Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, July 27, 2007

MAT BELATONG DI TENGAH PERBEDAAN

Oleh A. Halim R

MAT BELATONG tengah membaca buku kecil “Surat ke Baghdad“ yang antara lain bercerita :
Hoja Nasruddin Affandi bersama putranya melakukan suatu perjalanan. Hoja Nasruddin lebih suka menyuruh anaknya menunggang keledai dan ia berjalan kaki.
Di tengah perjalanan mereka mendengar beberapa orang berkata: Lihatlah anak yang bahagia itu! Itulah pemuda masa kini. Mereka tidak hormat kepada orang tua. Dia menunggang keledai, sementara ayahnya menderita berjalan kaki!
Mendengar komentar itu putra Hoja Nasruddin merasa sangat malu. Lalu ia bersikeras untuk berjalan kaki, dan ayahnya naik keledai. Maka Hoja Nasruddin pun naik keledai, sedangkan anaknya berjalan di sampingnya.
Tak lama, mereka berpapasan dengan beberapa orang lainnya, yang berkata: Lihatlah itu! Kasihan anak itu harus berjalan kaki, sementara ayahnya naik keledai!
Setelah melewati orang-orang tersebut, Hoja Nasruddin berkata kepada anaknya: Anakku, tampaknya yang paling baik kita lakukan adalah kita berjalan kaki bersama-sama. Dengan demikian tidak akan ada lagi seorang pun yang bisa mengeluhkan kita.
Mereka pun meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Di jalan yang menurun mereka bertemu dengan beberapa orang yang mentertawakan mereka dan berkata: Lihatlah mereka yang totol itu! Keduanya berjalan kaki di bawah terik matahari, dan tiada seorang pun dari mereka yang menunggang keledai!
Kemudian Hoja berkata kepada anaknya: Itulah, betapa susahnya lari dari perbedaan pendapat manusia!
Mat Belatong ingat kepada sebuah perumpamaan yang sudah sangat umum, berkenaan dengan perbedaan. Yaitu cerita tentang sejumlah orang buta yang memegang seekor gajah. Ada yang memegang kakinya, ada yang memegang kupingnya, ada yang memegang belalainya, ada yang memegang ekornya .
Setelah itu, tatkala ditanya bagaimana tentang bentuk binatang gajah itu, maka jawaban mereka pun berbeda-beda. Tergantung di mana mereka berdiri dan apa yang dipegangnya!
Cerita ini menurut Mat Belatong, bisa terjadi di kalangan orang buta. Baik buta fisik maupun buta mata hati! Dan si buta itu tak ingin “celik”, dan tak ingin “berjalan”!
Daripada menjadi manusia buta fisik maupun buta mata hati, lebih baik menjadi seekor bakteri! Sebab seekor bakteri yang hinggap di kuping, di belalai, di kaki maupun di ekor gajah, biarpun buta tetapi tidak buta mata hati. Ia punya tujuan, atau naluri. Bukan hanya sekadar ingin hinggap dan memegang gajah, tetapi juga harus “berjuang” dan “berjalan” menembus pori kulit gajah, kemudian mengalir lewat pembuluh darah.
Apa yang terjadi kemudian? Ternyata semua bakteri, baik yang hinggap di kaki, di kuping, di belalai gajah, setelah melewati perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya bertemu di jantung! Tatkala semua bakteri telah sampai ke “jantung“ gajah, niscaya tiada lagi kalut-ribut tentang gajah itu lebar, gajah itu bulat panjang, gajah itu bulat besar macam pohon! Mereka fana dalam kearifan, hilang debat, sirna perbedaan!
Jantung, makna fisiknya dalam bahasa Arab adalah: qalb. Dan qalb atau kalbu itu, kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “hati”. Padahal senyata-nyata bentuk fisiknya adalah: jantung! Dan di balik makna fisik itu ada makna yang lebih dalam yaitu: hati sanubari! Dalam makna inilah hati itu sebagai “rumah Allah: Baitullah“, atau dikenal juga dengan sebutan “Latifah Rabbani“.
Bagi para peniti jalan ruhani, jantung adalah salah satu “latifah“ atau salah satu titik “cakra“ (sumber energi) di dalam diri manusia!
Perjalanan menuju ke “ketiadaan perbedaan“ itu, adalah sebuah perjalanan intensif yang panjang. Secara fisik, sebuah perjalanan seperti yang dilakukan oleh para bakteri itu. Namun perjalanan yang sesungguhnya adalah perjalanan ke dalam diri, menemukan: hati! Sebuah pekerjaan berat memang harus dilakukan, yaitu melawan diri, membersihkan hati dari segala kekotoran dan penyakitnya!
Contoh populer yang tidak rumit, ambil saja apa yang telah dialami oleh Anand Krishna pria berdarah India kelahiran Solo.
Menurutnya: Saya pernah mendalami aliran-aliran dari berbagai agama yang ikut bicara tentang meditasi. Saya tidak puas, sampai saya bertemu dengan guru saya Sheikh Baba dan lewat beliau menemukan meditasi sufi yang dikembangkan oleh Mustafa Jallaluddin Rumi (sekitar 1200 M). Di situ saya menemukan betapa nikmatnya meditasi.
Pun Anand Krishna berkata: Mereka yang masih melihat perbedaan, melihat kehidupan dari satu sisi, memilah suka dari duka, kelahiran dari kematian, belum mengalami kelahiran spiritualitas dalam dirinya. Mereka masih mandul!
Mau memahami “ketiadaan perbedaan“ sampai ke tahap yang “dahsyat“, baca saja kitab Al Mawaqif karya An-Nafri! Lembut sedikit, bisa diperoleh dari kitab-kitab Syaikh Abdul Qadir Jailani, ataupun Syaikh Fariduddin Attar.
Mengucapkan kalimat “berbeda pendapat adalah rahmat“ memang mudah di lidah, gampang: sebagai basa-basi! Namun untuk menjalankannya sampai kepada “kita sepakat untuk berbeda pendapat“ dan “kita tetap bersatu“ bukanlah hal yang mudah.
Dan perbedaan pendapat bukanlah hal baru, bahkan telah ada sejak zaman Rasulullah masih hidup. Sekelompok kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, ada yang dikatakan sebagai orang-orang riya dan munafik!
Beda pendapat dalam sejarah, tak jarang mengakibatkan pengucilan, pengusiran, pengkafiran bahkan pembunuhan dan peperangan.
Iman Al-Ghazali pernah dicap sebagai kafir, dan kitab Ihya Ulumuddin pernah dibakar! Di antara orang-orang yang mensponsori cap kafir dan menyuruh bakar kitab Ihya Ulumuddin itu adalah Al-Qadhi ‘Iyadh dan Ibnu Rusyd.
Al-Ghazali yang digelar Hujjat al-Islam itu hanya membalas dengan doa agar Allah menimpakan kehancuran kepada Al-Qadhi ‘Iyadh. Entah secara “kebetulan“ tatkala doa itu naik ke langit, Al-Qadhi ‘Iyadh mendadak meninggal di kamar mandi!
Syaikh Abu Yazid Al-Busthami, pernah diusir dari tanah kelahirannya sampai tujuh kali, oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Tokoh yang memprovokasi orang untuk membencinya itu adalah imam Al-Husain bin Isa Al-Busthami.
Setelah Al-Husain meninggal, barulah Abu Yazid pulang ke Bustham. Ternyata ia dicintai dan dimuliakan oleh masyarakat negerinya!
Dalam bermazhab pun sesungguhnya orang tak perlu ngotot-ngototan, sebab Muhammad bin Idris Al-Syafii yang mazhabnya banyak dianut di negeri kita ini – Mazhab Syafii – pernah menjadi murid Imam Malik. Bahkan Imam Safii yang lahir bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah, sempat pula belajar ilmu fikih kepada salah seorang murid Imam Abu Hanifah.
Sebuah mutiara dari ucapan Al-Syafii adalah: Tidak ada sesuatu yang lebih indah disandang oleh seorang ulama melebihi kemiskinan dan sifat qanaah (menerima apa adanya), serta sikap rela memiliki dua hal itu.
Al-Syafii tak risih bergaul dengan kaum sufi, sebab beliau sendiri pernah bergaul dan berkawan dengan para sufi selama sepuluh tahun. Dan beliau berkata,”Aku tidak mendapatkan sesuatu manfaat dari mereka, kecuali dua kalimat berikut ini: waktu itu pedang , dan sifat terjaga paling utama adalah tidak menemukan apa-apa!“
Imam Ahmad bin Hambal – tokoh Mazhab Hambali – pun pernah pula menimba ilmu dari Imam Safii.
Pada zaman pemerintahan Khalifah Al-Muktashim – Khalifah Abbasiyah – Imam Ahmad bin Hambal pernah dipenjara selama 28 bulan, karena ia berada di pihak yang berbeda paham dengan pihak Al-Muktashim. Setiap malam dia dicambuk, disiksa, dibanting dan diinjak-injak penjaga tahanannya. Hal yang lebih berat dirasakannya lagi tatkala Al-Muktashim meninggal dan digantikan oleh Al-Watsiq. Baru setelah khalifah itu meninggal, setelah pucuk pemerintahan beralih ke tangan Khalifah Al-Mutawakkil, Ahmad bin Hambal dibebaskan.
Tentang “mudah”-nya satu pihak mengkafirkan pihak atau orang lain, Taqiuddin Al-Subki seorang ulama yang mendapat gelar Syaikh al-Islam antara lain berkata,”Mengkafirkan orang lain yang masih mengucapkan ‘La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah‘ adalah suatu perkara yang tidak boleh dianggap remeh!“
Tokoh sufi kontroversial Husain Al-Halaj dihukum mati lantaran tuduhan yang dilayangkan oleh Amr bin Utsman Al-Makki. Beda paham dan pendapat bisa menjurus kepada perebutan pengaruh dan kekuasaan, contohnya terjadi pada Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib – cucu Rasulullah – yang terbunuh dan dipenggal kepalanya, pada usia 56 tahun. Beliau mempunyai lima orang anak dan mempunyai banyak keturunan, yang hingga kini menurunkan para habib, sayyid ataupun syarif!
Tentang perselisihan dan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam, Abdul Wahhab Al-Sya’rani, seorang ulama besar Mesir abad ke-10 berkata: Sudah menjadi hikmah ketuhanan bahwa tidak ada satu pun orang yang diyakini kebenarannya seratus persen dan dapat diterima oleh semua orang. Ini merupakan rahasia yang tersembunyi. Karena jika semua orang membenarkannya, tentu ia tidak akan mendapat pahala bersabar atas pendustaan orang-orang yang mendustakannya. Sebaliknya, jika semua orang mendustakannya, tentu ia akan kehilangan pahala bersyukur atas adanya orang-orang yang membenarkannya serta mengikuti jejaknya. ***
(Pontianak, 1 Agustus 2005 )

No comments: