Oleh A. Halim R
SUATU waktu Mat Belatong pergi ke Ketapang, turun di Kali Nilam (pakai pesawat, die!), langsung dibawa ke hotel. Kebetulan telah ada teman yang menjemput: Cek Mat Gesekgesek! Begitu naik tangga hotel, 3 – 4 orang yang tampak santai duduk di situ langsung menyapa,”Pijit Pak!“
Mat Belatong menoleh kepada Mat Ketumbi alias Ketuk yang kebetulan ikut,“Ape kate ana Ketuk, orang Ketapang ni ramah-ramah, sangat menghormati tamu! Baru gak kite naek tanggak, belom agik masok kamar udah ade yang nak ngurot!“
Mat Ketumbi menjeling kepada rekan yang menjemput, dengan perasaan sikit tak nyaman. Tapi syukur juga Cek Mat cepat tanggap,”Bang Mat, kalau maok nengok tradisi keramahtamahan budaye Melayu Ketapang, bagosnye besok-besok ke sinik, pakai kapal ekspres. Di sanak, di Suka Bangun, sambotan lebeh meriah agik!“
Mat Belatong tampak heran.
“Sambotan macam ape pulak tu?” tanya Mat Belatong .
“Biase,” jawab Cek Mat selembe, “tukang ojek!“
“Oh ye, sebaeknye memang begitu. Maju boleh maju, adat budaya jangan ditinggalkan. Biar gak jadi tukang ojek, telok belangak, kaen setengah tiang, tanjak jangan dilupakkan!” ucap Mat Belatong. “Nantik kalau ana balek ke Pontianak, ape yang terjadi di Ketapang ini akan ana laporkan ke Bang Imin Thaha Ketue MABM Kalbar. Biar hal semacam ini dilakukan ugak oleh daerah laen di Kalimantan Barat! Tak payah bah memasyarakatkannye, tinggal disyaratkan jak terhadap budak-budak ojek tu waktu minta izin! Dan tukang urot di hotel-hotel ni pon perlu ugak begituk. Yang perempuan pakai baju kurong, bekaen, besanggol model ayam ngeram, pakai kerudong!” lanjut Mat Belatong.
Mendengar jawaban Mat Belatong, balik Cek Mat Gesekgesek jadi pening! Ia melirik Mat Ketumbi. Mat ketumbi sambil senyam-senyum, menunjukkan jari telunjuk miring di keningnya!
Setelah menyimpan barang di kamar hotel, Mat Belatong langsung berkata,“Cek Mat, kite pegi ke pasar ikan dolok. Mumpong maseh pagi!“
Cek Mat Gesekgesek heran juga, urusan yang sesungguhnya ke Ketapang ini belum dilaksanakan, tahu-tahu udah nak ke pasar ikan. Maok membeli ikan ke ape ?! Kemudian ia berkata,“Tenang jak Bang Mat, urusan makan, urusan laok, gampang. Selamak restoran Pak Uti Konsen maseh bukak, gampang. Maok asam pedas sirep belidak, maok kepalak ikan merah, maok udang galah, beres!“
“Bukan begituk Cek Mat. Ini bukan urusan makan, tapi urusan kite sebagai khalifah di muke bumi!“ jawab Mat Belatong .
Karena sudah menyangkut urusan Mat Belatong sebagai seorang “khalifah di muka bumi“, Cek Mat dan Mat Ketumbi tak bisa membantah. Sebab kedua-duanya sama tahu, betapa berat urusan seorang khalifah! Sampai-sampai Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sekali pandang orang bisa menghitung tulang rusuknya tanpa orang harus menyentuhnya, saking takutnya ia akan tanggung jawab di hari akhirat!
Pendek kisah, pergilah ketiganya ke pasar ikan lama, di pinggir Sungai Pawan di tengah kota Ketapang.
Sampai di pasar ikan, Mat Belatong mengamati hampir semua ikan yang ada di sana. Sampai-sampai yang di dalam peti es pun dilihat. Anehnya semua pedagang ikan di sana menaruh respek atas kunjungan Mat Belatong. Apakah karena getaran aura yang memancar dari tubuh Mat Belatong sebagai seorang “khalifah“, atau karena selama ini mereka jarang mendapat kunjungan orang “aneh“ semisal pejabat. Ataukah karena melihat kehadiran Cek Mat Gesekgesek! Sebab hampir semua orang Ketapang tahu kalau Cek Mat Gesekgesek itu tangan kanan salah seorang kepala bank di Ketapang.
Tatkala melihat sejumlah ikan tapah yang besar-besar di dalam peti es, Mat Belatong bertanya,”Kire-kire sekok beratnye berape kilo ni Pak!“
“Rate-rate sekitar 30 kilo Pak,” jawab penjual ikan. “Tapi belom lamak ini ade yang dapat tapah beratnye lebeh dari 60 kilo!“ lanjut penjual ikan itu.
“Alhamdulillah, kalau ikan di Ketapang ini bise mencapai berat maksimal, baruk tertangkap oleh nelayan!“ jawab Mat Belatong .
“Tapi ngerik gak Pak e, kalau melihat tapah sampai 60 – 70 kilo tu! Manusie, budak kecik bise ditalenye!” ucap penjual ikan.
“Kalau itu yang terjadi tak perlu dipermasalahkan! Selamak ini, kan tapah teros yang dimakan orang. Ape salahnye kalau sekali-sekali tapah pulak yang makan orang!” jawab Mat Belatong. Para penjual ikan yang berkerumun, ngelakak ketawa.
“Bapak orang perikanan ye?“ tanya salah seorang.
“Tadak, kalau ana orang perikanan, apelagik kepalak perikanan, tadak macam ini naseb nelayan, tadak macam sekarang ini naseb ikan, biota aek, sungai dan danau di Kalbar!“ jawab Mat Belatong. Cek Mat dan Mat Ketumbi berpandangan.
Dari percakapan lebih lanjut dengan para pedagang ikan itu, diketahui bahwa di daerah Ketapang ikan air tawar melulu diperoleh dari sungai. Tak ada danau. Dari pengamatan Mat Belatong, ikan-ikan tangkapan nelayan itu masih banyak yang berukuran besar, hampir mencapai berat maksimal. Ikan belida yang tertangkap beratnya antara 0,5 – 10 kg. Hampir setiap bulan, masih ada ikan silok (hijau) yang dibawa ke pasar ikan, beratnya 3 – 5 kg.
Menurut Agusni Fawazi, seorang pedagang pengumpul ikan, pada awal musim air sungai surut, ia bisa mengumpulkan ikan belida sekitar 200 kg sehari. Padahal, ada sejumlah pengumpul belida lainnya di Ketapang, untuk menyuplai kebutuhan pembuat amplang (sejenis kerupuk, berbentuk hampir bundar).
Ada beberapa sungai yang terbilang besar di Ketapang, yang menghasilkan ikan air tawar, yaitu Sungai Pawan, Sungai Kendawangan, dan Sungai Manis Mata. Masing-masing memiliki lagi anak sungai yang kecil-kecil. Umumnya ikan yang masuk ke kota Ketapang, bersumber dari Sungai Pawan sendiri.
Selaku seorang “khalifah“, Mat Belatong senang, tidak terlalu getir melihat situasi ikan sungai di Ketapang. Dari ukuran ikan yang besar-besar, jelas populasi ikan masih boleh dianggap berjalan “normal“. Tak ada serok “waring“ yang bisa memusnahkan semua jenis anak ikan semua ukuran, seperti yang terjadi di Danau Sentarum Kapuas Hulu.
Dan yang menggembirakan lagi, kini populasi “ale-ale“ (sejenis kerang), telah marak kembali. Sebab pernah untuk sekian tahun, tatkala penebangan kayu masih berlangsung dahsyat, dan pencemaran sungai maupun pinggir pantai oleh racun kayu terjadi melampaui ambang batas, ale-ale tak sanggup berpopulasi. Ale-ale hampir naas, tinggal nama!
Dan tiba-tiba mata Mat Belatong terlihat kepada setumpuk anak ikan baong, yang mengap-mengap, pertanda masih hidup. Ia menggamit Mat Ketumbi dan berbisik,”Jon, awak tengok ikan tu ngap-ngap! Ade yang diomongkannye, ade yang diucapkannye waktu napasnye turon-naek!“
“Tolong timbang baong tu Pak, pileh yang maseh hidop!“ ucap Mat Belatong kepada pemilik ikan. Setelah ditimbang hampir 4 kg. “Tolong, masokkan cepat ke dalam ember ini!“ lanjut Mat Belatong sambil meminjam sebuah ember hitam milik seorang pedagang ikan. Setelah itu, tak seorangpun menyangka, baong di ember itu dicurahkan Mat Belatong ke Sungai Pawan!
“Maulaya, terima kembali makhluk-Mu, jadikan ia tumbuh besar dan beranak-pinak, baru kembali ke pasar ikan ini lagi!“ ucap Mat Belatong.
Dan ketika Mat Belatong mau membayar harga ikan tersebut, Pak Alang Kaulan penjual ikan itu berkata,”Tidak, tak usah bayar! Saya akan menerima harganya nanti ketika ia telah kembali lagi ke meja tempat jualan saya!“
Mat Belatong terpana mendengar jawaban itu.
Ternyata Kalbar masih menyimpan “orang-orang arif ”, dan tempatnya tidak di rumah bagus, tidak di gedung dan kantor besar, bukan di posisi mapan yang terpandang, tapi di pasar ikan yang becek dan bau. ***
( Pontianak, 12 Juli 2005 ).
Friday, July 27, 2007
MAT BELATONG DAN PASAR IKAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment