Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, July 27, 2007

MAT BELATONG DAN “ALIRAN SESAT “

Oleh A. Halim R.

SUATU waktu, Mat Belatong diajak kawan-kawannya mengadakan pameran lukisan. Yang datang ke rumahnya beberapa orang pelukis profesional, seperti Zein Lupak Lapek SSn, Lia Lemah Lecok SSn dan Zul Keple SSn.
“Kite haros unjok gigi Bang Mat!“ ucap Lia salah seorang pelukis wanita Pontianak itu bersemangat.
“Ape agik pameran sekali ini di Gedong PCC – Pontianak Convention Center – yang bergengsi itu Bang Mat,” tambah si Zul.
“Macam mane ana nak ikot, sebutik lukisan pon dah tadak. Kan kitak tahu kalau ana ni dah jadi tukang ander. Sampai-sampai jadi tukang solder panci pesok pon ana kerjekan. Kalau agik ade keramaian, ana membuat maenan budak kecik, lele dumbo, untok dijual!” jawab Mat Belatong.
“Bang Mat mesti ikot, biarpon cume duak-tige lukisan,” jawab Zein Lupak Lapek, “buat ngeraskan semangat kamek dan budak-budak laen tu!“
Dan ternyata keesokan harinya ketiga pelukis jebolan ISI Yogya itu datang lagi. Di depan mata Mat Belatong mereka togokkan 2 bidang kain kanvas, cat minyak dan kuas.
“Pokoknye, tige hari sebelom pameran, jadi tak jadi lukisan Bang Mat kamek ambek,“ ucap Lia.
Kemudian ketiga pelukis itu cao, naek sedan si Zein Lupak Lapek yang baru dibelinya seharga Rp 20 juta.
Setelah ketiga pelukis itu pulang, Mat Belatong termenung menatap dua kanvas yang kosong itu. “Ini budak-budak ni nak ngerjekan aku, pandai akal!” ucap Mat Belatong .
Tapi, bukan Mat Belatong namanya kalau kehabisan ide, tak kreatif.
Tak berlama-lama Mat Belatong mulai melukis. Ia melukis sesosok manusia berjubah, besorban besar di kepala, naik keledai! Mereka yang “arif” pasti mengenal, itu sosok tokoh terkenal asal Turki: Hoja Nasruddin Affandi!
Hoja Nasruddin dilukiskan berada di sebuah pulau kecil, seperti Tanah Lot di Bali. Pulau kecil itu, permukaan tanahnya memang agak tinggi dari permukaan laut. Ukuran pulau itu kalau dilihat perbandingannya dengan keledai dan manusia, sekitar 10 x 5 meter. Di sekelilingnya lautan luas. Ombak dilukiskan menghantam dahsyat bagian bawah pulau itu, sehingga menjadi genting terkikis! Sedangkan permukaan tanah pulau tersebut tampak hijau ditumbuhi rumput, dan ada beberapa ekor ikan yang digambarkan tinggal kepala dan tulangnya. (Bekas dimakan Hoja Nasruddin barangkali!?).
Sebuah kanvas yang lain, digunakan oleh Mat Belatong sebagai palette, tempat mencampur cat.
Setelah lukisan “Hoja Nasruddin“ selesai, lalu semua cat yang ada di dalam tube, dipencet Mat Belatong ke atas kanvas yang dijadikannya palette itu. Sehingga di bagian tengah kanvas tersebut, tampak cat warna-warni betukuk-tukuk macam taik ayam!
Seperti janji semula, tiga hari sebelum pameran, Zein Cs datang untuk mengambil lukisan Mat Belatong. Walaupun Mat Belatong kebetulan tak ada di rumah, kedua lukisan tanpa bingkai itu dibawa ke Gedung PCC.
Keesokan harinya, semua lukisan yang masuk diseleksi “kelayakan tampil“- nya oleh sejumlah kurator, pengamat seni yang sengaja didatangkan dari Jakarta, Bandung, Yogya dan Bali!
“Balak gak kerje panitia ni,” ucap Mat Belatong ketika keesokan harinya datang ke PCC. “Mendatangkan pengamat seni jak 15 orang!“ tambahnya.
Berdasarkan penilaian orang-orang yang diakui sebagai ahli dan pengamat seni itu, semua lukisan lolos, kecuali satu! Yaitu karya Mat Belatong di kanvas yang dijadikannya palette itu! Sebab para ahli seni itu tahu kalau kanvas itu bukan lukisan, melainkan cuma dijadikan palette oleh pelukisnya.
Mengetahui hal tersebut Mat Belatong protes. “Kalau cume masok salah-satu, lebeh baek duak-duaknye tak ikot! Duak kanvas itu satu kesatuan, tak bise dipisahkan!” ucap Mat Belatong di hadapan para ahli seni itu.
Karena omongannya tak digubris, Mat Belatong bergerak ingin mengambil kedua lukisannya untuk dibawa pulang. Namun Lia Cs masih menahan Mat Belatong. Negosiasi dengan Tim Penyeleksi segera dilaksanakan. Ternyata Tim Penyeleksi masih ngotot dengan setumpuk kriteria dan alasan!
Suasana panas timbul, dan para pelukis Kalbar mengambil keputusan yang sama sekali tak terduga. Pameran batal, kalau lukisan Mat Belatong tidak diikutsertakan dua-duanya! Para ahli seni kalot, panitia dan para sponsor belingsatan!
Akhirnya lukisan Mat Belatong lolos. Dan syarat lain yang diajukan Mat Belatong pun dipenuhi: dua kanvas itu harus diletakkan berdampingan!
Setelah itu semua acara berjalan lancar, dan pengunjung berlimpah. Apalagi karena mendengar kabar dari mulut ke mulut bahwa Mat Belatong tampil dengan lukisan “Hoja Nasruddin“ dan “taik ayam“. Kalangan yang mengenal baik tokoh Hoja Nasruddin dari banyak literatur, ikut berdatangan. Baik dari STAIN, UNTAN, para pengikut tarikat, dan pengamal sufisme! Benar-benar heboh! Komentar, opini, maupun debat di antara para penonton terjadi!
Salah seorang guru tarikat dari Paret Bakong, melihat lukisan Hoja Nasruddin sampai berucap,”Beginilah keadaan para penganut tarikat dan tasawuf di daerah ini. Terkucil, terpencil, dan terus dihantam oleh gelombang ketidaksetujuan yang dahsyat! Contoh nyata telah dialami oleh Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi Ibnu Abdul Ghaffar. Aliran tarikatnya sirna dari bumi Kalbar, untung saja murid-muridnya banyak tersebar di Jawa dan Madura!“
Terhadap kanvas yang satunya lagi, Haji Kasem sufi dari Sungai Dungun berucap,”Siape bilang ini lukisan taik ayam?! Kalau taik ayam tadak warne-warni macam ini. Ape yang dituangkan Mat Belatong ke kanvas ini adalah gambaran dari qalbu manusia yang penuh kekotoran dewasa ini, penuh warna-warni hawa nafsu! Kalau hati udah mengeras, betukuk-tukuk , belepotan seperti ini, lalu mana lagi untuk Allah?!“
Sejumlah komentar, disampaikan oleh Zul Keple kepada Mat Belatong. “Haa, sampai begitu cakap orang?! Tapi alhamdulillah, itulah karya seni. Walau tanpa judul, ia telah berbicara kepada setiap orang, berdasarkan kapasitas, persepsi, dan imajinasi orang itu masing-masing,“ ucap Mat Belatong. “Padahal ana sorang tak tepiker yang macam itu!” lanjutnya. “Tapi jelas, orang Kalbar khususnya orang-orang tarikat itu apresiasi seninya sangat tinggi! Mereka bukan cuma memandang yang tersurat, tapi juga yang tersirat! Dan mereka siap ‘berijtihad’ dalam memecahkan sesuatu fenomena yang dihadapi. Dan kite tak dapat menahan orang bepiker dan berpendapat sekarang ni. Termasok mane kite mampu menolak fitnah orang, sedangkan Rasulullah jak kenak fitnah!“ tambah Mat Belatong.
Akan halnya kanvas Mat Belatong yang dijadikan palette itu, dicap oleh para kurator dan ahli seni sebagai: aliran sesat! Sebab sukar memasukkannya ke dalam kategori lukisan maupun sesuatu aliran lukisan! Tidak memenuhi, bahkan “menyimpang “ dari kriteria umum yang berlaku!
Malam terakhir pameran, semua ahli seni kumpul, semua pelukis kumpul. Demikian juga sejumlah penonton yang berminat tinggi. Sebab malam itu akan diadakan: bedah karya! Semua ahli akan memberikan kritik, saran maupun pujiannya, dan semua pelukis berhak melakukan pembelaan.
Suasana memang hangat!
Alhasil, sampailah kepada kedua karya Mat Belatong.
Karya Mat Belatong yang dianggap “aliran sesat“ dibedah habis-habisan. Berkeluaran semua dalil, semua fatwa, semua hujah dari para ahli seni itu. Namun berbagai pendapat, berbagai tafsiran dan pujian diungkapkan oleh para ahli seni itu
terhadap lukisan “Hoja Nasruddin“.
“Aneh,” pikir Mat Belatong,”bagaimana mereka bisa berbuat seperti ini, tidakkah mereka melihat, hanya ada satu pelaku dalam dua karya yang berbeda itu?!“
Kemudian Mat Belatong, di hadapan kedua lukisannya dipersilahkan untuk menjelaskan, memberikan pembelaan terhadap karyanya.
Dengan tenang Mat Belatong berkata,”Saye tak maok cakap banyak. Bise-bise pon ape yang ana cakapkan ini tak dimengerti oleh Bapak-Bapak para ahli. Maklomlah cakap saye, cakap orang bodo, sedangkan Bapak-Bapak orang pintar! Agik pulak, biarlah karya saya saja yang berbicara tentang dirinya kepada setiap orang dalam bahasa rasa! Tapi baeklah, saye hanya akan menambahkan sedikit ungkapan dalam bahasa Indonesia yang bersahaja, dan dengan kalimat yang bersahaja.”
Sambil menunjuk kepada lukisan Hoja Nasruddin, Mat Belatong berkata,”Tatkala memandang gambar, engkau lupa akan catnya!“
Kemudian ia menunjuk kepada cat yang betukuk-tukuk di kanvas yang satu lagi sembari berkata,”Tatkala memandang catnya, engkau lupa akan gambarnya!“
“Oleh sebab itulah saya tak mau kedua lukisan ini dipisahkan, sebab ia merupakan satu kesatuan,” lanjut Mat Belatong.
Karena melihat para ahli dan penonton diam, Mat Belatong memecah keheningan dengan ujarnya,”Dengan kata lain: tatkala memandang huruf engkau lupa akan dawatnya, tatkala memandang dawat engkau lupa akan hurufnya!“
“Demikian Bapak-Bapak dari saya, lebih dan kurang mohon dimaafkan, ana takot kepanjangan!” ucap Mat Belatong mengakhiri pembicaraannya. ***

( Pontianak, 29 Juni 2005 ).

No comments: