Oleh A. Halim R.
DALAM sebuah kesempatan, Mat Belatong dan sahabat karibnya – Mat Ketumbi – mengadakan perjalanan menyusuri jejak sejarah zaman Tok Adam, mengunjungi peninggalan zaman Hindu dan Budha yang ada di Kalbar ini!
Kota pertama yang didatangi adalah Sanggau, yang bergelar Kota Dara Nante itu.
Dalam kapasitas apa pula Mat Belatong sampai berbuat seperti itu? Sejarawan bukan, orang Dinas Pariwisata bukan, orang Balai Kajian Sejarah bukan, orang Museum pun bukan! Tidak pula sebagai personel dari Perpustakaan Daerah!
Tatkala ditanya oleh Mat Ketumbi tentang kapasitas dirinya dalam menyusuri situs-situs sejarah itu, Mat Belatong langsung menjawab,“Sebagai khalifah di muka bumi! Dan ana mencintai Kalbar, ana mencintai peninggalan nenek-moyang kite bukan tegal digaji sebagai pegawai. Kalok ente maok tahu isik dade ini, lebeh daripade ape yang ade di dade kaom pegawai tu. Orang-orang tu, kalok pon datang nengok situs sejarah dan begerak, tegal proyek! Ade SPJ! Kalau tadak dana mane begerak! Mane ade orang tu begerak demi cinte macam aku ni Ketuk, tahu ndak awak?!“
Mat Ketumbi yang biasa disapa Ketuk itu mengangguk-angguk. Entah paham entah tidak, tapi Mat Ketumbi rela bersakit-sakit, sampai termuntah-muntah naik kendaraan umum demi menemani sahabatnya yang “pening“ Mat Belatong itu!
“Kite bejalan ni Ketuk, memang ngeluarkan duet, tapi memperkaye batin. Ngambek ilmu langsong dari khazanahnye, bukan dari buku atau pengetahuan orang laen!“ ujar Mat Belatong kepada temannya yang udah telepe-lepe muntah kuning!
“Ana paham Jon,“ jawab Mat Ketumbi telior-lior,“memang saket encarik ilmu tu! Maok jadi orang pintar jak telepe-lepe macam ana ni!“
“Tahan Ketuk, tak ape-ape,” hibur Mat Belatong,”itulah tegalnye sekolah tu mahal!“
Singkat cerita, maka sampailah mereka ke kota Sanggau.
“Di sinik ade sebuah peninggalan sejarah yang penting, dan kite perlu bekunjong ke sanak!“ ucap Mat Belatong.
Ketika sampai di Sanggau mereka turun di pangkal jembatan Sungai Sekayam. Lalu berjalan belok ke kiri menuju Kampung Sungai Sengkuang, terus masuk Kampung Setompak!
Di sana kedua sahabat itu minta diantar oleh seorang warga setempat, menyeberang sungai menggunakan sampan kecil menunju Batu Sampai! Di situ, di lokasi pinggir sungai yang berbatu, terdapat sebuah sungau kecil, lebarnya sekitar delapan meter. Ada air terjun kecil, yang airnya jernih mengalir ke Sungai Sekayam. Lokasi ini sesungguhnya masih terbilang di dalam kota Sanggau. Di situlah terdapat sebuah prasasti peninggalan zaman Hindu!
Batu Sampai, dalam bahasa daerah Melayu Sanggau bermakna: Batu Sangkut!
Di bagian atas sungai kecil itu, tampak membelintang sebuah batu besar, seakan “tersangkut” di situ. Air terjun kecil mengucur melewati batu tersebut. Dan di batu itulah tertulis aksara masa lampau, sebuah jejak yang tertinggal dari zaman Hindu! Letaknya dari muara Sungai Sekayam, paling-paling enam kilometer!
Di tempat itulah Mat Belatong terperangah. Harapan untuk bisa mengelus kembali “kaligrafi” hasil pahatan tangan nenek-moyang masa lampau, hancur seketika!
Mat Belatong sontak marah, beleter tak tentu pasal! Mat Ketumbi pun ikut geleng-geleng kepala.
Betapa tidak? Batu bertulis itu telah hilang aksaranya, terpudarkan oleh pahatan-pahatan baru, mungkin menggunakan paku, berganti dengan bermacam-macam nama manusia masa kini! Ini pasti pekerjaan para remaja dan pemuda yang berkunjung ke tempat itu.
“Ngape budak-budak celake tu tak nules di batu di bawah sinik!?“ seranah Mat Belatong sambil menunjuk sebuah batu datar tempatnya berdiri, persis berada sekitar dua meter di bawah batu bertulis itu. Air yang jatuh dari atas memang menimpa batu datar tersebut. Namun karena batu datar itu cukup lebar, sesungguhnya masih banyak tempat bagi si bodo-bale untuk berbuat usil memperturutkan hawa nafsu vandalisme-nya! Dan ternyata, di batu datar itu tak ada tulisan buatan baru. Yang terjadi malah: memahat, menulis nama menimpa aksara kuno yang ada di situ! Ini jelas: penghancuran terhadap sebuah situs sejarah!
“Beginilah ceritenye kalau anak-anak sejak SD sampai SLTP atau SLTA tak diajar oleh gurunya untuk menghargai peninggalan sejarah nenek-moyang! Bahkan gurunye pon mungkin butak-tulik gak, tak tahu kalau sebuah peninggalan sejarah yang sangat beharga ada di dalam kota Sanggau sendiri! Yang dijejalkan kepada anak-anak didik, cerita sejarah dari negeri orang, yang dikenalkan kepada anak didik peninggalan sejarah dari negeri orang, nun jauh di sana! Prasasti sejarah di negeri sendiri “sengaja” diabaikan, atau tak diketahui sama sekali. Berat kaki untuk melangkah, berat kepala untuk menoleh, berat hati untuk membuka pintu pemahaman terhadap negeri sendiri! Kini, sebuah peninggalan sejarah Hindu yang tak ternilai, hancur sia-sia karena kebodohan dan keusilan!“ damprat Mat Belatong manas.
“Hancor Ketuk, hancor hati ana nengok hal macam ini!“ ucap Mat Belatong kepada rekannya Mat Ketumbi.
“Waktu ana maseh malang-melintang di kota Sanggau sebagai pemuda, sebagai guru SPG dan SMA, membina para remaja dalam berkesenian dan berbudaya, tak separah ini perbuatan anak-anak dan remaja di kota ini. Dan ana sendirik pon menamatkan SD dan SMP di kota Sanggau. Tak sebrutal dan sebodoh ini kelakuan kami!” lanjut Mat Belatong.
“Sekitar sepuloh taon yang lalu jak, waktu ana ke sinik, prasasti ini maseh mulus!“ tambahnya.
Padahal, Prasasti Batu Sampai itu bukan sebuah situs sejarah yang bisa dianggap sepele. Ia memiliki keunikan tersendiri. Di batu datar di bawahnya, bisa dipakai untuk duduk, bertafakur, bermeditasi, bersemadi! Dan ia bukan sekadar batu tulis kecil, yang mudah diangkat dan dipindahkan. Ia begitu spesial, aksaranya terpahat di permukaan batu tempat air terjun mengalir! Ia sebuah “lembaran kitab“ yang ukurannya sekitar 2 x 4 meter. Sedangkan ukuran batu yang sesungguhnya sukar diperkirakan kubikasinya, sebab terbenam di dalam tanah. Demikian pula di kiri-kanannya.
Adakah karena ia sebuah peninggalan agama Hindu, lalu boleh diperlakukan dan dirusak sewenang-wenang?
Kita boleh Islam, boleh Nasrani, sekarang ini. Tapi jangan sangkal, nenek-moyang kita beragama Hindu. Prasasti itu jejak langkah, sebuah kabar dari masa lampau dari nenek-moyang kita sendiri, bagi anak-cucunya sepanjang zaman yang datang kemudian!
Sebuah “malapetaka” telah terjadi akibat kejahilan!
Ahli sejarah di dunia, pencinta sejarah di dunia telah kehilangan sebuah Kitab Batu! Dan itu terjadi di Kota Dara Nante: Sanggau! Ada yang peduli!?
Mat Belatong dan sahabatnya lunglai meninggalkan tempat itu.
Apa yang menimpa Batu Sampai ini jangan dianggap enteng: “Sanggau telah menghancurkan sejarahnya sendiri, telah menghapus situs kegemilangan masa lalunya sendiri!”
Hal ini jangan terjadi di tempat lain! ***
( Pontianak, 10 September 2005 )
Friday, July 27, 2007
MAT BELATONG DAN SITUS SEJARAH
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment