Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, July 27, 2007

MAT BELATONG DAN ARAK KAMPEL

Oleh A. Halim R.

PAGI hari Mat Belatong tampak santai membaca suratkabar sambil menghadapi sarapan pagi rutin: rokok, kopi, dan pisang goreng telanjang. Ia cuma berkain sarung, kaus oblong. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang. Begitu pintu dibuka, tampak tiga orang pemuda tanggung. Salah seorang dari mereka langsung bertanya,”Ade bende Bang?”
“Bende ape?!“ tanya Mat Belatong. “Biase! Kate budak-budak, Abang ade jual!” jawab pemuda tersebut.
“Salah kali kitak ni. Dolok di sebelah ini memang ade warong, tapi dah tutop! Kalau aku ni tak pernah jual ape-ape!“ jawab Mat Belatong.
Ketiga pemuda itu saling berpandangan, kemudian pergi setelah mengucapkan maaf dan terima kasih. Tak lama, lagi-lagi Mat Belatong dikejutkan oleh serombongan anak-anak berusia sekitar 10 – 12 tahun. Lima orang!
Anak-anak tersebut langsung berkata,”Kamek maok beli anok Pak e!“
“Beli ape?!“ tanya Mat Belatong heran.
“Biase, yang bekampel tu!“ jawab salah seorang dari mereka.
“Oo, tadak! Tadak jualan ape-ape!” jawab Mat Belatong.
Begitu anak-anak itu pergi, ia menutup pintu rumahnya. Setelah mengisap rokok, menghirup kopi, baru otak Mat Belatong connect dengan kata “kampel“.
“Celake, jahanam, dikirenye aku ni jual arak kampel!“ pisuh Mat Belatong ngomong sendiri. “Ini pasti ade yang khianat ngerjekan aku ni, bilang di rumah ini ada jual arak, jual madat!“ omel Mat Belatong.
Baru saja sebentar duduk di kursi tuanya, sudah ada lagi yang mengetuk pintu.
“Celake jahanam siape agik ni!?“ ucap Mat Belatong berjalan untuk membuka pintu.
Begitu pintu dibuka, nongol wajah Mat Ketumbi alias Ketuk, kawan Mat Belatong berdekatan rumah. “Kau gak, nak beli arak kampel ke sinik!?“ sergah Mat Belatong.
“Eh Jon, ape pasal? Cobe gak suroh ana ni masok dolok, baruk ngomong!“ jawab Mat Ketumbi slow. Ia melihat muka Mat Belatong merah, macam habis marah. Tapi bagi Mat Ketumbi, no problem, sebab dia tahu benar tingkah Mat Belatong. Angin-anginan! Kadang-kadang tak ada angin tak ada ribut, “syaraf ”-nya korslet!
Setelah keduanya sama duduk, Mat Ketumbi bertanya,”Ade pasal ape dengan arak kampel? Memangnye ana ni peminom?“
Kemudian berceritalah Mat Belatong tentang anak-anak yang datang itu. Mendengar cerita Mat Belatong tersebut, Mat Ketumbi tekial-kial ketawa.
“Ngape pulak ente ketawak, memangnye aku ni ade potongan jadi tukang jual arak kampel?!“ tanya Mat Belatong.
“Kalau soal potongan, bagosnye becermen sorang jak! Soal minum, kalau dilihat dari curriculum vitae alias riwayat hidup: memang bisa dibuktikan, dengan menghadirkan banyak saksi yang masih hidup!“ jawab Mat Ketumbi.
“Celake jahanam! Itu masa jahiliyah Ketuk, jangan sebot-sebot agik. Aku jak sekarang tengah berperang melawan kejahilan-kejahilan yang ade di diriku sendirik. Benar kate Nabi, tak ade musoh besak melaenkan dirik sendirik! Oleh sebab itu aku sangat memusuhi kejahilan-kejahilan yang pernah kulakukan, kalau kulihat orang laen melakukannye. Maoknye: jangan agik orang laen melakukannye, cukop Mat Belatong. Jangan mengulangi sejarah Mat Belatong, bikin sejarah sendirik yang cemerlang!“ ucap Mat Belatong.
Kemudian setelah berpikir sejenak, Mat Belatong bertanya,“Macam mane pikeran awak Ketuk, untok mengajar budak-budak itu!“
Mat Ketumbi berpikir sampai keningnya bekerot! Ia minta air kopi, dan merokok. Setelah itu ia mengungkapkan idenya kepada Mat Belatong.
Mat Belatong terdiam, kemudian ia berkata,“Bolehkah itu dilakukan?!“
Mat Ketumbi langsung menjawab,“Boleh jak, untok kebaikan!“
Alhasil setelah itu, Mat Ketumbi yang pernah tahu tentang susur-galur perdagangan miras lokal, lalu membeli 15 kampil arak capcuan, dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam. Sedangkan Mat Belatong pergi ke warung Siti Fatimah tukang jual daging.
Sampai di rumah, daging 2,5 ons itu direbus sebentar lalu dipotong kecil-kecil seukuran ruas kelingking. Kemudian setiap daging itu dimasukkan ke dalam kampel arak tersebut.
Belum lama pekerjaan keduanya selesai, sudah datang 4 remaja tanggung naik sepeda motor berboncengan. Mat Ketumbi nongol ke depan pintu.
“Ade Bang?“ tanya salah seorang. Mat Ketumbi langsung menjawab,“Berape kampel?“
“Limak jak!“ jawabnya sambil menyodorkan duit lembaran 10 ribu. Kemudian Mat Ketumbi masuk dan mengambil lima kampil arak dimasukkan ke dalam sebuah kantung plastik hitam, dan duit Rp 2,5 ribu untuk kembali. Umumnya harga sekampil arak lokal termurah adalah Rp 1.500,-. Sehabis menerima kantung tersebut, pemuda-pemuda tanggung itu bedesut dengan sepeda motornya.
Pendek cerita, tak perlu berlama-lama 15 kampel arak yang disediakan, pesai dibeli budak-budak.
Mat Ketumbi sudah mengontek Johny Beres dan Bujang Lonang, untuk datang ke rumah Mat Belatong. Sebab sudah diperkirakan, pasti budak-budak itu protes. Kalau macam-macam, tinggal Johny jak yang membereskannye, atau Bujang Lonang nyampakkan budak-budak itu ke parit. Siapa tak kenal Bujang Lonang! Tapi alhamdulillah, tinggal gelarnye jak, pekerjaan sesat itu telah ditinggalkannya setelah beranak-bebini.
Sesuai dengan perkiraan, tak lama datang budak-budak pembeli arak tersebut. Melihat Johny Beres dan Bujang Lonang muncul di pintu, budak-budak langsung ngeper. Mereka tak berani masuk ke rumah mendengar sergah Bujang Lonang, “Kitak ni ngape ramai-ramai datang ke sinik?!“
Salah seorang menjawab,“Kamek nak betemu dengan Bang Mat Belatong, ade yang maok ditanyakkan!“
“Aa, kitak maok tanyak ape, sile!“ ucap Mat Belatong muncul di pintu, lalu turon ke kaki tanggak menemui budak-budak itu.
“Kamek tengok di dalam kampel, ade sekerat daging! Daging ape tu Bang Mat!?“ tanya mereka .
“Kalau kitak maok tahu, itu daging babi!“ jawab Mat Belatong.
Tampak anak-anak itu kaget dan tergemam sebentar.
“Ngape pulak daging babi dimasokkan ke arak, kamek kan tak makan daging babi!“ ucap budak-budak tersebut.
“Merampot kitak tak makan daging babi! Kalau kitak menghalalkan arak, ngape pulak nolak daging babi!“ ucap Mat Belatong.
Lebih lanjut, bagaikan di majelis dakwah, Mat Belatong nyerocos: Adek-adek yang saye hormati dan saye cintai! Akher-akher ini saye tengok, kelakuan budak-budak kite, termasok kitak ni, dari kecik sampai besak, udah mulai rosak! Sampai-sampai tak peduli pagi, tak peduli siang atau malam, kerjenye nak mabok jak! Nak muntah darah! Sampai-sampai rumah aku pon digedor, dikire ade jual ‘bende‘, ade jual arak kampel! Kalau begini modelnye, maknanye tak ade laen, melainkan menuju kehancuran zahir maupun batin! Kitak kan tahu, bahwa di dalam Al-Quran jelas-jelas: arak, tuak, anjing dan babi itu haram! Sekali agik: arak – tuak – anjing – babi! Yang pertama dilarang: arak! Baru tuak, baru anjing, baru babi! Tanggung-tanggung kalau orang Islam jual arak untuk menghidupi anak-bini, lebih baik jual daging anjing, daging babi! Tidak meracuni orang lain, tidak membuat orang lain ketagihan, tidak membuat orang lain mabuk, muntah darah! Tidak membuat orang lain hilang ingatan, bikin onar, dan berbagai kejahatan lainnya! Kalau memang tak bisa mengelak dari makan-minum barang haram, orang pintar akan lebih memilih makan daging anjing, ataupun daging babi. Mungkin badan bisa gemuk! Jangan mencari sengsara di dunia, neraka jahanam di akhirat. Jangan jadi orang, udah gak bodo-bale, miskin, hidup sakit di dunia, lalu matinya masuk neraka! Masih untung jadi orang hidup enak makan barang haram, mati masuk neraka. Paling tidak dia sudah kebagian surga di dunia, walaupun neraka di akhirat!
“Ngape gak Bang Mat jual arak!?“ tanya salah seorang dari budak-budak itu.
“Demi untok kebaikan kitak, baruk hari ini aku jual arak sekalian dengan daging ‘babi’-nye!“ jawab Mat Belatong .
“Sekali lagi aku pesankan kepada kalian, jangan minum apalagi jual arak. Sebab sama dengan makan atau jual daging babi! Bahkan arak mudaratnya lebih besar! Pun dalam hidup ini jangan membual, mencuri, main judi, mabuk, madat dan melonte! Itu jalan penghancuran bagi moral dan jasmani Islami!“ ucap Mat Belatong.
Akhirnya Mat Belatong berkata: Sayangi dirimu! Sebab engkau bukan dibuat oleh mesin, pun bukan oleh manusia! Tidak pula oleh kedua ibu-bapakmu! Sebab kalau Allah mau, Ia bisa menjadikan manusia di muka bumi ini, tanpa perantaraan ibu-bapak, contohnya Adam! Ia bisa membuat perempuan melahirkan tanpa perlu campur tangan lelaki, contohnya Isa Ibnu Maryam. Dan ketahuilah, engkau telah dijadikan oleh “tangan” Allah Yang Maha Suci! Adakah dari tangan seorang maestro semisal pelukis Affandi tercipta sesuatu karya yang konyol dan tak bermutu? Engkau telah tercipta oleh “tangan” Maha Maestro! Engkau sebuah karya yang sangat bermutu! Oleh karena itu pelihara dan rawat dirimu lahir dan batin sebaik-baiknya! Jangan rusak dan cemari dirimu dengan arak, narkoba dan lain kekotoran! Dan ingatlah selalu kepada Maha Maestro penciptamu! Jadikan Dia idolamu!
Begitu Mat Belatong selesai “dakwah“, Mat Ketumbi langsung membagi-bagikan duit Rp 1.500,- kepada setiap orang budak-budak itu. Duit mereka dikembalikan, kampel arak dicurahkan ke parit! Anak-anak, remaja dan para pemuda itu akhirnya pulang sambil mengucapkan terima kasih serta menyalami Mat Belatong, Mat Ketumbi, Johny Beres dan Bujang Lonang. “Jadi-jadilah menggile tu!” pesan Bujang Lonang. Dan tak seorang budak-pun tahu, kalau potongan daging yang ada di dalam kampel arak itu adalah daging sapi. Gile ke ape Mat Belatong encarik daging babi di warong Siti Fatimah! ***

( Pontianak, 4 Juli 2005 )

1 comment:

Pahrian Siregar said...

Hahaha...
Bagus benar kesah awak ni Pak Halim.. Saye ingat pengalaman waktu masih bediam di Ponti dulu..
karena tinggal di sumor bor, nah banyak lah bekawan dengan budak2 medure. Kerje budak2 tu malar jak minum aek kampelan.. Nah, suatu ketike ade kawan yang orang dayak baru datang dari ulu.. pas agek minum2 gitu, mereka nyarek pung (makanan teman mabok).. kawan saye orang dayak tu langsung ambek daging dari rumahnya.. mrase dapat pung daging dan tadak pakai betanya.. langsung jak bende tu diganyah budak2.. dah berapa lama, baru mereka tau bahwe bende tu adalah daging babi.. walaupun dah gak lama cerite maboknye.. tetap gak budak2 tu muntah2 sampai keluar mutah kunengnye.. Heran gak saye, padahal same2 haram, tapi kok yang satu digemari dan satu ditakotkan sampai buat temuntah-muntah
wasallam,
percakburok@blogger.com