Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, July 13, 2007

MAT BELATONG DAN “KERE AYEM“

Oleh A. Halim R

MAT Belatong tengah berjalan di kota Pontianak yang panas dan berdebu.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran seorang pemulung yang menghela gerobaknya, persis sapi benggala dan gerobaknya yang pernah ada di Pemangkat sekian tahun yang lalu. Hanya saja, sapi benggala itu menghela gerobaknya sambil geleng-geleng kepala mirip orang sakau menikmati house music. Entah-entah pula tengah berzikir: meniti titik-titik latifah (cakra : sumber energi ) yang ada ditubuhnya.
Melihat pemulung itu lewat, Mat Belatong terkagum-kagum. Betapa tidak? Di gerobak pemulung itu tertulis dengan huruf besar-besar bewarna merah: Kere Ayem!
Mat Belatong membetulkan kaca matanya, sambil melotot : Kari Ayam ataukah Kere Ayem !? Membayangkan kari ayam, Mat Belatong telior-lior !
Akhirnya ia paham, yang tertulis di gerobak itu memang: Kere Ayem. Istilah Jawa, yang maknanya kurang-lebih: miskin tapi tenang alias tenteram!
Luar biasa ! Ternyata, jadi kere saja orang bisa tenang bahagia. Si kere ini pasti termasuk golongan Ibrahim bin Adham raja yang jadi sufi pengembara, atau Sidarta Gautama putra raja yang jadi pertapa!
Mat Belatong berpikir, kemudian tertawa sendiri. “Pemulung ini termasuk pendekar juga. Nyindir Pemkot secara halus: tak mampu mengatasi masalah sampah kota! Menyindir wujud program pemerintah yang telah berlangsung sekian lama ini: memproduksi kemiskinan masyarakat! Menyindir para koruptor yang tak pernah puas dengan kekayaannya. Menyindir orang-orang yang tahan betombok, tegal berebot duet kompensasi BBM! Menyindir orang-orang miskin yang gelisah, yang gila togel karena ingin kaya mendadak.”
Di mata Mat Belatong, pemulung yang satu ini luar biasa. Dia ikhlas menjadi pemulung, ikhlas menghela gerobak kemiskinannya. Hatinya tenteram meniti jalan tanpa ujung. Yang demikian ini pasti tak dimiliki oleh semua pemulung dan kaum kere. Pun belum tentu ada di dada setiap orang kaya.
Mat Belatong ingat dengan cerita Syaikh Abu Yasid Busthami dan anjing hitam. Ia bercanda sendiri sambil tertawa: Siapa yang memasang pakaian kere ke tubuh lelaki itu, apa dosanya di awal kejadian sehingga ia harus menyeret gerobak kemiskinan?!
Adakah kebodohan telah memiskinkan dia, siapakah yang mengayakan dan memiskin manusia, siapakah yang membuat manusia ketawa dan menangis?
“Jalan terus Mas Kere, ikat erat cindai qanaah di pinggangmu, jangan lepaskan selimut istiqamah yang telah engkau cap dengan kata: kere ayem, di tubuhmu! Niscaya Allah tersenyum melihatmu, “ucap Mat Belatong.
Kemudian Mat Belatong membayangkan, sesungguhnya ia menyeret gerobak juga. Gerobak dunia, dalam sebuah perjalanan panjang yang tidak berakhir dengan kematian.
Adakah ia tengah menghela gerobak duniawi yang berat dan meletihkan, padahal perjalanan di dunia ini hanya perjalanan maya yang singkat?
Adakah ia telah mengisi gerobak dan ambinan di punggungnya dengan barang dunia, yang menyita pikiran dan hatinya, yang sama sekali tak bisa menjamin dirinya untuk bisa melewati gerbang sakaratil maut dengan lembut dan elok ? Adakah gerobak yang dihelanya menjadi beban yang menghimpitnya tatkala memasuki negeri barzah, kemudian membelenggu dirinya tatkala melanjutkan perjalanan ke negeri akhirah?
Mat Belatong mengusap keringat dan debu di keningnya. Cuaca panas memanggang kota. Mat Belatong berkata sendiri,” Ini baruk panas di pasar padang sayok, belom agik panas di padang mahsyar! “
Sambil berteduh di emperan toko, Mat Belatong ingat kepada Rasulullah SAW. Beliau pernah berkata: Sesungguhnya perumpamaanku dengan dunia ini penaka seorang pengembara, berteduh sebentar di bawah pohon, kemudian meninggalkannya.
Aisyah RA isteri Nabi Muhammad SAW bercerita: Ada seorang wanita Anshar yang masuk ke rumahku. Dia melihat kasur Rasulullah SAW berupa mantel yang ada talinya. Wanita itu pulang, lalu mengutus seseorang sambil membawa kasur yang isinya kain wool. Ketika Rasulullah SAW pulang, masuk ke dalam rumah, beliau bertanya,” Apa ini?” Aku menjawab,” Fulanah Al-Anshariyah masuk ke rumah, dan ia melihat kasurmu. Maka ia mengirimkan kasur ini.” Rasulullah SAW berkata,” Kembalikan lagi kepadanya!” Tapi aku tidak mengembalikan kasur itu karena aku masih menikmati keberadaannya di dalam rumahku, sehingga beliau berkata seperti itu sampai tiga kali kepadaku. Akhirnya beliau berkata, “Wahai Aisyah, kembalikan barang itu. Demi Allah, kalau engkau menghendaki, Allah dapat memberikan kepadaku gunung dari emas dan perak ! “Maka aku pun mengembalikan kasur itu.
Rasulullah tak ingin menghela gerobak duniawi dalam kembaranya, walaupun hanya berbentuk kasur yang sekadar bisa membuatnya lebih nyaman berbaring. Sehingga tatkala meninggal, beliau tak ada meninggalkan warisan satu dinar, atau satu dirham pun, tidak pula budak laki-laki maupun budak wanita. Beliau hanya meninggalkan sebuah tamengnya yang menjadi jaminan di tangan seorang Yahudi untuk pinjaman tiga puluh shak bahan makanan!
Sang arif dari negeri Cina – Khong Hu Chu – pun berkata: Dengan makan nasi kasar, minum air tawar dan tangan dilipat sebagai bantal, orang masih dapat merasakan kebahagiaan di dalamnya. Maka harta dan kemuliaan yang tidak berlandaskan kebenaran, bagiku laksana awan berlalu saja!
Mat Belatong berpikir, tentu Mas Kere Ayem itu paham terhadap ini semua. Alangkah hebatnya dia , menapak jalan dunia hanya memungut apa yang sudah dibuang orang. Ia ikut membersihkan kota dari sampah, tak berharap upah dan bingkisan dari Walikota. Upah diperolehnya dari Allah lewat tangan seorang hamba yang lain.
Di punggungnya tentu bergayut sekian mulut yang perlu makanan untuk hidup.
Layak dan cukupkah makanan mereka? Sementara di sekelilingnya menari manusia yang berkelimpahan makanan dan kemewahan.
“ Mas Kere Ayem, tabah dan sabarlah. Ingin kuhibur engkau dengan sebuah cerita, tatkala engkau terbadai dalam letihmu di sebuah pondok, atau mungkin hanya di emperan toko, beralas koran berselimut embun. Bukan mustahil, engkau pun telah tahu dengan cerita ini, sehingga engkau adem ayem dalam kemiskinan, ” ucap Belatong.
Lewat hatinya Mat Belatong bertutur: Saad Radhiyallahu Anhu berkata,” Aku adalah orang yang pertama dari bangsa Arab yang terkena anak panah fi sabilillah. Kami pernah bersama Rasulullah SAW, sementara kami tidak mempunyai makanan apa pun kecuali rumput dan daun anggur. Sampai-sampai di antara kami ada yang makan seperti kambing betina yang sedang makan, karena tidak ada yang lain.” Hal yang sama pun diungkapkan oleh Utbah bin Ghazwan ,” Engkau sudah tahu bahwa aku adalah salah seorang di antara tujuh orang yang bersama Rasulullah SAW, sementara kami tidak memiliki makanan apapun selain dari daun anggur, sampai-sampai ujung mulut kami luka karena memakannnya.”
Kemudian Mat Belatong melanjutkan tutur kalbunya:
Abu Hurairah, suatu hari melewati rumah Ibnul Ahnas, lalu ia masuk, yang saat itu mereka sedang makan. “Apa yang kalian makan? “tanya Abu Hurairah.
“Kami makan roti yang diremukkan dan dicampur kuah dengan daging panggang,” jawab mereka.
“Sepeninggal Rasulullah SAW justru kalian bisa makan enak,” kata Abu Hurairah, lalu ia pun menangis. Kemudian ia berkata,” Keluarga Rasulullah SAW pernah melewati dua kali kemunculan hilal, sementara api dapur tidak pernah dinyalakan di rumah mereka, tidak ada yang membuat adonan roti dan tidak ada yang memasak.”
Mereka bertanya,” Lalu bagaimana mereka hidup? “
Abu Hurairah menjawab,” Dengan al-aswadani, yaitu buah kurma dan air. Beliau juga mempunyai beberapa orang tetangga dari kalangan Anshar, semoga Allah memberikan pahala kebaikan kepada mereka. Mereka memiliki sedikit susu yang mereka hadiahkan kepada keluarga beliau.”
Rasulullah pun pernah berkata,” Tak seorang pun di antara kalian yang amalnya dapat menyelamatkan dirinya. Tidak pula aku, kecuali jika Allah melingkupiku dengan rahmat-Nya. Pergilah kalian pada waktu pagi dan sore hari dan perhatikan sebagian dari akhir malam. Kesederhanaan, kesederhanaan yang mesti kalian capai! “
Pun beliau pernah berkata,” Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tapi kekayaan itu hanya karena kaya jiwa!“ (Pontianak 22 Oktober 2005)

1 comment:

hulubalank said...

Alhamdulillah, pak cik saye senang benar dengan ceritanya mat belatong. Sebenarnya kesederhanaan akan membuat kita lebih dekat dengan kecerdasan ketimbang sifat alwamah akan segera menutup kecerdasan kita. bravo pak cik ane pernah 16 th tinggai di ptk dan dapet anaknye pak Ade Asnan Arifin salam kenal juga