Oleh A. Halim R
MAT BELATONG membuka pintu rumahnya, menunggu kedatangan seorang tamu. Sebab sang tamu sudah berjanji lewat telefon mau datang. Pintu rumah yang biasanya tertutup, telah dibuka lebar.
Soal pintu rumah, membuat Mat Belatong kadang-kadang agak runsing gak. Tak boleh tebukak. Tang ade jak yang mintak sumbangan. Ada yang untuk TPA, ada yang untuk pesantren, ada yang untuk masjid, ada yang untuk panti asuhan, ada yang untuk keponjen pribadi.
Yang minta sumbangan itu pun sangat beragam. Ada yang lelaki ada yang perempuan, ada yang membawa map, ada yang membawa bas dari kotak sabun, ada yang membawa karong gendom, ada yang membawa bekas kaleng Milo! Ada yang berjilbab ada yang besongkok, ada yang pekak ada yang butak. Lebih perak lagi: ada yang seperti memaksakan kehendaknya! Perihal asal muasal peminta sumbangan itupun macam-macam. Ada yang dari daerah ini sendiri, tapi ada juga yang tepelesat dari daerah lain yang tak tanggung-tanggung jauhnya: Sulawesi dan Madura!
Itu yang bagian minta sumbangan, belum lagi yang namanya sales. Dari buku murah sampai buku mahal, dari barang kosmetik sampai mobil.
“Jaman ini memang dah gile,” pikir Mat Belatong, “cobe gak tengok model rumah ana ni! Ape memang dah pantas untok ngasik sumbangan betumpok tiap hari, ape memang dah pantas untok disandingkan dengan mobil bagos? Untok sumbangan masjed tiap Jumat jak ana cume bise ngasik limak ribu!“
Tak lama tamu yang ditunggu Mat Belatong datang dengan sepeda motor. Sambil mengepit helem standar, ia nongol di depan pintu sembari memberi salam: Assalamu’alaikum!
Mat Belatong membalas salam: ‘Alaikum salam! “Silekan masok Pak Pastor Willi!“ lanjut Mat Belatong.
Tamu yang datang itu memang seorang pastor, yang bukan lain adalah Dr William Chang! Mat Belatong tahu benar adat pastor yang satu ini, tak rikuh mengucapkan: Assalamu ‘alaikum. Ia sangat rasional, menguasai sejumlah bahasa. Dan ia paham kalau ucapan singkat berbahasa Arab itu “cuma “ bermakna: Sejahtera atasmu!
Artinya ya memang itu. Hanya saja diucapkan dalam bahasa Arab. Dan Arab tidaklah bermakna Islam.
Islam bukanlah agama milik sesuatu kaum atau bangsa, melainkan untuk umat manusia! Tak sedikit orang Arab yang beragama non-Islam. Omar Syarif yang bintang filem Mesir terkenal itu, pun kebetulan bukan Islam. Apalagi yang namanya orang Libanon , Palestina dan lain-lain.
Dan Mat Belatong pun pernah gak membaca riwayat, kalau salam tersebut mula pertama diucapkan oleh seseorang yang belum Islam yaitu Abu Dzarr Al-Ghifari kepada Nabi Muhammad SAW.
Tatkala itu Rasulullah sedang berada di persembunyiannya, di rumah Arqam bin Abi Arqam di Bukit Safa. Abu Dzarr putra Junadah, seorang Arab Badui dari kampung Ghifar di kawasan gurun Rabadzah antara Mekah dan Madinah. Abu Dzarr yang ingin bertemu dengan Rasulullah itu diantarkan oleh pemuda tanggung Ali bin Abi Thalib.
Tatkala bertemu Rasulullah, spontan Abu Dzarr berucap: Salam ‘alaik! Maknanya, ya: Sejahtera atasmu!
Dan Rasulullah menjawab: ‘Alaika salam wa rahmatullah!
Dan inilah salam pertama dilakukan dalam Islam.
Setelah itu, sejarah mencatat bahwa Abu Dzarr Al-Ghifari adalah orang keempat atau kelima yang masuk Islam.
Beda ‘alaik (‘alaika) dengan ‘alaikum, hanyalah tunggal dan jamak.
Akan halnya pastor William, walaupun tak tergolong kepada “masyarakat adat“ tapi penyandang gelar S3 keluaran Roma ini bagos benar adatnya.
Kalau berjanji dia tepat waktu, kalau terhalang oleh sesuatu hal ia cepat memberi tahu via telefon. Jadi orang tak buang waktu tertunggu-tunggu. Tak macam kebanyakan “orang kite“ kalau bejanji suke telambat, lebeh parah agik suke mungker! Bekabar ade halangan lewat telefon pon, belom jadi adat kebiasaan. Embutakkan orang pon macam bukan masalah!
Adat lain dari pastor ini, biarpun ke rumah orang, atau ke kantor orang, pasti helem standarnya dibawa masuk.
Bukan apa-apa, ya: takut hilang! Lebih dari itu, barang tersebut bukan milik pribadi, tapi barang titipan atau amanah. Sebab pemilik sepeda motor dan helem itu: gereja!
Bayangkan, betapa ketatnya ia memegang amanah! Coba kalau kebanyakan orang diberi amanah, baik oleh negara ataupun manusia lain?!
Sebagai seorang biarawan, hak kepemilikan pribadinya sangat terbatas. Seluruh hidupnya untuk kepentingan gereja dan Tuhannya, seluruh keperluan hidupnya ditanggung oleh gereja.
“Cobe kalau tak jadi pastor, tentu Pak Willi tak perlu bepanas-panas naek motor. Mane ade doktor naek motor di Kalbar ini. Yang tak sekolah jak bise jadi toke, naek sedan,“ gurau Mat Belatong.
Sang pastor cuma ketawa. Kemudian ia berucap,”Dulu, orang tua saya di Singkawang, memang tak setuju saya jadi biarawan. Tapi setelah melihat keseriusan saya, mereka jadi mengerti.”
Obrolan Mat Belatong dan Romo William – begitu ia biasa disapa – tampak asyik, santai dan bisa serius. Baik menyangkut soal politik, situasi daerah, nasional sampai hal-hal yang berkenaan dengan keagamaan.
Aneh juga, Mat Belatong yang cuma S Lingau itu bisa nyambung omongannya dengan Romo William yang S3 itu. Mat Belatong memang manusia di segala cuaca, pergaulannya bukan cuma “lintas sektoral“ saja, tapi lintas agama, lintas etnik, lintas bangsa, lintas batas dan lintas alam!
Dan biasanya, Romo William berkunjung tidaklah lama. Paling lama 45 menit, sebab ia memang tak punya waktu banyak untuk ngobrol. Pola kehidupan sehari-harinya telah terprogram, demikian juga penggunaan waktu.
Dalam percakapannya dengan Mat Belatong, pernah Romo William bercerita, bahwa sewaktu kuliah di Roma, beberapa temannya sesama pastor ada yang berasal dari Turki dan Libanon. Dan kalau melaksanakan misa, kedua rekan ini tak sungkan-sungkan menggunakan bahasa Arab dialek Turki ataupun Libanon.
Bahkan kalau ditanya: Apa kabar? Mereka menjawab: Hamdallah! Ya, kata ini ucapan ringkas yang sama dengan: Alhamdulillah. Artinya tak beda: Sekalian puji bagi Allah!
Berkenaan dengan masalah agama, pernah Mat Belatong bertanya,”Pak Willi kalau pagi bangon jam berape?”
Pastor William menjawab,“Pukul setengah lima.”
“Berapa lama waktu yang Pak Willi berikan untuk berhubungan dengan Tuhan setiap pagi?“ tanya Mat Belatong lagi.
“Satu setengah jam,“ jawab Romo William.
Setelah Romo William balek, Mat Belatong temenong, bepiker.
Peribadatan yang dilakukan oleh setiap pemeluk agama, tujuannya tidak lain: untuk mencari keselamatan hidup di dunia dan akhirat! Semua ajaran agama menyatakan: ada kehidupan setelah mati yaitu kehidupan akhirat! Semua umat beragama yang baik, ingin mencari ridha Tuhan, dan ingin masuk surga!
Untuk mencari “tiket ke surga“ itu, Romo William saja memberi waktu satu jam setengah untuk Tuhannya setiap subuh, awal pagi. Belum lagi di bagian waktu yang lain. “Lalu awak sorang bagaimane?“ pikir Mat Belatong.
Mat Belatong introspeksi diri: dengan waktu 10 - 15 menet, duet 5 – 6 ribu, pengen masok sorge! Masok akal ndak? Ape agik kalau kelakuan tak senonoh, hati gelap penoh dengan iri-dengki, rakos-tamak, masin-kedekot, tukang bual, zalim, pencuri, perampok. Udah intensifkah awak bejalan dengan jiwa-raga menuju Tuhan? Safari Ketuhanan bukanlah sekadar macam ikot apel “ ikan sepat- ikan gabos“, makin cepat makin bagos! Melainkan sebuah perjalanan jasmani dan ruhani (terutama) yang panjang dan rawan. Kesesatan yang nyata mudah terlihat, bisa disadari, bisa dibetulkan, bisa diluruskan. Kesesatan yang tidak nyata sangat membahayakan!
Akhirnya Mat Belatong tesandar sorang.
Melihat kenyataan yang ada, buntut-buntutnya ia berkesimpulan: dunia ini memang dah kacau-balau!
Perilaku “ancor-lebor“ dewasa ini menurut kacamata Mat Belatong, telah dilakukan oleh sedemikian banyak orang, hampir di semua strata sosial, oleh manusia dari berbagai agama. Terbanyak tentu saja oleh orang agama awak, pikir Mat Belatong. Karena agama awak ini paling banyak penganutnya di Indonesia!
Kapan bisa berubah baik? Hanya Allah jaklah yang tahu. ***
( Pontianak , 23 Juni 2005 ).
Friday, July 27, 2007
MAT BELATONG “LINTAS AGAMA“
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment