dan jala! Kalau sampai waktu istirahat, dan perlu masak, mereka menangkap ikan. Untuk tempat kami bermalam, mereka cepat sekali membuat pondok. You tahu Met, orang-orang Dayak itu kalau memerlukan sesuatu selalu masuk hutan! Perlu tali, perlu sayuran, perlu api, perlu obat, mereka masuk hutan sebentar. Hutan itu seperti super market bagi mereka!” cerita Fausto.
“Fausto, apa yang you ceritakan telah you nikmati sendiri! You keterlaluan Fausto, kenapa you tidak ajak saya!?“ tukas Mat Belatong.
“Sorry Met, saya tidak sengaja. Saya hanya coba-coba untuk ke Pontianak lewat Kaltim!” jawab Fausto tertawa.
“Berjalan dengan orang-orang Penihing, menyenangkan. Mereka periang, pandai berpantun dan bercerita, suka humor,” tambah Fausto.
“Iya, saya cuma jadi pendengar, telior-lior! Saya tahu orang Penihing, dan saya pastikan jalan yang you lewati itu adalah jalan yang pernah dilewati oleh Dr Anton W Nieuwenhuis pada tahun 1894. Tapi ekspedisi orang-orang Belanda itu, dari Kalbar ke Kaltim. Saya punya bukunya!” ucap Mat Belatong.
“Oh ya, berarti you juga sudah berjalan walaupun lewat sebuah buku!“ jawab Fausto sambil tertawa.
“Ah Fausto, apalah artinya membaca sebuah buku dibandingkan dengan makrifat, atau pengenalan seperti yang you saksikan dan rasakan! Buku hanya membuat saya pandai berdalil, sedangkan you telah melakukan perjalanan (thariqah) dan perjuangan keras (mujahadah), untuk mencapai pengenalan yang sesungguhnya (makrifat). You telah mengambil ilmu dari telaganya, sedangkan saya cuma menciduknya dari ember ‘Syaikh’ Dr Nieuwenhuis! Ini baru makrifat dunia, betapa susahnya. Belum lagi makrifat Ketuhanan,” ucap Mat Belatong. ***
( Pontianak, 17 November 2005 )
Friday, July 27, 2007
MAT BELATONG “LINTAS BANGSA “
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment