Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, July 27, 2007

MAT BELATONG DAN WAJAH DIRI

Oleh A. Halim R

YOMANDI LOKA, sahabat Mat Belatong, seorang fotografer “nyentrik” dari Kota Amoy Singkawang. Fotografer berusia kepala lima itu, bukan cuma berhasil menempatkan dirinya sebagai seorang pengusaha, yaitu Boss Teknik Foto Singkawang, tetapi juga seorang yang gila memotret, seorang fotografer kawakan yang selalu dahaga untuk hunting – mencari objek-objek foto – yang indah, aneh, bahkan nyeleneh!
Sesuatu yang tak ditoleh oleh fotografer lain untuk dipotret, dibidik olehnya, dan ternyata hasilnya: fantastik!
Seekor keramak, sekuntum bunga putri malu, tetesan embun yang menggelantung di ujung daun, lewat lensa kamera Yomandi, membuat kita terperangah tatkala menyaksikan hasil potretannya. Benda “remeh” itu menjadi sesuatu yang menarik, menampilkan komposisi warna yang luar biasa, yang tak muncul bila dilihat dengan mata telanjang!
Mat Belatong terkagum-kagum menyaksikan foto seekor keramak yang besarnya 10 – 15 kali keramak sesungguhnya! Mat Belatong yang dulunya gemar juga makan asinan keramak, kini telior-lior melihat komposisi warna yang ditampilkan Allah lewat penampakan seekor keramak! Dan itu baru tampak olehnya lewat karya foto “si gila” Yomandi Loka! Iya, Yomandi menjadi “gila” tatkala berada di lapangan, di ladang pemotretan, ketika keluar dari ruangan studio fotonya!
Cocoknya, ia dilepaskan ke arena Perang Vietnam (kalau dulu!), ke rimba belantara Kalbar! Niscaya ia akan menjadi seorang perekam terulung dan terlengkap dalam mengumpulkan perbendaharaan, kekayaan alam, flora, fauna, human interest, seni-budaya, serta berbagai hal yang tak terpikirkan oleh kita!
Kendati ia seorang pengusaha, namun tampak bahwa ia memotret bukan untuk duit! Duit bisa ditunggunya di studio foto – lewat karyawannya – sedangkan memotret untuk pemuasan dan pengayaan ruhaninya!
Terbayang oleh Mat Belatong, betapa sesungguhnya Yomandi Loka, tak kalah dari fotografer profesional seperti Dennis Lau, Lim Poh Chiang, Lucas Chin ataupun Hedda Morrison, yang karya fotonya banyak terekam di buku-buku tebal yang cukup mahal, yang berperan besar dalam mengekspos eksotisme alam dan manusia Borneo bagi kepentingan antropologi maupun pariwisata Malaysia!
Yomandi dengan rambut panjang berkuncir, dengan topi jungle, dengan rompi bersaku banyak, dengan seabrek ambinan berupa bag punggung yang berisi peralatan kamera, dengan kamera sekian buah menggelantung di lehernya, cocok sekali untuk kawan seperjalanan dalam berpetualang merekam wajah bumi Kalimantan!
Suatu hari, Mat Belatong mendapat kiriman sebuah foto dari Yomandi.
Ketika dibuka, foto yang ukurannya sekitar 40 x 60 cm itu ternyata potret wajah Mat Belatong!
Diam-diam, dalam sebuah kesempatan bersama, Yomandi Loka ternyata telah memotret close up, wajah Mat Belatong dari samping!
Dan wajah yang terpampang di foto – yang lebih besar dari wajah aslinya itu – membuat Mat Belatong terperangah!
“Lewat foto ini, Bung Yo mengingatkanku, betapa sesungguhnya aku telah menjadi tua! Dan si tua di foto ini, lebih sering lupa kalau dirinya tua!“ ucap Mat Belatong di dalam hati.
Tatkala bertemu dengan Yomandi Loka, Mat Belatong berkata,”Terimak kaseh Bung Yo, atas kiriman fotonye. Ente telah mengingatkan ana, bahwa ana bukan agik anak mude, tapi seorang lelaki tue! Terimak kaseh banyak atas peringatannye! Ana ni memang banyak tak tahu dirik, Bung Yo!“
Yomandi Loka rada bingung juga mendengar celoteh Mat belatong. “Bukan begitu Bang Mat, itu kan foto buat kenang-kenangan,” jawab Yomandi.
“Iye, foto kenang-kenangan, yang membuat ana berutang duet maokpon budi dengan Bung Yo. Cobe kalau ana nyetak sendirik, dah berape duet tu!“ ucap Mat Belatong.
Yomandi tertawa dan berkata,”Tak osah piker itu Bang Mat! Bang Mat ni ade-ade jak,
macam kite tak kawan jak!“
Tak lama setelah itu, kembali Mat Belatong menerima kiriman dari Singkawang, dari Yomandi Loka.
Kiriman itu lewat seorang teman, dikemas dalam packing yang rapi, sehingga terjaga keutuhan barangnya. Ternyata berisi foto lagi, sudah berfigura bagus, lengkap dengan kacanya!
Foto tersebut berukuran sekitar 35 x 60 cm, terdiri dari 4 buah foto yang dicetak di atas satu lembar kertas foto.
Foto pertama, potret seekor ulat yang tengah merayap di sebuah ranting. Ulatnya diperbesar sehingga menjadi lebih panjang dari telunjuk orang dewasa. Seekor ulat dengan warna yang indah, hitam berlurik putih, bertotol kuning-jingga! Ada selembar daun di ranting itu, tinggal pangkal daunnya saja. Bagian lain dari daun itu, tentu telah habis disantap ulat tersebut!
Foto kedua, gambar sebuah kepompong yang ujung bagian atasnya lengket di sebuah ranting. Sepertinya ranting tersebut adalah dari pohon yang sama. Kepompong bewarna putih itu bagus bentuknya, bagian bawah berbentuk bulat memanjang, atasnya seperti kerucut. Kepompong itu dicetak besar sehingga ukurannya lebih besar dari ibu jari kaki orang dewasa!
Dua foto berikutnya adalah gambar kupu-kupu yang hinggap di ranting kayu yang sama. Kulit kepompong tampak masih bergantung di bawahnya, sudah kempis! Kupu-kupu pertama, mengesankan seperti belum lama keluar dari kepompongnya. Karena warna sayapnya belum matang dan belum secemerlang sayap kupu-kupu pada potret berikutnya.
Oleh Yomandi, perubahan warna kupu-kupu tersebut diikutinya dengan sabar, sampai seekor kupu-kupu tampil dengan warna sayap yang sempurna, dan siap terbang!
Foto tersebut oleh Yomandi diberi judul: Terciptalah Daku.
Mat Belatong termenung menatap foto tersebut.
“Yomandi kembali mengajariku, dan mengingatkanku!“ ucap Mat Belatong dalam hati. Betapa tidak. Sebuah proses kejadian, sebuah proses penciptaan yang dilakukan Allah, dipajangkan Yomandi di depan biji mata Mat Belatong!
Dari sebutir “nutfah” (boleh dianggap: sebutir telur), telah hadir seekor ulat. Di sebuah pohon bisa hidup bermacam ulat dari berbagai bentuk serangga. Mereka hidup, dan mereka makan. Kalau perlu mereka bertarung untuk mendapatkan makanan, untuk keamanan dan kenyamanan pribadi! Dan itulah kehidupan yang tengah dijalani oleh Mat Belatong sekarang ini, oleh manusia di muka bumi ini!
Untuk kehidupan di muka bumi, manusia rela berkelahi, bertarung, bersaing, berebut jabatan dan kenyamanan. Bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kenyamanan hidup di “pohon dunia”!
Banyak yang beranggapan, kehidupan dunia adalah kehidupan yang sesungguhnya, sehingga apa-apa yang ada di “pohon dunia” harus diraup, dilahap! Dan tatkala itu yang dilakukan, niscaya ia akan menjadi ulat yang tak habis-habisnya bertarung demi nafsu. Dalam pertarungan di “pohon dunia”, ia bukan mustahil menjadi kotor, menjadi belepotan, bahkan menjadi invalid!
Padahal kehidupan belum selesai. Dan seekor ulat yang salih – yang paham makna kehidupan – tahu, bahwa ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebab ada fase kepompong putih menunggunya. Sedangkan seekor ulat yang pekak-lantak, dengan segenap kecacatannya pun harus melalui fase masuk kepompong putih. Kalau manusia: masuk kain putih (kafan), masuk peti mati, masuk tanah, menjalani kehidupan alam kuburan (barzah).
Kehidupan dalam selimut putih – kepompong – tidak butuh makanan. Kebagusan bentuk kepompong, kemilau warna kepompong, tercipta dari perilakunya tatkala menjadi ulat. Belepotan ulat itu, belepotan pula kepompongnya! Invalid ulat itu, cacat pula ia di kepompongnya.
Dan tatkala fase kepompong mesti ditinggalkan, mereka akan menjadi kupu-kupu! Inilah kehidupan yang sesungguhnya bagi seekor ulat, kehidupan akhirat bagi manusia.
Akankah ia menjadi kupu-kupu yang indah, yang perkasa untuk terbang bebas meninggalkan pohon? Kembali tergantung kepada perilakunya tatkala menjadi ulat, sulit dan mudahnya ketika menjadi kepompong.
Kalau cacat, kalau invalid, mampukah ia terbang dengan perkasa mengarungi jurang dan ngarai yang menganga, di mana beragam predator berkeliaran!? Bukan mustahil ia akan jatuh ke ngarai kesia-siaan, menjadi mangsa predator yang ganas! Kalau manusia: ia akan jatuh ke jurang neraka, menjadi mangsa api yang dipeliharanya sendiri di dunia, dan dinyalakannya sendiri di akhirat!
Ulat yang tenang di ranting – bagaikan bertafakur – dan kupu-kupu yang indah, yang menjadi sasaran kamera Yomandi Loka, mungkin berasal dari ulat yang salih.
Mat Belatong masih tercenung, menatap kepompong putih dan kupu-kupu di hadapannya. “Terima kasih, Bung Yo, Anda masih mengingat dan mengingatkan saya,” ucapnya di batin. ***
( Pontianak, 4 Oktober 2005 )

No comments: