Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, July 27, 2007

MAT BELATONG DAN SAMPAH

Oleh A.Halim R.

SUATU hari Mat Belatong berjalan-jalan meniti trotoar di dalam kota. Di suatu tempat, matanya terpandang kepada sebuah tripleks yang terpacak di pinggir trotoar itu. Di triples tersebut tertulis: Yang Membuang Sampah di Sini Anjing!
Mat Belatong melihat, di trotoar, di bawah tripleks itu memang ada onggokan sampah, bahkan sampai menutupi trotoar.
“Ini pasti anjing yang membuang sampah di sini,“ gumamnya.
Mat Belatong berhenti dan berpikir memandang apa yang terpajang di depannya itu. “Luar biasa,“ ucap Mat Belatong di dalam hati,”banyak hal yang tidak kuketahui, banyak perkembangan kota yang tidak kuikuti!“
“Ternyata kini, anjing saja sudah pandai membuang sampah sendiri. Ternyata Pemkot telah menyediakan tempat pembuangan sampah khusus untuk anjing. Ini sungguh suatu kemajuan dan kebijaksanaan yang brillian. Dan tentulah ini berkat dukungan dari para anggota dewan yang berpandangan maju dan jauh ke depan!“ pikir Mat Belatong.
Sambil ketawa sendiri ia berucap,”Pasti ini sebuah program yang bertahap, dan berkesinambangan. Untuk langkah pertama, mungkin perda sampah margasatwa yang dibuat, baru untuk bangsa anjing. Setelah sukses bukan mustahil diikuti perda sampah untuk bangsa babi, kerbau, beruk, monyet, keledai dan lain-lain!“
“Jangan aneh bila suatu ketika di kota ini akan terpasang banyak pelang yang bertulisan: Yang Membuang Sampah di Sini Babi! Yang Membuang Sampah di Sini Monyet! Yang Membuang Sampah di Sini Biawak! Yang Membuang Sampah di Sini Keledai!“ lanjut Mat Belatong.
Dan tiba-tiba Mat Belatong dikejutkan oleh kedatangan serombongan kambing. Dari anak kambing sampai kambing bandot, termasuk induk kambing, kambing dare dan kambing bujang! (bukan Bujang Kambeng!).
Melihat gelagatnya, kambing-kambing tersebut bakal main seruduk saja. Daripada melabor ke paret, Mat Belatong menghindar. Dan ia ingin menyaksikan apa yang dikehendaki oleh rombongan kambing itu.
Apa yang disaksikannya, sangat menakjubkan! Rupanya rombongan kambing itu adalah “tim kebersihan“! Sampah-sampah yang dibuang anjing itu, disortir, diangkut oleh rombongan kambing. Mungkin karena belum ada anggaran untuk pengadaan truk bagi “tim kebersihan“ berkaki empat itu, untuk sementara sampah-sampah tersebut dimasukkan kambing ke dalam perutnya! Dan pasti akan dibuang di tempat lain yang telah ditentukan!
“Luar biasa,” pikir Mat Belatong,“bukan hal yang mudah untuk merancang dan merealisir hal seperti ini. Yang membuang sampah binatang, yang mengangkut sampah juga binatang! Yang membuang sampah anjing, yang mengangkut sampah kambing! Dua satwa berbeda karakter, ternyata bisa diatur bekerja sama!”
Mat Belatong ingat akan sebuah riwayat, zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saking adil dan arifnya Sang Khalifah, sampai-sampai serigala dan domba bisa hidup bersama di sebuah padang gembalaan. Tidak saling mengusik, tidak yang satu memangsa yang lainnya! Kiranya kota ini sudah sampai ke posisi atau maqam yang demikian itu!
Mat Belatong bersyukur, khalifah dan para pemimpin kota ini ternyata manusia-manusia yang adil, arif bijaksana. “Tanda-tanda”-nya telah terpentang di trotoar itu, tersaksikan sendiri oleh Mat Belatong !
Dengan hati berbunga Mat Belatong meneruskan perjalanannya menyusuri kota.
Sambil berjalan, pikirannya menerawang ke beberapa tahun silam. Dulu, kalau tak salah, Pemkot pernah “mencanangkan“ bahwa untuk mengatasi masalah sampah di kota ini, akan dilakukan program “cacingisasi“! Seorang pejabat Pemkot, dengan semangat berapi-api, bagaikan telior-lior ngomong di suratkabar, akan mendatangkan cacing ke kota ini untuk memusnahkan sampah. Bibit cacing yang kabarnya bercikal-bakal dari Australia itu akan dibagikan kepada penduduk terutama petani untuk diternakkan!
Sedangkan sampah akan dipilah, di mana sampah organik untuk makanan cacing, sedangkan sampah nonorganik semisal plastik, panci pesok, belangak sombeng dijadikan santapan mesin penggiling sampah!
Tentang manfaat cacing diuraikan cukup panjang lebar. Cacingnya sendiri setelah beranak-pinak, bisa dijual dengan harga puluhan ribu per kg. Sedangkan kotorannya sangat baik dipakai untuk rabuk tanaman!
Bahkan sang pejabat bersangkutan dengan bangga mengatakan, ia sendiri pernah menikmati kripik cacing. Enak, lezat, bergizi tinggi, bahkan bisa untuk mengobati berbagai jenis penyakit! Mendengar provokasi, eh propaganda Pak Pejabat, Mat Belatong sampai telior-lior. Padahal baruk membace koran jak, belom agik nengok kripeknye !
“Sungguh ide yang cemerlang juga, untuk membersihkan sampah kota menggunakan laskar bawah tanah: cacing!“ pikir Mat Belatong.
Namun “program cacingisasi“ itu bagaikan tak berbuntut, menguap begitu saja. Malah sebaliknya orang dipambarkan dengan berita baru: anak-anak SD di Pontianak sebagian besar cacingan! Ini tindakan nekad: beternak cacing dalam perot!
Dan ternyata, hal terkini yang terjadi dalam dunia persampahan, tampaknya Pemkot telah mengganti cacing dengan kambing untuk membersihkan kota dari sampah.
Ini pasti lebih bijaksana daripada membiarkan anak-anak SD memelihara cacing di dalam perut!
Melewati Jalan Apel, Mat Belatong melihat tumpukan sampah. Walau pun tak ada pelang bertulisan “Yang Membuang Sampah di Sini Manusia!“, Mat Belatong tahu di tempat itu manusia suka membuang sampah. Kebetulan ada ibu-ibu bersepeda motor mencampakkan bungkusan sampah ke situ.
Di tempat itu ia menyaksikan beberapa orang tengah mencari sesuatu. Dari penampilannya, mereka bagaikan pengembara dari negeri yang jauh. Berbusana lusuh seadanya, bahkan ada yang hampir tak berbusana. Rambut gondrong awut-awutan, bahkan ada yang berambut gimbal.
Apa yang mereka lakukan, hampir sama dengan kambing. Ketemu kulit semangka mereka kunyah dan mereka telan. Ketemu buah durian busuk mereka santap. Ketemu bungkusan daun pisang mereka buka, ternyata masih ada tersisa nasi di situ!
Mereka hidup benar-benar mandiri. Ketawa sendiri, dan berbicara pun tidak membutuhkan orang lain untuk menjadi pendengar. Mereka pengembara tanpa beban, tanpa buntalan pakaian, tanpa sekepal makanan pun untuk bekal.
“Mungkin beginilah kehidupan para darwis, sufi pengembara berpuluh abad lampau, seperti yang banyak diceritakan dalam kitab-kitab tua. Tak ada makanan, mereka makan akar rumput. Pantang mengemis atau meminta!“ pikir Mat Belatong.
Di mata Mat Belatong, mereka manusia yang sangat mengagumkan! Manusia pengembara yang menjalani hari-hari dalam hidupnya penuh rasa optimis. Untuk makan besok, tak perlu dipikirkan hari ini, sebab besok niscaya terselesaikan. Mereka, sama halnya dengan burung, sangat yakin atas janji Allah tentang rezeki.
Mereka datang dan pergi ke tempat sampah, dengan tangan kosong, kecuali mungkin perut yang sedikit terisi.
Sampai di Pasar Sentral, dekat tugu yang seperti kubah masjid itu, Mat Belatong bertemu dengan seorang pemancing. Penampilannya, hampir sama dengan yang ditemukannya di Jalan Apel. Rambutnya gimbal, menyatu, bagaikan bantal!
Ia memancing di selokan kecil dekat tugu itu, sambil menggoncang-goncangkan bambu joran pancingnya.
Mat Belatong mengeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman. “Ilmu orang ini pasti sangat tinggi!“ gumam Mat Belatong. Betapa tidak, lelaki itu memancing tanpa menggunakan tali pancing!
Kalau ia mengharapkan ikan, jelas tidak! Mana kailnya? Kalau “mengail“ tidak mengharapkan ikan, lalu apa yang dicarinya!?
Kemudian Mat Belatong berkata,“Luar biasa, betapa orang ini bekerja, memancing, tanpa mengharapkan akan beroleh sesuatu apapun! Ia memancing karena memegang amanah: joran pancing ada di tangannya, entah ditemukan di mana! Joran pancing harus diperlakukan sebagai joran, kendati tak berkail! Ia ikhlas, kendati hanya kepuasan rasa yang ditemukannya, nun di lubuk terdalam di hatinya! Sama halnya: organ tubuh telah diamanahkan sebagai anggota sujud, maka bersujudlah!“
Tatkala melewati pemancing itu, Mat Belatong berkata,“Terima kasih!“
Si pemancing hanya ketawa, melihat Mat Belatong berlalu.
“Terima kasih,” ucap Mat Belatong mengulangi kalimatnya,”engkau telah mengajariku tentang keikhlasan yang sesungguhnya!“
Melihat banyaknya jumlah “darwis“ di dalam kota ini, Mat Belatong berpikir, bukan mustahil ini sebuah program yang sengaja dilakukan oleh Pemkot, yaitu: menyebarkan “guru-guru ruhani“ untuk masyarakat kota yang sibuk, yang tak dekat dengan mimbar khotbah, yang jauh dari majelis pengajian, yang lepas dari jangkauan para penceramah agama! Sebab bagi orang yang mau belajar, di manapun ia bisa belajar. Bahkan dari majnun pun bisa dipetik pelajaran! Bukankah: senyata-nyatanya Al-Quran adalah alam yang terbentang, senyata-nyatanya masjid adalah setiap jengkal bumi Allah?
Sebuah kalimat terngiang di kupingnya: Mau menjadi waras, belajarlah dari orang gila. Mau gila, belajarlah dari orang yang mengaku dirinya waras!
Oleh sebab itu, berhati-hatilah terhadap orang yang mengaku dirinya waras. Sebab ia bisa mengajarkan dan menularkan berbagai macam penyakit gila! Antara lain: gila harta, gila tahta, gila wanita, gila babi, gila pangkat, gila hormat, gila kuasa, gila pujian, gila pamer, gila judi, dan lain-lain! ***
( Pontianak, 16 Juli 2005

No comments: