Oleh A.Halim R.
MAT BELATONG, walaupun bingung, tapi paham juga bahwa dewasa ini sangat banyak orang pintar. Yang namanya perguruan tinggi juga sudah belonggok, baik yang negeri maupun yang swasta, baik yang mahasiswanya benar-benar kuliah ataupun yang kuliahnya sangsot tapi pasti dapat gelar.
Yang namanya gelar, pun sudah bermacam-macam, bahkan ada yang “berdepa-depa” di belakang nama seseorang! Tingkatannya, ada S1, S2 dan S3, dengan beragam-ragam singkatan.
Mau yang lebih, masuk S4 (S Opat). Di strata ini bisa kumpul dengan si Asep, Kang Ujang, Mang Dudung bahkan kalau nasib baik bisa ketemu dengan si Iteung dan si Kabayan. Paling tidak bisa ngumpul dengan Kang Dedi penabuh gendang dari grup kesenian “Gentra Siliwangi“ Pontianak itu!
Namun menurut pengamatan Mat Belatong, banyak di antara orang-orang pintar itu yang bertekuk lutut kepada orang-orang yang menamakan dirinya atau dinamakan “orang pandai“ alias dukun! Golongan ini, juga membuat Mat Belatong pening. Mana “orang pandai“ benar, mana “orang pandai ngakal” atau sekadar “pandai sulap“. Tak jelas!
Secara kasat mata, Mat Belatong melihat, yang menamakan dirinya atau dianggap oleh orang lain itu “orang pandai“, ada yang tak pernah “ngunyah bangku sekolah“, ada yang cuma setakat SD atau Lanjutan, dan ada pula mantan mahasiswa drop-out! Ada juga yang sarjana, barangkali.
Dan anehnya sering terlihat, orang-orang pintar banyak yang bertekuk lutut, sangat membutuhkan, bahkan sampai pada stadium ketergantungan kepada “orang pandai“. Kendati “orang pandai“ itu cuma “mengunyah“ bangku SLTP.
Lalu orang pintar itu ilang cerite pintarnye, ilang cerite S1, S2, S3, timbol cerite: S Teler, S Lingau, S Kampel!
“Di sinilah fenomena antara orang pintar dan orang pandai,” pikir Mat Belatong yang sedang-sedang gak lingau-nye itu.
Pada suatu kesempatan, Mat Belatong berkunjung ke suatu daerah yang kebetulan mengadakan gawai resmi. Karenanya tak aneh bila banyak orang pintar (umumnya pejabat) yang datang ke sana. Dan banyak yang Mat Belatong kenal baik. Maklumlah, walaupun lingau, dalam pergaulan hidup Mat Belatong terbilang bergaul lintas strata sosial. Dari pemulung sampai ke peringkat “elit“, dari tukang “gulung” sampai kepada Pak Pelit, dari kakilima sampai kakiseribu! Tak percuma gelar “belatong“ yang disandangnya!
Suatu malam dalam majelis yang terbatas, dan sangat tidak resmi, ia tampak bersama dengan beberapa orang pintar yang dikenalnya. Dan tiba-tiba masuk seorang penjaga rumah memberi laporan kepada salah seorang pintar yang ada di situ.
“Assalamu’alaikum Pak, tadik ade saye lihat si Mendan lewat, pegi ke pasar!” ucapnya dengan hormat.
“Ha, kalau begitu panggel jak ke sinik, bilang aku yang manggel, sebab ade yang maok diobat!” ucap Pak Pintar yang pejabat itu.
Dari omong-omong selanjutnya, tahulah Mat Belatong bahwa orang yang disebut Mendan itu, termasuk “orang pandai“ di daerah itu.
Namanya yang sebenarnya Hamdan, kenak lidah Melayu terjadi modifikasi, jadi: Mendan! Same gak dengan Bugis: Bapak Abdurrazak jadi Wak Cak, Rasyid jadi Sidek, Ma’aruf jadi Marupek, Jamaluddin jadi Maluk!
Tak lama kemudian si penjaga rumah datang, dan memberi laporan,”Pak, malam ini si Mendan belom dapat datang. Sebab, menurot peritongan die, malam ini tak bagos untok berobat. Besok malam jak , die bilang.”
“Aa, iyelah,” kata Pak Pejabat,”mak kaseh ye!”
Otak usil Mat Belatong, mulai mereka-reka. Karena dipanggil mendadak, tentu Mendan tak mau datang, karena ia “belum siap“ dengan peralatan ataupun barang-barang yang diperlukan untuk praktik “perdukunan“-nya. Mat Belatong memang banyak tak percaya daripada percaya terhadap hal-hal semacam itu. Biar gak lingau tapi terbilang kritis! Kadang-kadang, kritis Mat Belatong nyaketkan hati!
Malam besoknya Mendan benar datang, berpakaian biasa, menenteng sebuah tas besar. Mat Belatong diajak untuk menyaksikan pengobatan itu, dan kebetulan ia memang diajak tidur sekamar oleh Pak Pejabat. Harap maklum, walaupun bodo-bale dan agak lingau, Mat Belatong disukai oleh banyak orang.
Di kamar, Mendan tampak membuka tasnya, lalu mengenakan jubah dan sorban. Dan ia mengeluarkan pula beberapa lembar kain. Semuanya bewarna putih, dan bertulisan kalimah huruf Arab! Seluruh jubah dan sorbannya pun penuh dengan tulisan Arab!
Si pasien, duduk di kursi, Wak Dukun duduk di lantai (lantai kamar: karpet berbulu!). Yang akan diobati adalah betis pasien. Menurut Mendan perlu dioperasi untuk mengeluarkan penyakitnya.
Mat Belatong duduk di lantai menempatkan diri dekat benar dengan Wak Dukun.
“Aku nak nengok care bualnye!” ucap Mat Belatong dalam hati.
Mendan mulai bekerja. Ia mengeluarkan sebuah gunting kecil dari dalam tasnya, dan selembar kain putih bertulisan kalimah ditutupkan di atas kaki yang akan dioperasi. Mulutnya komat-kamit, gerakan tangannya cepat, sehingga Mat Belatong agak “lengah“ dalam pengamatannya. Dan di bawah kain itulah tangan Mendan bekerja. Tampak pasien agak meringis, mungkin merasa sakit karena “digores“ dengan ujung gunting kecil itu.
Setelah beberapa saat Wak Dukun mengeluarkan tangannya dari bawah kain putih tersebut, dan tampak ia memegang sebuah benda berbentuk gumpalan kecil kira-kira seruas jempol tangan. Merah, seperti agak berlendir dan berdarah.
Kemudian ia meminta sebuah piring putih yang berisi air putih. Dan benda itu dimasukkan ke dalam piring tersebut. Air tampak agak berona merah.
Menurut Mendan, itulah penyakit yang membuat kaki sang pasien sakit! Dan “hebat“-nya, tak ada sedikitpun bekas luka di betis pasien!
Mat Belatong tak mudah percaya. Otak usilnya berputar, bise jak Mendan ini tadi siang pergi ke pasar ikan, dan mengambil bagian dari jeroan ikan yang terbilang besar untuk properti perdukunannya.
Alhasil, malam itu tibalah waktu tidur, setelah acara “pengobatan“ selesai dan setelah acara ngobrol selesai. Mat Belatong tidur satu bed (besar) bersebelahan dengan Pak Pejabat yang baik hati itu.
Tatkala berbaring, sebelum tidur, Mat Belatong berbuat “keusilan“ dan “kelancangan” lagi. Sekali ini bukan kepada manusia, tetapi kepada Tuhan!
Dengan segenap bodo-bale, ke-lingau-an, dan kedaifannya, Mat Belatong berkata kepada Allah di dalam hati: Ya Allah, perlihatkanlah kepadaku, di majelis apa aku berada tadi!
Begitu tertidur, Mat Belatong bermimpi. Ia merasa berada di suatu tempat yang kotor, kumuh, agak gelap. Dan ia duduk di atas sepotong kayu sepergelangan tangan, mirip alat penyuik buah kelapa – pembuka kulit buah kelapa tua – yang ujungnya runcing. Bagian yang runcing itu, terasa kurang lebih sejengkal masuk ke dalam duburnya!
Pelan-pelan Mat Belatong berdiri, melepaskan pantatnya dari kayu tersebut.
Setelah terlepas dan bisa berjalan, ia terbangun dengan napas tejengap-jengap!
“Ya Allah,” ucap Mat Belatong dalam hati,”aye cume nak numpang nengok jak, cume nak tahu care bualnye jak, same sekali tak pecayak, udah beginik hukomannye! Ape agik yang pecayak, ape agik yang berobat! Bise-bise kenak cucok dari pantat sampai tembos ke ubon-ubon, macam kenak sate!”
Jam menunjukkan sekitar pukul 02.00 WIB. Sampai pagi Mat Belatong masih merasa anusnya sakit!
Besok malamnya, ketika Wak Dukun datang lagi (karena memang dipesan), Pak Pejabat mengajak Mat Belatong menyaksikan lagi, karena ada beberapa orang pintar lain yang mau diobati juga.
“Udahlah Pak e, biar ana tak ikot jaklah malam ini,” ucap Mat Belatong dengan hormat. “Nempah kenak sate, kalau aku ikot agik!” ucap Mat Belatong dalam hati. ***
( Pontianak, 20 Juni 2005)
Friday, July 27, 2007
MAT BELATONG DAN “ORANG PANDAI“
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment