Oleh A.Halim R
SEMBARI termenung menatap layar monitor komputer yang masih kosong, Mat Belatong membuka winamp untuk mendengarkan beberapa lagu yang telah terekam di sana. Mudah-mudahan di antara lagu yang terdengar, ada yang menggugah rasa, bisa melahirkan sebuah ide untuk tulisan.
Salah seorang penyanyi yang dikagumi Mat Belatong, adalah Siti Nurhaliza.
Siti Nurhaliza, di hati dan rasa Mat Belatong adalah seorang diva Melayu, seorang permata Melayu yang tak hadir di sepanjang kurun waktu. Dia bukan penyanyi hasil didikan manusia yang bisa ditemukan kapan saja. Dia bukan penyanyi biasa, melainkan seorang diva (laksana dewa/dewi – pen) yang sengaja diturunkan secara berkala, mungkin 100 tahun sekali!
Sebuah “syair” lama, terlantun dari suara emas Siti Nurhaliza dalam lagu Kaparinyo:
Orang berinai berhitam kuku
Mandi dijirus si air mawar
Jikalau sampai hasrat hatiku
Racun kuminum jadi penawar
Belum tersurat dalam hikayat
Ayam keluar mencari musang
Belum tersirat di dalam adat
Bunga keluar mencari kumbang
Semenjak lembah bertambah dalam
Nampaknya gunung tinggi bertuah
Semenjak sejarah Hawa dan Adam
Alam berkembang berubah-ubah
Hasrat nak beli dulang bertepi
Barulah molek untuk hidangan
Hasrat nak cari yang sama sehati
Barulah boleh makan sepinggan
Sungguh harum si bunga tanjung
Hati nak petik si bunga mawar
Rindu dan dendam tidak tertanggung
Budi setitik jadi penawar
Sungguh melati yang dipetik
Harumnya masyhur seluruh alam
Sungguh pun budi hanya setitik
Langit dan bumi ada di dalam
Menyimak untaian kalimat indah dan dalam di bait ke dua, Mat Belatong termenung.
Betapa di sana, sebuah nasihat untuk anak-cucu telah hadir sejak berabad lampau, dari nenek moyang untuk pemandu para remaja putri.
Belum tersurat dalam hikayat, ayam keluar mencari musang! Belum tersirat di dalam adat, bunga keluar mencari kumbang!
Tegasnya, tak ada hikayat dan adat di dunia Melayu (bangsa Timur umumnya): wanita mengejar, menjual diri kepada lelaki!
Di dunia Timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, tak ada hikayat dan adat: ayam gentayangan minta terkam musang, bunga keluyuran mintak tanjal kumbang!
Namun apa yang terpentang di depan mata Mat Belatong sekarang ini, begitu buka pintu pagi hari: sudah melihat aurat! Baik laki-laki, apalagi perempuan.
Semahal apa pun pakaian sport yang dipergunakan lelaki muslim untuk olahraga, tatkala ia tidak menutupi pusat hingga lutut, terlarang bagi lelaki tersebut tampil di hadapan orang yang bukan muhrimnya!
Mat Belatong menyaksikan sendiri di Mekah, betapa seorang jamaah haji Indonesia yang turun dari hotel tempatnya menginap untuk membeli sesuatu di deretan toko dekat hotel tersebut diteriaki orang-orang Arab: Haram,…haram!!
Dia diusir balik ke hotelnya terbirit-birit, karena bercelana pendek, tak menutupi seluruh paha hingga lutut!
Seselebor apapun Mat Belatong: tanpa baju, berkain sarung menutupi atas pusat hingga mata kaki, niscaya lebih sopan dan beradab dalam etika Islam – pun di mata Allah – jika dibandingkan pria muslim bercelana pendek merek mahal, namun paha masih terlihat!
Betapa pula dengan aurat wanita Islam dalam etika dan hukum Islam. Belonggok buku fikih dari berbagai mazhab di toko buku! Bacalah.
Adapun yang yang namanya “ayam” sekarang ini, bukan hanya gentayangan mencari “musang”, malah pamer daging di depan musang. Banyak ayam sekarang ini yang sengaja menanggalkan bulunya agar ia bisa memamerkan kemulusan dan kesintalan dagingnya kepada musang! Para ayam berdalih demi modernisasi, globalisasi, mengikuti mode ataupun fesen!
Tingkah ayam yang aneh-aneh, lebih terlihat manakala kita berkunjung ke mall-mall. Aneka rupa ayam ada di sana. Yang hampir-hampir tak berbulu, banyak! Yang berjambul aneh-aneh juga banyak.
Sampai-sampai Mat Belatong tercengang dan berkata kepada istrinya,”Tengok tu makhluk ajaib! Korban zaman dan mode! Mereka tergagap sesat di arus dunia, tak tahu mana yang benar atau salah!“
Ayam-ayam pedaging yang menyingkap atau mencabuti bulunya agar bisa pamer paha, perut, pantat, punggung maupun dada ini, tentu membuat jakun musang turun naik menelan liur!
Akibat melanggar sesuatu yang tak tersurat di dalam hikayat, tak tersirat di dalam adat, meremehkan hukum syariat, tak aneh bila banyak ayam menjadi korban sia-sia.
Lebih dari itu, di akhirat kelak akan diperoleh kenyataan: banyak “ayam” yang masuk neraka ketimbang “musang”! Pun di sana, lebih banyak “bunga” dibandingkan “kumbang”!
Namun demikian, tak selamanya ayam selalu menjadi korban. Berhati-hatilah terhadap ayam yang berani gentayangan mencari musang, yang berani pamer: menjanjikan daging dan kelezatan itu.
Yang demikian ini, mungkin bukan sekadar ayam dara yang baru keluar dari kandang dan masih bloon, tapi bukan mustahil seekor ayam yang sudah “tinggi jam terbang”-nya!
Kini, banyak ayam yang sudah lebih pintar daripada musang! Hal ini dikarenakan si musang coba menawar-nawar firman Allah, dan merasa bahwa duit lebih berkuasa dari firman Allah. Akibatnya, tak sedikit musang yang menjadi lengah, lingau dan bodo-bale.
Dipikirnya, setiap ayam memang santapan musang, lalu main terkam saja!
Terpentang di mata kita betapa banyak ayam keluar dengan jeratnya, untuk mencari musang yang bisa dikadalin dan digombalin.
Musang naik pahar, paling empuk jadi sasaran. Karena selain punya jabatan juga banyak duit, tapi belum berpengalaman dalam berburu ayam, baru mulai masuk dunia “gaul”, masih kuat bloon-nya!
Akibat kalah dalam permainan “gombal-gombalan”, si musang terjerat, sukar melepaskan diri, bisa tinggal seluar katok (celana pendek/dalam – pen). Keluarga kucar-kacir, jabatan gunjang-ganjing, bahkan bisa tepelongkeng dari paharnya!
Bukan pula tak ada terjadi, ayam dan musang yang sudah tinggal sesarang karena diikat tali perkawinan, sudah beranak-pinak, same tak iye jak laki-bini, saling selingkuh, cari guling masing-masing, atau tukar guling!
Kemudian, kita simak pula bait terakhir dari pantun Melayu itu, di mana nenek-moyang berpetuah: Sungguh pun budi hanya setitik, langit dan bumi ada di dalam!
Budi adalah kesadaran nurani yang terdalam di lubuk hati manusia. Tatkala “budi” telah memancar dari lubuk hati seseorang manusia, niscaya perangai dan akhlaknya menjadi terpuji. Dia insan tertuntun!
Budi dalam makna hati nurani, tak lain adalah qalb atau kalbu manusia.
Kalbu atau hati dalam makna inilah yang bisa membuktikan kebenaran dari hadis Qudsyi: Tiada luas bumi-Ku dan langit-Ku, melainkan lebih luas Aku pada hati hamba-Ku yang mukmin, yang takut lagi suci.
Ke sinilah mungkin kaitan petuah nenek-moyang: Sungguh pun budi hanya setitik, langit dan bumi ada di dalam!
Tanpa budi-pekerti, manusia memang tak lebih mulia dari ayam dan musang.
Masih untung jadi satwa ayam dan musang yang sesungguhnya. Sebab tiada perhitungan atau hisab yang dikenakan kepadanya di hari akhirat.
Apa jadinya kalau manusia ayam, manusia musang, tatkala ajal menjemput belum juga sadar dan berubah? ***
( Pontianak, 10 November 2005 )
Friday, July 27, 2007
MAT BELATONG, AYAM DAN MUSANG
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment