Selamat Datang di portal Mat Belatong

Tuesday, July 24, 2007

MAT BELATONG DAN “FAUZI GILA“

Oleh A.Halim R

SEBUAH pepatah Arab mengatakan: orang biasa belajar dari pengalaman sendiri, orang bijak belajar dari pengalaman orang lain, sedangkan orang bodoh tidak belajar dari pengalaman siapapun!
Pasti yang terakhir ini termasuk golongan: pekak-lantak , bodo-bale!
Dan, Mat Belatong seorang warga Kampung Paret Kalot Ribot tak jauh dari Kampung Paret Gadoh, paling tak mau kalau dikatekan bodo-bale, dikatakan tak punya ilmu. Oleh karena itu sedapat-dapatnya jugalah ia menuntut ilmu macam orang. Walaupun tak sampai ke negeri Cine – seperti kata hadis – di sekitar kampong pun jadilah.
Tersebutlah kisah, menurot kabar angen, bahwa tak jauh dari kampung mereka, di Buket Belantau berdomisili seorang cerdik cendekia, arif bijaksana. Separuh orang mengatakan bahwa orang tersebut sudah tergolong arifin, bahkan seorang wali.
Orang arif itu bernama Fauzi.
Dari namanya saja orang sudah mafhum, bahwa nama itu bukanlah sembarang nama. Dari maknanya saja sudah berarti: orang yang sukses, yang beruntung (tak pernah ada istilah rugi atau tekor!).
Pada suatu hari, dengan perbekalan seadanya namun dengan sekarung tekad dan harapan, Mat Belatong bertolak ke sana.
Singkat cerita, suatu pagi di kaki bukit ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah baya. Penampilannya acak-acakan. Malahan kelakuannya terlihat aneh. Ia tengah jongkok, merunduk, menghadapi sebuah sepan (sumber air) yang berbentuk kolam kecil.
Ia melihat dengan serius ke air sepan itu, sambil mengaduk-aduknya dengan sepotong kayu , sehingga air kolam itu menjadi keruh.
Setelah berlama-lama mengamati sosok dan perbuatan orang itu, Mat Belatong akhirnya tak tahan, ia lalu memberi salam: Assalamu’alaikum!
Tanpa menoleh orang itu membalas salam Mat Belatong. Ia terus asyik dengan pekerjaannya.
Akhirnya Mat Belatong melangkah mendekati, dan jongkok di samping orang itu. Kemudian ia bertanya,”Ape yang agik ente buat Jon?“
Beberapa kali Mat Belatong bertanya, barulah orang itu menjawab,”Aku ingin melihat diriku di dalam air ini!“
Orang ini pasti gila, pikir Mat Belatong. Tak mungkin orang waras mau mencari bayangannya sendiri di air yang keruh!
Kalau maok becermen, aeknye jangan diadok! “ ucap Mat Belatong.
Orang itu tetap dengan perbuatannya.
Kemudian secara untung-untungan Mat Belatong bertanya,”Eh, ente pernah ndak tahu atau betemu dengan orang yang bename Fauzi?“ Orang itu diam saja. Kemudian Mat Belatong berkata,”Ana encarik Ustaz Fauzi yang dikabarkan orang wali tu!”
“Eh kau cariklah sorang! Setahu aku tak ade duak-tige orang yang bename Fauzi di sinik selaen aku! Ape agik Fauzi yang wali tu! Tak ade!” jawab orang itu acuh tak acuh.
Sambil mengamati sosok Fauzi yang aneh itu, Mat Belatong berpikir keras. Akhirnya ia memutuskan untuk beberapa waktu akan bersama “orang gila“ itu. Ketika hal itu ia ungkapkan, orang itu berkata,”Jangan, nanti tak tahan awak. Pasti kau tak mampu, bisa-bisa timbul fitnah!“
“Ndaklah,” jawab Mat Belatong seperti memelas.
Karena Mat Belatong bekuat benar ingin ikut bersamanya, akhirnya orang itu berkata,”Terserah kaulah kalau ingin ikut aku! Tapi jangan nak beragam!”
“Alhamdulillah Beb, terimak kaseh, ana siap!“ jawab Mat Belatong. Secara tak sadar ia telah memanggil “Habib“ kepada orang itu. Sebab di kampung ataupun di pasar sudah sangat biasa ia bertegur sapa dengan teman-temannya menggunakan panggilan “habib“ itu.
Demikianlah untuk hari-hari seterusnya Mat Belatong bersama dengan “Ustaz Fauzi”-nya berjalan dalam pengembaraan di rimba misteri Bukit Belantau.
Banyak hal yang dirasakannya aneh, banyak hal yang dirasakannya janggal, namun terkadang beberapa kebenaran dan kearifan tertemukan juga olehnya pada kelakuan maupun omongan lelaki itu.
Salah satu kalimat yang membuat Mat Belatong pening adalah: Kalau maok belajar melihat, belajarlah dengan orang butak! Kalau nak belajar mendengar, belajarlah dari orang tuli. Kalau maok belajar membace, belajarlah dari orang butak urof!
Suatu hari Fauzi dan Mat Belatong sampai ke pinggir sebuah sungai kecil. Kebetulan ada sebuah perahu tertambat di situ. Dengan menggunakan perahu itulah dua orang “darwis” itu menyeberangi sungai.
Setelah sampai di seberang, perahu itu lalu ditambatkan oleh Mat Belatong. Namun sebelum pergi meninggalkan tempat itu, masih sempat-sempatnya Fauzi melantak perahu tersebut dengan tongkatnya hingga tebok dan bocor!
Dan kemudian, tak seberapa jauh berjalan mereka bertemu dengan seorang anak kecil yang lagi mencungkil-cungkil tanah, tengah bermain sendiri. Tanpa terduga sama sekali oleh Mat Belatong, Fauzi tiba-tiba saja melebau kepalak budak itu dengan tongkatnya. Anak itu tak sempat memekik, hanya berkelojot sebentar lalu: innalillahi wainna ilaihiraji’un. Mereka terus berlalu, meninggalkan mayat bocah tersebut tergeletak di tanah.
Belum lagi habis pening Mat Belatong memikirkan perbuatan “Fauzi yang arif“ itu, mereka lalu menemukan sebuah pondok ladang yang sepertinya sengaja dirobohkan. Tahu-tahu Fauzi mengajak Mat Belatong mendirikan kembali pondok ladang itu.
Mat Belatong tak habis pikir, atas perbuatan “Habib Fauzi“ yang aneh, bahkan mengerikan dalam satu hari ini. Kalau ditinjau dari KUHP ataupun hukum syariat, niscaya Fauzi itu tergolong kepada orang yang aniaya, jahil dan melanggar hukum. Mat Belatong terkena hukom sebahat! Mat Belatong berpikir, ini jelas merupakan: kesesatan yang nyata! Akhirnya ia pun bertanya kepada Fauzi, apa makna dan latar belakang dari semua perbuatannya itu.
Jawaban Fauzi sungguh mengagetkan,”Akupun tak tahu apa sebab kulakukan itu. Dan aku tak bisa memberikan jawaban kepadamu, sebab aku bukan Khidir dan engkau bukan Musa!“ Lebih lanjut ia berkata,”Pikirkanlah olehmu apa yang kujalani ini. Kalau engkau belum juga mendapatkan jawabannya, daripada otak kau karot, lebih baik engkau berpendapat: Fauzi gila!“
Mat Belatong berpikir beberapa saat, dan akhirnya ia berkata,”Maaf Beb, sampai di sinilah ana bisa mengikuti ente. Memang ana tak mampu. Besok lusa entah apa lagi yang akan ente buat!“
“Assalamu’alaikum Beb, vaya condios,” lanjut Mat Belatong sambil balik belakang setelah menyalami pria bernama Fauzi itu.
Mat Belatong bergegas meninggalkan tempat itu, untuk segera sampai ke kampungnya.
Begitu memasuki mulut kampungnya, Mat Belatong segera berteriak-teriak,”Fauzi gila! Fauzi gila! Kita harus segera menghentikan perbuatannya yang jahil, aniaya dan tak senonoh! Dia telah membunuh dan merusak barang orang!“
Alhasil, orang kampung jadi pambar. Dan ternyata masalah ini tak hanya jadi perbincangan umum, tetapi sampai dilaporkan juga kepada polisi, instansi berwenang ataupun lembaga terkait lainnya.
Akhirnya secara beramai-ramai masyarakat di-backup pihak kepolisian, masuk ke hutan untuk menangkap Fauzi.
Namun apa yang mereka temukan, tak ada satupun mayat anak kecil, demikian juga sampan yang rusak ataupun pondok ladang.
Mat Belatong bersumpah-sumpah, bahwa di tepi sungai itulah mereka meninggalkan sampan bocor itu, di bawah pohon asam pauh itulah mayat bocah itu terkapar, dan dekat pohon jaung itulah ia dan Fauzi menemukan pondok ladang.
Namun apa yang diungkapkan Mat Belatong sama sekali tak ada buktinya. Apa lagi batang hidung Fauzi, sama sekali tak kelihatan.
Akhirnya orang pulang meninggalkan hutan itu dengan rasa dongkol, marah, dan tak ketinggalan mengeluarkan sumpah –seranah terhadap Mat Belatong.
Ada yang bilang Mat Belatong gila, ada pula yang mengatakan Mat Belatong nak mampos, ada pula yang bilang si Belatong udah syaraf !
Kalau waktu pergi mencari “si arif Fauzi“ Mat Belatong berbekal sekarung tekad dan harapan, kini ia menyandang berkarung-karung sumpah seranah!
Tapi ape nak dikate, segala sesuatu telah terjadi. Tinggal Mat Belatong tersandar di rumahnya, letoi, bingung, pening sorang tak habis pikir.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi?
Apakah memang ia pergi berjalan ke dalam hutan itu dan bertemu Fauzi? Ataukah hanya semacam halusinasi dan ia tidak berjalan sama sekali? Ataukah, ia memang telah berjalan meniti jalan spiritual dan mendapat pengalaman batin, lalu jadi mudarat begini karena dipambarkan kepada orang lain?
Dan sejak itu sebuah derita lain ia pikul: omongannya sudah tak begitu dipercayai orang. Bahkan telah muncul sebuah pemeo baru di masyarakat bila mendengar “isu-isu“ yang kurang bisa dipercayai: Ah, itukan cuma omongan Mat Belatong! ***

* Inspirasi: berita koran dan kisah di Al-Quran – Surat Kahfi. Kalau ada persamaan nama, anggap saja kebetulan.

(Pontianak, 11 Juni 2005)

No comments: