Oleh A. Halim R.
SI POLTAK, bertanya dalam sebuah dialog budaya, yang telah diadakan pada bulan September 2005 lalu: Apakah budaya malu yang ada sekarang ini warisan tradisional nenek-moyang, atau sekadar warisan dari bangsa penjajah?
Sebab si Poltak melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa budaya malu yang dikatakan sebagai salah satu warisan “adiluhung” dari para leluhur telah beralih posisi.
Kini, orang menjadi malu kalau hanya punya rumah sebuah, kalau cuma punya mobil satu. Biar tak malu, perlu rumah bagus beberapa buah, perlu mobil bagus 4-5 buah! Bagaimana cara mendapatkannya, tentu menghalalkan segala cara!
Jalan pikiran si Poltak bagus juga, cerdas dia menyindir! Mungkin hatinya pun pedih, melihat kenyataan: budaya malu telah berubah menjadi budaya tak tahu malu! Budaya malu mencuri telah beralih menjadi malu kalau tak mencuri.
Apa yang disindir Poltak, terlihat nyata pula oleh Mat Belatong. Dan menurut Mat Belatong, dalam hal ini, kita tak perlu menyalahkan penjajah, atau arus globalisasi yang mirip tsunami itu! Keruntuhan akhlak seseorang, suatu bangsa, bukan karena orang lain, melainkan karena diri sendiri. Bisa karena pondasi moral atau akhlaknya memang labil – tidak kuat – bisa pula karena pilar maupun tembok moral memang rapuh.
Contoh nyata, tatkala tsunami meluluh-lantakkan Aceh, sebuah masjid masih tetap berdiri tangguh!
Masjid, rumah ibadah: lambang moral dalam pengertian yang luas dan dalam. Sebuah rumah ibadah – tatkala ia dimaknai sebagai rumah Tuhan – tatkala pondasi dan pilar-pilarnya telah tertancap kokoh di hati, niscaya tiada tsunami mampu menggongcangkan nya, bahkan dunia pun tiada mampu menggetarkannya! Allah hadir di dirinya, petunjuk Allah senantiasa membimbingnya: yang benar dan yang batil menjadi nyata, malu dan tak tahu malu bukan hal yang samar!
Dan kini, menurut Mat Belatong, rasa malu memang telah berubah posisi. Dia tidak lagi ditempatkan di hati, yang marwahnya mengalir ke wajah, ke kening, ke hidung (dua dari delapan titik sujud yang bersentuhan dengan “sajadah”).
Kini, rasa malu tak lagi ditempatkan di muka, tetapi (maaf ): di pantat!
Dan tatkala pantat sudah dijadikan muka, semua orang pasti tahu akibatnya.
Apa yang keluar dari pantat, sudah menjadi najis semua. Anginpun yang keluar, sudah bukan lagi bermakna “nafas” atau “serdawa”, tapi kentut! Batal wudu karenanya!
Dan itulah yang terjadi, bila seseorang telah bermuka dengan pantat, yang keluar dari mulutnya, kalau bukan najis, ya kentut! Yang keluar dari mulutnya tatkala bicara, kalau bukan suatu yang memalukan – yang membuka aib kadar kapasitas dirinya sendiri – iya: angin! Yang namanya angin, pagi-sore, bisa berubah arah! Terkadang membawa bau harum bunga tanjung, tapi paling sering membawa bau busuk hasil pengolahan sampah di dalam perut!
Tatkala investor ingin menanam modal, dan berhadapan dengan manusia bermuka pantat, yang pertama-tama ditanya olehnya: Berapa saham untukku, pembagianku sudah kau hitung belum!?
Dia malu tak punya saham (walau tanpa setor modal sepeser pun!), untuk bekal setelah pensiun. Ia ragu terhadap masa depan Indonesia, sebab dia paham: dia sendiri punya andil untuk membangkrutkan negeri ini! Lebih dari itu: ia termasuk golongan orang-orang yang tak yakin atas janji Allah!
Ini hanya sebuah contoh, perhatikan sendiri di lingkungan kita, di tempat kita bekerja, dan becerminlah. Jangan-jangan yang terlihat di cermin itu bukan wajah!?
Dalih, hasil putar-belit otak, bisa diciptakan untuk pembenaran di hadapan sesama manusia. Bukti hitam di atas putih bisa dibuat, untuk pembenaran di majelis hukum manusia. Bahkan firman dan hadis sering dipakai atau diselewengkan untuk pembenaran kepentingan sepihak.
Namun Allah, Penyaksi yang sangat dekat, punya “hukum kebenaran“ yang tak bisa diatur oleh manusia, yang tak mungkin diputar-belit oleh akal dan kolusi manusia.
Dan tatkala pantat telah dijadikan wajah, tentu kehadiran Allah yang lebih dekat daripada urat batang leher itu tak bakal terpandang. Bagaimana mau merasakan kehadiran Allah, kalau Allah didurhakai dan dilecehkan.
Berbagai ragam “wajah” manusia tampak jelas di sekitar kita.
Orang arif, berkat kerahiman Allah, dianugrahi dapat memandang wujud beragam manusia dalam penampilan sosok binatang sebagai gambaran simbolik kebejatan moral dan nafsu seseorang! Pembohong, penipu, pemutar belit diperlihatkan dalam berbagai bentuk dan jenis ular! Si rakus, tamak, tak membedakan halal-haram, busuk dan baik, niscaya tergambar sebagai sosok: buaya! Demikian pula para penjilat, para penghasut dan pemfitnah, pun punya gambaran masing-masing!
Bagaimana kalau dalam “figur ruhani” serupa itu seseorang harus menghadapi sakaratul maut!? Dan seyogianya semua kita ingat, betapa kematian bisa datang di mana saja dan kapan saja!
Banyak orang kaya, tapi “rendah hati”, tak mau memperlihatkan dirinya kaya dengan cara: enggan berinfak dan bersedekah! Ada orang mampu, yang malu mengaku dirinya mampu, sehingga ikut mendaftar menjadi penerima: raskin dan dana kompensasi BBM. Sedangkan yang miskin, tahan berhutang (ke bank), agar terpandang!
Ada pula orang kaya dan punya kedudukan, tetapi tetap merasa miskin, sehingga membuatnya menjadi pengemis dan peminta-minta! Kalimah “wirid”-nya: duit-duit!
Sampai-sampai ada pula yang bersikokoh mempertahankan status “mualaf”-nya belasan tahun, agar memperoleh simpati dan sumbangan.
Untung saja para sahabat Nabi, seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali, Abu Dzar tak bertingkah seperti itu. Begitu menjadi muslim, mengucap dua kalimah sahadat, langsung mantap, tanpa keraguan! Padahal para sahabat Rasulullah itu seluruhnya berasal dari orang kafir! Mereka tak butuh sedekah untuk peneguh tauhid. Bukan mustahil mereka tak suka kalau disebut mualaf. Sebab predikat mualaf seperti mengandung konotasi: masih baru, masih ragu, masih belum mantap!
Dan Abubakar, begitu menjadi Islam, bersedekah habis-habisan untuk perjuangan Islam! Sampai-sampai Nabi pun heran dan bertanya,“Apa lagi yang tersisa untukmu dan keluargamu?“
Abubakar menjawab,”Untukku dan keluargaku, cukuplah Allah dan Rasul-Nya!“ ***
( Pontianak, 30 September 2005 )
Friday, July 27, 2007
MAT BELATONG DAN RASA MALU
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment