Oleh A. Halim R
PERTENGAHAN Oktober 2007 – usai puasa Ramadan 1428 H – negara Indon eh INA dihebohkan oleh kedatangan seorang “nabi baru” bernama Ahmad Mushaddeq yang meluncur lewat aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah! Kedatangannya disambut hangat oleh ratusan pengikut di Padang Sumatera Barat, dan Bogor Jawa Barat. Busana kebesarannya pun macam orang Barat: berdasi, berjas lengkap, bersepatu mengkilap, bersongkok hitam model khas Indonesia. Perawakannya tegap, wajahnya ada sedikit serupa: Saddam Husein mantan Presiden Irak!
Di Pasar Sungai Jawi, Sungai Bangkong, Parit Pekong, sampai ke Sungai Adong Pontianak, masyarakat pambar! Seorang bibi penjual sayuran di Pasar Sungai Jawi memprovokasi: Bagos kite keremos jak mukenye ramai-ramai, kan die tu bise ditengok, bise dipegang!
Mat Belatong dan Ketuk alias Mat Ketumbi mengikuti dengan serius dan seksama berita kedatangan “nabi baru” lewat tayangan tivi. Mereka merasa aneh, berita yang berkenaan dengan “nabi baru” itu hanya gencar di layar Trans TV, sementara di stasiun tivi lainnya minim sekali, apalagi di suratkabar yang terbit di daerah ini. Adakah “nabi baru” Ahmad Mushaddeq itu hanya “teken kontrak” dengan Trans TV untuk membuat rekaman filem, atau melansir rekaman kamera video tentang dirinya dari tempat tersembunyi? Mungkin iya.
Mat Belatong dan Ketuk berusaha memaklumi hal itu. Sebab Nabi Muhammad saja pada awalnya membaiat dan menyebarkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang tersembunyi. Kaum kafir Quraisy sangat ganas dan memusuhinya tatkala itu. Bukan seperti dai-dai kondang masa kini yang diundang ke sana-sini, sama sekali tak berhadapan dengan pihak yang memusuhi. Anehnya lagi ada khatib yang “ngomel” di mimbar masjid terhadap umat Islam yang sudah mau salat dan ikhlas masuk masjid!
Apa yang dilakukan oleh Mushaddeq dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang disiarkan oleh Trans TV itu seperti sedemikian terbuka, bahkan seakan “menantang” dialog dan “debat” dengan para ulama Islam. Ketuk dan Mat Belatong penyandang gelar S5 (séngét, selembe, sepok, sekalor, selebor) merasa heran. Kemana para ulama terkemuka, kemana para ahli tafsir Al-Quran, dai kondang, dan “dai gaul” di negeri ini? Tak mampukah melakukan “debat terbuka” dengan Ahmad Mushaddeq? Adakah semuanya bertameng dan bersembunyi di belakang MUI (Majelis Ulama Indonesia). Padahal: untuk menetapkan hari Lebaran: beragam. Ngadap Mushaddeq: diam?
Ketuk mencatat dari pemberitaan tivi, MUI tak bersedia melakukan dialog dengan “nabi baru” Ahmad Mushaddeq. Sejak awal Oktober 2007 lalu, MUI telah menyatakan: Al-Qiyadah Al-Islamiyah sebagai aliran sesat!
Sedikit kecewa, Ketuk berkata,”Tak bisakah Mushaddeq itu dilawan dialog terbuka oleh pada ulama, ahli tafsir dan dai kondang kita, biar dia: KO, sekak-mat! Sehingga dia benar-benar merasa kalah dan bersalah. Para pengikutnya pun hilang kepercayaan terhadapnya, tak mau lagi ikut Mushaddeq, lalu kembali dengan sadar kepada ajaran Islam yang benar. Umat Islam yang imannya rapuh, bisa menjadi teguh! Zaman dulu saja, kusir pandai berdebat, konon pula para anbia, aulia dan ulama! Tidakkah untuk mengadakan debat terbuka itu tinggal konteks saja Trans TV.”
Mat Belatong menjawab,”Udah Ketuk, itu bukan takar kite mempercakapkannye. Nantik jadi salah pulak!”
Ketuk sempat mencatat, beberapa “amalan” (praktik) yang dilakukan oleh pengikut AL-Qiyadah tersebut. Mereka mengucapkan “sahadat” (persaksian) yang berbunyi: Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Al-Mahdi Al-Maw’ud, saya bersaksi bahwa Anda Al-Masih Al-Maw’ud. (Baca secara lisani saja, jangan ditasdik dengan hati dan ditaati dengan fi’li – perbuatan – kecuali kalau mau jadi pengikut “nabi baru” Ahmad Mushaddeq! Pun maaf, kalau petikan kalimat “sahadat” ini ada kesalahan. Sebab Ketuk memang: agak pekak beruang, bukan pekak berduit! – pen).
Tampak di layar tivi burok Mat Belatong: sang “nabi” dan pengikut yang dibaiatnya bersalaman bagaikan orang yang “berpanco”.
Dalam cacatan Ketuk, Mushaddeq mengaku berpegang kepada Kitab Suci Al-Quran, tetapi tidak mengakui Al-Hadis (ucapan Nabi Muhammad selain yang tertera di dalam Al-Quran – pen). Mushaddeq mengaku bahwa Al-Quran sudah ada di kepalanya, ruh Al-Quran sudah turun kepadanya. Ia menakwilkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan semua ilmu tafsir. Mendasarkan ajarannya kepada ayat-ayat yang muhkamat (terang, jelas artinya) dan menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat (kurang terang dan kurang jelas artinya). Kecuali itu ajarannya berdasarkan rukyah (penyaksian mata jasmani) dan kasyaf (penyaksian mata ruhani), termasuk petunjuk lewat mimpi. “Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad juga menerima wahyu lewat mimpi,” demikian ucapan Mushaddeq yang dicatat Ketuk. Mushaddeq mengaku pula bahwa ia telah menerima “wahyu kenabian” sejak awal 2001, dan baru memproklamasikan diri sebagai “nabi” setelah enam tahun kemudian. Dewasa ini ia mengaku sedang berada pada “periode Al-Makkiyah” (periode ketika Nabi Muhammad menerima wahyu tatkala masih berada di Mekah, sebelum melakukan hijrah ke Madinah – pen).
Mereka tidak salat lima waktu, melainkan hanya salat malam (qiyamul lail). “Nabi Muhammad baru salat lima waktu setelah 13 tahun, sejak menerima wahyu pertama,” ucap Mushaddeq yang dicatat Ketuk.
Nurlaila istri Mat Belatong mengatakan bahwa ia mendengar berita di tivi, Ahmad Mushaddeq dan pengikutnya tidak membaca surat Al-Fatihah ketika salat.
Menurut Drs M Zain Plt Kepala Taman Budaya Kalbar, ia mendengar lewat siaran tivi bahwa Mushaddeq dan pengikutnya hanya melakukan puasa selama tiga hari.
Jumat 26 Oktober 2007 berita Trans TV menyebutkan bahwa dua jamaah Al-Qiyadah Al-Islamiyah masing-masing bernama Mujiono dan Mamat telah ditangkap polisi di Jakarta karena mengedarkan selebaran yang berisi penodaan terhadap agama. Salah seorang warga Cengkareng di Jakarta mengaku bahwa ia pernah ditawari untuk menjadi pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Dengan membayar Rp 700.000,- bisa masuk surga! (Duit “setoran ke surga” ini tidak jelas, apakah akan masuk kocek Mujiono atau Mamat, atau setoran ke kocek “nabi baru” Ahmad Mushaddeq – pen).
Sebuah berita tivi mengabarkan pula bahwa Ahmad Mushaddeq yang kini berusia 63 tahun, pernah menjadi pelatih bulutangkis nasional (1971 – 1982), dan bukan berasal dari kalangan santri.
Minggu 28 Oktober 2007 beberapa stasiun tivi memberitakan bahwa hari Sabtu 27 Oktober 2007, lima pengikut Al-Qiyadah menyatakan insyaf dan mengucap dua kalimat sahadat (pernyataan masuk Islam) di Masjid Al-Wustha Padang disaksikan oleh Ketua MUI Padang. Ketua MUI Padang mengimbau agar 3000 lebih pengikut aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah di Padang bertobat. Menurut Ketua MUI Padang, keberadaan aliran yang bernabikan Ahmad Mushaddeq itu terbongkar pertengahan Ramadan 1428 H lalu. Sabtu 27 Oktober 2007 itu pula masyarakat Islam di Pamijahan Gunung Bunder (Bogor) mengadakan demo teaterikal “membunuh nabi baru Ahmad Mushaddeq”. Mereka menolak tudingan bahwa Gunung Bunder sebagai pusat kegiatan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Sebab tak ada warga Gunung Bunder yang jadi pengikut Ahmad Mushaddeq. Mereka meminta agar polisi secepatnya menangkap H Salam alias Ahmad Mushaddeq itu.
Juga pada hari yang sama 18 orang pengikut “nabi baru” di Kebon Jeruk Jakarta minta pengamanan ke Polsek Kebon Jeruk. Mereka ketakutan mendengar akan diserang oleh sebuah ormas Islam. Dua pengikut lainnya akan menyusul menyerahkan diri.
Seorang warga di Kompleks Perumahan Sunrise Garden Jakarta Barat mengungkapkan, dalam praktiknya pengikut aliran Al-Qiyadah itu mengajak warga setempat masuk aliran mereka lewat SMS (pesan singkat telefon genggam). Kalau tak mau: dianggap musyrik (orang yang menyekutukan Allah atau penyembah selain Allah).
Menurut pengakuan Hadi Pratikno salah seorang pimpinan Al-Qiyadah yang sudah ditahan polisi di Jakarta, pengikut aliran tersebut di Indonesia berjumlah sekitar 50 ribu orang. Mereka ada di Jogja, Batam dan beberapa kota lainnya di Indonesia.
Senin 29 Oktober 2007, tivi Trans 7 memberitakan markas Al-Qiyadah Al-Islamiyah di Sidoarun (Sleman – Jogja) telah di serang oleh sebuah ormas Islam. Enam orang pengikut Mushaddeq telah ditangkap polisi, diamankan di Polres Sleman. Warga setempat mengaku keberadaan aliran itu telah meresahkan masyarakat sejak dua bulan lalu, dan diduga telah masuk ke wilayah tersebut sejak tahun 2005.
Diberitakan pula bahwa markas Al-Qiyadah Al-Islamiyah di Desa Cimindal Bogor yang berupa sebuah vila lengkap dengan kolam renang telah ditinggalkan Mushaddeq dan para pengikutnya.
Selasa 30 Oktober 2007, ramai tivi memberitakan: Senin malam 29 Oktober 2007 istri dan anak Mushaddeq dibawa ke Kantor Polda Metro Jaya. Istri “nabi baru” itu bernama Gin Kasan Harjo (nama asli: Waginem!). Dan pada malam itu juga Mushaddeq yang betapok entah di mana menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Ia digiring masuk ke Kantor Polda Metro Jaya tak menjawab sepatah pun pertanyaan wartawan. Rambutnya agak kusut tanpa songkok, ubun-ubun agak sulah, namun masih bisa tersenyum. Jas dan dasi tak tampak lagi. Empat dari 12 orang “sahabat nabi baru” itu tertangkap pula oleh polisi. Pada malam yang sama dua pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah ditangkap polisi di Surabaya.
Di Bandar Lampung, anggota jamaah yang bernama Asmadi Asyikin dan Mustafa pun diamankan polisi. Di Cilacap, Surip Maliono dan istrinya Ida Farmawati bersama seorang jamaah lainnya digelandang ke kantor polisi. Pada hari yang sama markas Al-Qiyadah di Pancoran Jakarta digempur massa, enam orang jamaahnya diangkut ke Polres Jakarta Selatan. Di Padang, seorang pengikut Mushaddeq mengaku ikut aliran Al-Qiyadah gara-gara ikut pengajian di kantor mereka.
Di tengah hiruk-pikuk berita penangkapan Mushaddeq dan para jamaahnya itu, Selasa 30 Oktober 2007 Lia Eden pemimpin aliran “kerajaan tuhan” yang mengaku dirinya jelmaan malaikat Jibril, keluar dari penjara! Ia yang yang meramu berbagai ajaran agama dan ingin melenyapkan ajaran Islam dari muka bumi, divonis dua tahun penjara oleh pengadilan di Jakarta Desember 2005 lalu. Kurang dari dua tahun ternyata ia telah bebas, dan pulang ke rumahnya di Jalan Mahoni Kelurahan Bungur – Cempaka Putih Jakarta. Kalau Mushaddeq mengaku dirinya sebagai “Al-Mahdi Al-Maw’ud” maka Lia Eden telah lebih dulu mengangkat anaknya yang bernama Abdurrahman sebagai Imam Mahdi!
Keluar dari penjara Lia Eden mengatakan bahwa ia dan pengikutnya akan terus menjalankan keyakinannya. Dakwaan sebagai pembawa “aliran sesat” telah ia bayar dengan hukuman dua tahun penjara.
Rabu 31 Oktober 2007, ramai tivi memberitakan: Lia Eden mengurung diri di kamar, tak mau ditemui wartawan dan menolak diberitakan secara luas. Sejumlah pengikut ajaran “kerajaan tuhan” yang berada di rumah Lia Eden, mau menerima wartawan dan menyatakan bahwa keyakinan mereka tidak berubah. Beberapa warga setempat mengakui, bahwa kembalinya Lia Eden ke lingkungan mereka tidak ada masalah. Sebab Lia Eden dan pengikutnya tak ada menghasut warga untuk mengikuti ajarannya.
Tanggal 31 Oktober 2007, Polda Metro Jaya menetapkan Mushaddeq dan dua kawannya sebagai: tersangka penyesatan agama!
Hari-hari selanjutnya pesawat tivi diramaikan dengan berita penangkapan dan penyerahan diri (minta perlindungan – pen) jamaah Al-Qiyadah Al-Islamiyah kepada polisi di berbagai kota dan provinsi di Indonesia.
Ketuk dan Mat Belatong mengira-ngira, kalau Elia Khadam eh Lia Eden yang mengajarkan aliran sesat dan ingin menghapuskan agama Islam telah mendapat ganjaran dua tahun penjara, entah berapa pula yang diterima Mushaddeq. Mungkin di bawah 22 bulan, sebab ia “hanya” mengubah “sahadat rasul”, masih berkitab kepada Al-Quran dan tidak bertekad “memerangi” Islam. Mungkin reken-mereken hukuman ini pun telah dipikirkan oleh Mushaddeq sebelum memproklamasikan diri sebagai Al-Mahdi Al-Maw’ud. Boleh pikir, kalau mengaku “nabi” bisa mendatangkan deposito sekitar Rp 5 miliar saja (baik dari dalam maupun luar negeri), bukankah keluar dari penjara masih ada restan-nya untuk hidup berleha-leha?
Ketuk dan Mat Belatong berpikir, Mushaddeq dan para sahabatnya termasuk orang “hebat”. Kalau benar mereka telah berhasil menyahadatkan – walau sesat – sekitar 50 ribu pengikutnya dari berbagai suku bangsa dan etnik di negeri ini, tentu dia punya strategi dan metode dakwah yang tinggi, pembicara yang piawai, punya pemahaman yang “hebat” – walau sesat – terhadap ayat-ayat Al-Quran! Apa tak “hebat”: mampu meyakinkan orang sebanyak itu untuk mengikuti ajarannya! Dari budak kecik sampai orang tua, dari mahasiswa, guru agama sampai pengusaha kaya!
“Ente udah mbawak berape orang untok membaca sahadat masok Islam ke kantor agama, Jon?” tanya Ketuk kepada sahabatnya. Mat Belatong diam: merasa tersindir!
Fatwa ulama dan tekanan fisik massa memang telah “mengalahkan” Lia Eden, Mushaddeq beserta jamaahnya secara jasmani, mungkin juga lisani. Namun adakah mereka benar-benar telah “terkalahkan” hingga ke hati nurani sehingga menerima Islam dengan penuh keikhlasan murni? Entahlah.
Jumat 9 November 2007 malam, tiba-tiba Mushaddeq bikin “pambar” lagi di layar Metro TV. Bertempat di lantai dua gedung kriminal Polda Metro Jaya, dihadiri Pengurus MUI Pusat, Qurasy Shihab – ahli tafsir Al-Quran – dan wartawan, Mushaddeq bertobat! (baca: bertobat, bukan berobat! – pen).
Dia mengucap dua kalimat sahadat: Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah.. Ia menyatakan: menarik seluruh pernyataan yang telah diucapkannya, dan akan terus berdakwah bersama para pengikutnya! Tak ada “debat kusir” Mushaddeq ditayangkan, mungkin memang ia tak ingin lagi berdialog apalagi berdebat. Ia hanya ingin ber-“tobat”, mungkin juga: berobat! Ia mengaku sebagai manusia biasa, bukan nabi atau rasul, hanyalah sekadar seorang dai! Tampak di layar tivi entah siapa-siapa berpeluk-pelukan mesra dengan Mushaddeq: bak menyambut orang pulang haji! Hilang cerita jadi Al-Mahdi Al-Maw’ud, balik mengakui: Muhammad Rasulullah!
Adakah Mushaddeq ngeri juga dengan “ancang-ancang” hukuman 20 tahun penjara yang “diteriakkan” sementara manusia di Indonesia? Entahlah! Kalau dihukum dua tahun penjara: mungkin masih tahan juga bahu memikul, ada gunanya juga modal terkumpul! Kalau 20 tahun penjara: alamak, mungkin awak “gem” di penjara!
Bagaimana dengan para jamaahnya?
Lucu, tragis, ironis, miris! Ada jamaah di beberapa daerah di Indonesia yang ngotot: bersikukuh tetap mengakui Mushaddeq sebagai nabi, padahal “nabi”-nya sudah “membelot”. Sebagian lainnya mungkin: berbakul-bakul sumpah-seranahnya kepada “Wak Salam” suami Waginem. Ayo, siapa lagi menyusul mau jadi “nabi” atau, labi-labi? ***
(Tulisan ini sengaja dibuat sebagai catatan, mungkin ada manfaatnya untuk menyambut Al-Mahdi dan “nabi baru” lagi – pen).
(Pontianak, 10 November 2007).
Monday, November 26, 2007
Kisah "Nabi Baru" dan Jamaahnya
Posted by MAT BELATONG at 1:11 AM 2 comments
Monday, November 5, 2007
Pilkada dan MTQ XXII Kalbar
Oleh A. Halim R
MAT BELATONG dan Ketuk (sapaan akrab: Mat Ketumbi) tengah terlibat dalam dialog terbatas berkenaan dengan “peta politik” di Kalbar dewasa ini yang kian memanas. Panas amat ndak juga, sebab rakyat kian dewasa.
Dengan sistem Pilkada yang masih berlaku dewasa ini – di mana kandidat disyaratkan harus diusung oleh partai politik – tampak parpol jadi komoditas penting. Bagaikan gadis cantik di “menara gading” (walaupun retak-retak!).
Ironisnya, yang terjadi kini: bukan parpol yang memilih siapa yang pantas diusung naik pahar, tapi kandidat yang minta diusung. Kandidat yang melamar parpol, kandidat yang minta didukung jadi pemimpin. Tak peduli, resikonya: harus jadi “kuli kontrak”, menandatangani “kontrak politik” dengan parpol. Babak-belur keluar duit berpuluh-puluh miliar, bukan masalah. Sebab setelah duduk, duit tinggal diciduk dan ditangguk, untungnya jelas: minimal berpuluh kali tumpuk.
Dalam “bisnis”, tak ada orang yang mau rugi. Pemeo “biar tekor asal kesohor” sudah ketinggalan zaman! Falsafah “balik modal pun jadi” membuat perusahaan: stagnant dan bankrupt! Bisnis ya bisnis. Menipu dan meracuni orang dengan permen, tahu, ikan asin, buih mulut ber-formalin, bukan masalah.
Demikian juga dengan “bisnis politik”. Kandidat bukan cuma jadi “pancur duit” bagi DPD partai, tetapi juga jadi “bulan-bulanan” DPP partai.
Dengan sistem Pilkada yang demikian ini, jelas: cost yang mesti dihamburkan oleh kandidat jadi membengkak. Belum lagi yang perlu ditaburkan untuk meraih simpati rakyat, baik dalam kampanye terselubung maupun terbuka. Babar-belur memang!
Imbalannya – kalau sudah duduk di singgasana – niscaya: giliran rakyat yang babak belur! Duit proyek tak berketentuan, infrastruktur di daerah tak teperhatikan, dana pembangunan untuk kepentingan rakyat jadi korban! Keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat cuma impian.
Padahal pada zaman Rasulullah dan kekhalifahan masa lampau: jabatan tak akan diberikan kepada orang yang meminta!
Bukan apa-apa, Rasulullah takut si pemegang jabatan masuk neraka, rakyat sengsara dan teraniaya! Rasulullah atau khalifah yang memberi mandat: masuk hukum sebahat!
Tapi itu cerita “zaman dulu” waktu neraka “masih ada”. Sekarang bukankah neraka “cuma ada dalam cerita”. Seberapa banyak sih orang di dunia ini yang masih berpikir tentang mati, apalagi mempercayai kehidupan setelah mati? Tatkala banyak orang menderita dan mati karena permen formalin: emangnya gua pikirin – kata produser.
Di antara orang-orang “kuno” yang mempercayai “dongeng kehidupan dan kematian” itu adalah Mat Belatong dan Ketuk.
Berkenaan dengan peta politik di daerah ini, Ketuk berucap,”UJ poligami Jon, teken kontrak kawen dengan 8 partai! Partai yang berkoalisi pon begitu gak: salome, satu lobang (duit) rame-rame!
Mat Belatong yang “buta informasi” bertanya,”UJ tu ape, Ketuk? Mobel pekap burok yang ade merek UJ besak di depannye ituke? Mobel sebutik tu memang PD-nye kuat, biar burok: maseh sanggop merayap di jalan kota Pontianak!”
Ketuk menggaruk-garuk kening tak gatal, kemudian berucap,”Iye UJ tu mobel pekap burok, LHK tu toko elektronik, OSO tu pompa bensin, IL tu illegal logging!”
Ketuk berpikir, sungguh tak ada guna-gunanya orang menghadirkan berbagai media informasi di daerah ini bagi Mat Belatong. Tak dibaca dan didengarnya! Belum selesai Ketuk berpikir, tiba-tiba Mat Belatong berkata,”Ade faedahnyeke Ketuk, kite ni ngomong peta politik. Ndakke tadak kite omongkan pon, mesen politik tu jalan teros. Jangan-jangan kite pulak yang dilanyaknye!”
Ketuk menjawab,”Pilkada 15 November 2007 mendatang, punye makna signifikan, Jon! Bukan cume pemilehan Gubernur Kalbar, tapi Walikota Singkawang gak, untok periode 2008 – 2013. Di pundak yang menang tertanggong sukses-tadaknye pelaksanaan MTQ XXII Tingkat Provinsi Kalbar tahun 2009 di Singkawang!”
Sambil mengangkat kain sarungnya dan membuka kancing baju kokonya, Mat Belatong mengangkat dan mencangkungkan sebelah kakinya di kursi. Kemudian ia berkata,”Iyelah, kalau signifikan kate awak, tentulah maknanye penting. Apelagik tekaet dengan MTQ. Cume setan dan iblis yang mengharapkan pelaksanaan MTQ tu hancor-lebor!”
Ketuk berkata dalam hati,”Disebot MTQ, nyambong pulak die!” Lebih lanjut Ketuk berkata lewat mulutnya,”Makenye Jon, momen Pilgub November 2007 ini penting. Sebab di tangan gubernur yang baru ini nantik tergantong berape besar dana yang dialerkan Pemprov Kalbar ke Singkawang untok pelaksanaan MTQ itu. Lebeh daripade itu, siape Walikota Singkawang yang terpileh pada Pilkada November 2007 ini, dielah yang mesti punye kreativitas tinggi dan keikhlasan besar untok penyiapan dana penyelenggaraan MTQ yang lumayan besar itu. Lelehan dana dari Pemprov sangat tak bise diharapkan: entah-entah mencapai sepersepuloh dari keselurohan dana yang diperlukan. Untok MTQ Tingkat Nasional Perguruan Tinggi se-Indonesia di Untan beberape waktu lalu jak, sampai saat pembukaan MTQ, duet dari Pemprov Kalbar belom keluar! Tapi itulah, walau pon dana besar belom tentu menjamin kesuksesan dan kesemarakan penyelenggaraan sebuah MTQ. Dana besar pon, kalau tapah melulu yang mengelolanye, atau salah perencanaan, bise jadi percume gak!”
Ketuk beranjak ke dapur membawa gelas, untuk membuat kopi sendiri. Sebab yang tersisa di gelasnya cuma keredak kopi. “Sorry Mbok Laila, saye self service!”, ucap Ketuk kepada istri Mat Belatong yang tengah nyiang sayok keladi.
Setelah duduk kembali di hadapan Mat Belatong, Ketuk langsung berkata,”Pelaksanaan MTQ XXI Tingkat Provinsi Kalbar di Putussibau Kapuas Hulu 2 – 10 Maret 2005 lalu, terbilang sangat baik dan sukses. Bahkan terhadap acara yang disuguhkan pada malam pembukaan dan penutupan, banyak yang berkomentar: spektakuler! Ada tarian masal, pesta kembang api, dan permainan sinar laser yang sebelumnya tak pernah terjadi di MTQ tingkat provinsi maupun nasional! Lebih dari 20-an mobil yang berisi kepala dinas dan instansi Kota Singkawang konvoi bersama ke Putussibau untuk menghadiri malam penutupan MTQ XXI itu. Mereka terkejut mendengar kabar bahwa acara malam taaruf dan malam pembukaan MTQ XXI itu, sangat memukau! Pelayanan akomodasi, konsumsi dan transportasi bagi para kafilah dari masing-masing kontingen, sangat perfek. Mereka ingin “belajar” dari Kapuas Hulu, sebab mereka yang bakal jadi panitia MTQ XXII kelak. Dan lebih terkaget-kaget lagi mereka setelah menyaksikan apa yang disuguhkan pada malam penutupan itu. Mereka masih berkomunikasi dengan publik lewat selembar spanduk dengan tulisan: Kota Singkawang Siap Menjadi Tuan Rumah MTQ XXII Kalbar. Padahal Putussibau telah berbicara kepada publik lewat tulisan sinar laser yang bisa disorotkan ke tengah lapangan, ke bumbungan kompleks mimbar tilawah, bahkan ke kumpulan asap pecahan kembang api di langit! Sebetulnya tak perlu ada lagi bentangan spanduk yang bisa membuat risih pemandangan di tengah fasilitas elektronik yang tersedia. Tinggal pesan saja kepada panitia, Singkawang mau titip pesan apa kepada publik. Tinggal diketik dalam sekejap di komputer, kemudian dibentangkan di lapangan lewat sorotan sinar laser. Ataupun bisa memanfaatkan dua layar besar infocus yang terbentang di kiri-kanan lapangan!”
Mat Belatong ternganga dan terliur-liur mendengar cerita Ketuk. Liurnya belum sempat diseka, ketika Ketuk lebih lanjut berkata,”Akankah pelaksanaan MTQ XXII Kalbar di Singkawang tahun 2009 nanti diselenggarakan oleh Walikota Singkawang – Awang Ishak – bila ia terpilih kembali dalam Pilkada 15 November 2007 mendatang? Apa yang akan dibuatnya untuk MTQ tersebut, bolehkah kita berharap banyak kepadanya?”
Mat Belatong menyeka liur dengan lengan baju kokonya, sementara Ketuk menghela napas panjang. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Pikiran menerawang: mengingat sosok Awang! ***
(Pontianak, 20 Agustus 2007).
Versi cetak dimuat di Borneo Tribune, tanggal 4 November 2007
Posted by MAT BELATONG at 1:52 AM 1 comments
Friday, November 2, 2007
Babi Makan Ikut Kera
Oleh A.Halim R
ADA SEBUAH pepatah lama Cina, yang kalau diterjemahkan secara bebas, artinya kurang lebih berbunyi: babi makan ikut kera!
Kisahnya, nun di dalam hutan sana serombongan kera – bisa sampai 50-60 ekor – sedang merambah hutan mencari makanan berupa daun-daunan ataupun buah-buahan. Mereka berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Sejumlah induk kera tentu ada pula yang menggendong bayi yang bergantung di dadanya.
Di bawahnya – di tanah – berjalan pula rombongan babi mengikuti kera-kera di atasnya. Mereka mengharapkan buah-buahan sisa makanan kera yang dijatuhkan ke tanah! Kalau nasib untung, didapat pula buah-buah yang masih bagus dan masak, yang gugur sendiri tatkala si kera meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Rombongan babi ini pun ada pula yang anak-beranak. Kepada babi-babi muda sudah mulai diajar: bagaimana salah satu alternatif mencari makan! Kalau susah mencari makanan sendiri, ikut kera pun jadilah!
Hidup dan mencari makan seperti ini, apakah tergolong kolusi, simbiosis, pemulung, tak perlu dipikirkan.
Sebagai sebuah pepatah, tentu saja pepatah Cina di atas bukan untuk menyindir bangsa babi, melainkan menyindir bangsa manusia!
Kalau kita mau mencermati kehidupan di muka bumi ini, maka ada manusia yang berperan seperti kera, ada pula yang berperan sebagai babi!
Yang berperan menjadi kera antara lain mereka yang mencari makan pada jalur-jalur yang bertentangan dengan hukum, kaidah agama, etika, susila dan adat kebiasaan manusia beradab! Contohnya, membuka lapak judi, permainan biliar-ketangkasan terselubung, tempat prostitusi, kopi pangku, diskotek-karaoke plus, panti pijat terselubung, penyelundupan, illegal logging, PETI, penjualan miras, dan lain sebagainya.
Di tempat-tempat seperti itulah banyak babi-babi menumpang mencari makan! Mereka bukan karyawan perusahaan tersebut, sebab para karyawan hanya tergolong monyet-monyet kecil peserta rombongan kera!
Yang jadi babi – yang menumpang mencari makan di tempat-tempat serupa itu – bukan lain adalah sementara oknum aparat dan pejabat, baik ABRI, Polri, penegak hukum, PNS, preman dan lain-lain!
Si kera pun termasuk “arif”, sadar bahwa pekerjaannya salah. Oleh karena itu, cincai-lah, bagi-bagi rezeki tak masalah. Setiap akhir bulan ia mengantar “ang pao” atau “sopui” kepada para petinggi. Setiap malam sedekah Rp 5 atau Rp 10 ribu kepada petugas patroli, tak masalah!
Itulah budaya kera dan babi, yang telah merasuk ke hati hingga tulang sum-sum banyak orang di daerah ini, bahkan negara ini. Dan tentu masih ada beragam macam pekerjaan yang dilakukan babi di luar itu. Namanya juga babi – makhluk omnivora: pemakan segala – selain mencari makan ikut kera, tentu semua cara halal baginya untuk memperoleh makanan, terlebih untuk memperkaya diri sendiri. Apakah yang dilakukannya itu menyebabkan sendi-sendi hukum, ekonomi, sosial-budaya di daerah dan negara ini menjadi kropos, ia tak peduli! Karena banyaknya “babi” itulah Indonesia merupakan salah satu negara di muka bumi ini, yang menempati peringkat atas dalam hal korupsi, pun termasuk ranking dalam hal keberantakan akhlak!
Seorang Brigjen Polisi bernama Nanan Sukarna – Kapolda Kalbar – telah menggumpalkan tekad Anti KKN ke hatinya, dan ia menyematkan Pin Anti KKN ke dada kanan pakaian seragam setiap anggota polisi di daerah ini. Ia ingin memberantas kelakuan babi!
Ragukah kita kepada tekad Nanan yang demikian itu?
Nanan tak perlu diragukan. Ia seorang lekaki yang keras dalam prinsip, lembut dalam berbicara, tegas dalam tindakan.
Ia bertekad untuk membawa jajaran kepolisian di Kalbar keluar dari “zaman jahiliah”, seperti yang diungkapkannya pada Peringatan Ulang Tahun PWI Cabang Kalbar belum lama ini.
Di tengah-tengah “budaya babi” inilah Nanan ingin berbuat. Tak bisa “memanusiakan babi” di seluruh strata sosial di daerah ini, di lingkungan kepolisian dulu pun jadilah.
Ini pasti bukan pekerjaan ringan. Sebuah kebenaran mutlak dari Allah yang dipikulkan ke pundak Muhammad SAW saja, mendapat tantangan berat dari kalangannya sendiri: kaum jahiliah kafir Quraisy!
Nanan tentu akan berhadapan dengan para Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sikat., Abu Sembat, Abu Belanat, Abu Peras, Abu Pungli, sampai Abu Gosok, baik dari kelas prajurit maupun kelas perwira di lingkungannya.
Bukan hal yang gampang bagi seseorang untuk keluar dari “kebabiannya” untuk menjadi manusia baik-baik, orang yang berakhlak mulia. Tentu tak mudah untuk meninggalkan kebiasaan nyaman – tanpa merasa bersalah dan berdosa – melakukan pekerjaan menyimpang, memakan barang haram dan subhat!
Namun sebuah tekad mulia yang dilakukan dengan segenap upaya, tanpa pernah putus asa, niscaya telah memperoleh ganjaran kebaikan dari Allah. Terlepas dari berhasil atau tidak.
Jalan yang ingin ditempuh Nanan adalah: shirathal mustaqim – jalan yang lurus!
Alangkah indahnya, bila dari hari ke hari barisan Nanan makin banyak pengikutnya, makin panjang shaf-nya. Barisan ini niscaya akan membuat risih, kian mempersempit gerakan dan sepak terjang “polisi Abu Jahal Cs” itu.
Dengan pasukan takwa yang bersahaja, namun bertekad baja itulah pasukan Muhammad SAW bisa meruntuhkan kekaisaran Romawi di Konstantinopel di sebelah barat, dan menundukkan Persia di sebelah timur!
Dengan pasukan yang ber-pin “Allah” di keningnya,”Muhammad” di dadanya, atau ber-pin rosario di dadanya, kita berharap barisan Nanan bisa membersihkan sifat “kebabian” di lingkungannya, dan memberangus “babi” yang berkeliaran di rimba kebiadaban!
Sehingga tak ada lagi pemeo di tengah masyarakat: lapor kehilangan kambing, kerbau pun jadi hilang! Sehingga tak ada lagi ucapan meremehkan: selama ayam masih makan beras, gampang urusannya!
Dalam sejarah pergantian pemimpin teras penegak hukum di daerah ini bukan rakyat tak bisa “membaca”, banyak di antaranya: pada awal masa jabatannya menggertak dan seperti benar-benar ingin menegakkan hukum. Namun setelah berkenalan dengan sikon Kalbar, ternyata semangatnya menjadi tapai!
Sehingga karenanya, masyarakat sudah jemu mengucapkan pemeo lama: maklumlah sapu baru, belum kenal Kalbar dia!
Dan bukan mustahil, gertak sambal demikian itu: ada udang di balik cabek! Maksudnya sekadar memproklamirkan diri kepada tauke-tauke kera, agar menoleh kepada dirinya. Agar datang kepadanya, berkenalan! Buntut-buntutnya: BMIK juga – babi makan ikut kera – ber-cincai ria, berkelindan menguras Kalbar! Sampai ada cerita: Pajero bodong (tanpa surat) asal Sarawak masuk container nyelonong ke Jakarta!
Itu yang ketahuan, yang tak ketahuan tentu jumlahnya seperti pengidap virus HIV! Itu yang berbentuk mobil atau sepeda motor besar. Yang berbentuk duit wallahu alam bissawab.
Sehingga di Nanga Pinoh ada perenggoh (pepatah) pelesetan: Tut wuri handayani, datang maik putut, pulang maik goni! Tut wuri handayani, datang membawa putut (bungkusan kecil), pulang membawa karung goni!
Semoga saja yang demikian ini telah menjadi cerita lama dari sebuah negeri antah-berantah yang “jahiliah”.
Dan semoga saja, Nanan tidak pernah menjadi “tapai” dalam hidupnya, melainkan seorang Bayangkara tulen, pengemban setia Tri Brata! Ia perlu didukung oleh seluruh jajarannya, sehingga kolom SMS suratkabar di daerah ini tak didominasi oleh SMS kepada Kapolda Kalbar!
Rakyat mendambakan polisi yang memancarkan aura indah dari tubuhnya, menempuh jalan kebajikan dalam tingkah-polah hidupnya! Tugasnya menjadi ibadah, berbuah husnul khatimah di akhir hayatnya, jannah di hari akhiratnya! ***
( Pontianak 26 Januari 2006 ).
Posted by MAT BELATONG at 8:08 PM 0 comments
Untan Rasulullah dan Keledai Nasruddin
Oleh A.Halim R.
SEKITAR 1400 tahun yang lalu, ketika rombongan hijrah Nabi Muhammad SAW pertama kali tiba di Yastrib (Madinah), beliau dielu-elukan oleh hampir semua warga Madinah. Semua mata menatapnya dengan penuh kerinduan, semua pintu rumah terbuka, berharap nabi yang mulia itu sudi menginap di tempat mereka.
Tapi ternyata Rasulullah tinggal di sebuah desa berjarak sekitar dua mil dari Madinah, yaitu di Desa Qubak. Di sinilah beliau mendirikan masjid pertama, yang hingga kini dikenal sebagai Masjid Qubak.
Kemudian beliau menunggang untanya keluar. Para pemimpin kota Yastrib berusaha agar beliau mau berhenti, dan masing-masing mereka memohon dan menawarkan agar Rasulullah sudi menginap di rumahnya.
Rasulullah menjawab permohonan mereka dengan berkata,”Biarkanlah unta ini berjalan sekehendaknya, karena ia diperintah oleh Allah.”
Unta tersebut terus berjalan diikuti tatapan mata para penyambut. Semuanya berharap agar unta itu berhenti di depan rumahnya. Orang-orang itu mengikuti dengan rasa penasaran.
Akhirnya sampailah unta itu di sebuah tanah kosong di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di situlah ia berhenti dan duduk. Tapi Rasulullah tidak segera turun.
Tak lama kemudian unta itu memang bangkit lagi dan terus berjalan. Beliau melepas tali kendalinya. Belum jauh berjalan, ternyata unta itu balik lagi dan duduk di tempat semula.
Tak terkirakan kebahagiaan Abu Ayyub Al-Anshari, dia segera mendekati Rasulullah dan menurunkan barang-barang beliau, membawa masuk ke rumahnya.
Sekitar 600 tahun yang lalu, seorang tokoh legendaris Turki – Mullah Nasruddin Affandi – bepergian naik keledai. Ia menunggang keledainya dengan punggungnya menghadap ke depan. Orang-orang yang menyaksikan hal itu berkata,”Mullah, cara Anda duduk menunggangi keledai Anda salah!”
“Tidak,” bantah Mullah Nasruddin,”ini posisi keledainya yang salah!”
Awal tahun 2006, tokoh kontroversial dari Kampung Paret Kalot Ribot Pontianak – Mat Belatong – naik sepeda motor bertiga dengan istri dan cucunya. Cucunya yang berusia 4 tahun duduk di depan, Mat Belatong duduk paling belakang. Dan Mat Belatong bukannya menghadap ke depan, tetapi menghadap ke belakang, seperti yang dilakukan oleh Mullah Nasruddin!
Di sepanjang jalan, orang berteriak,”Oii Belatong, nak mampos ke ape!? Kalau awak jatok, orang laen jadi kalot ngangkot awak ke romah saket!”
Sampai di Mall Mataso (mataso: matahari, bahasa Dayak Taman Kapuas Hulu! Orang Bugis tak perlu heran), mereka parkir.
Si Toing tukang parkir bertanya,”Bang Mat, ngape pulak Bang Mat beragam macam ini? Pantaslah orang tepekek-kaong!”
Sambil menggantungkan helem kerupuknya di stang motor, Mat Belatong menjawab,”Ing, kalau semue kamek ngadap ke depan, siape yang nengok ke belakang kalau ade jambret, atau ade yang khianat meradak dari belakang!? Aku ni membawak cucuk, budak kecik!”
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan tukang parkir itu, Mat Belatong meninggalkan Toing, mengejar istri dan cucunya yang dah bedebu masuk ke Mall Mataso. Ini tentu karena ulah cucu Mat Belatong. Sebab budak itu kalau dah ke mall, dibuatnya macam rumah sendiri, dijadikannya tempat bermain. Di dalam mall, Mat Belatong kehilangan jejak karena orang begitu ramai. Ia naik eskalator ke lantai dua, tapi tak dapat menemukan cucu dan istrinya. Lalu naik ke lantai tiga, begitu juga keadaannya. Kemudian ia balik lagi ke lantai dasar, juga batang hidung istrinya tak ditemukan.
Akhirnya, begitulah ia turun-naik berkali-kali lewat eskalator di Mall Mataso.
Beberapa pria yang berdiri di pangkal eskalator itu berkata,” Bapak ini macam anak saye gak, suke turon-naek eskalator. Tanggak bejalan ni dibuatnye jadi maenan ! Kalau tadak diturotkan die nanges!”
Di tangga itu memang terlihat beberapa anak usia 4-5 tahun yang turun-naik di eskalator tersebut. Di bawahnya tampak menunggu beberapa pria, yang sudah pasti ayah bocah tersebut. Ibunya mungkin sedang berbelanja.
Seorang dari pria itu berkata,”Benarlah kata Al-Quran, orang kalau sudah tua kelakuannya bakal kembali lagi menjadi budak kecik, kekanak-kanakan, naif ! Contohnya Bapak ini, suke turon-naek eskalator macam budak kecik!”
Mat Belatong menahan rasa mendengar perkataan itu. Di dalam hatinya ia berkata: Inilah contoh manusia yang berkata seenaknya, berdasarkan apa yang dilihatnya, berdasarkan apa yang tersurat di matanya! Ia berani mengeluarkan komentar, bahkan dengan dalil Kitab Suci, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!”
Mat Belatong yang sudah banyak makan garam tanpa yodium dan beragam zat pengawet makanan seperti formalin dalam hidupnya, diam saja.
Seandainya saja, pada cerita Rasulullah di atas, Nabi Muhammad SAW hanya berkata,”Biarkanlah unta ini berjalan sekehendaknya,” bukan mustahil orang seperti itu akan berkata,”Mengapa pula Nabi mengikuti kehendak unta!? Kalau begitu kita pun mengikuti unta sajalah!?”
Padahal, walau cuma sepotong kata itu yang diucapkan Rasulullah, tak terlihatkah ada kebijaksanaan yang indah di dalamnya? Betapa Rasulullah tak ingin memilih sebuah rumah pun untuk beliau menginap atas kehendak beliau sendiri. Beliau tak ingin melukai hati semua orang-orang Anshar yang mencintai dan mengelu-elukannya. Biarlah unta saja yang memilih, di mana ia mau ditambatkan. Apakah itu di sebuah rumah bagus atau gubuk reyot.
Betapa pula komentarnya terhadap cerita Mullah Nasruddin Affandi di atas!? Bukan mustahil cap “bodo-bale” langsung dilontarkannya kepada tokoh arif yang jenaka itu.
Tak tahu dia, kalau apa yang dianggapnya “bodo-bale” itu oleh UNESCO – sebuah lembaga di bawah naungan PBB – diberikan perhatian secara khusus. Perhatian yang diberikan UNESCO terhadap tokoh legendaris yang fenomenal itu sesungguhnya perhatian yang cukup langka, terutama bagi tradisi sufisme. Ini menandakan Mullah Nasruddin sudah menjadi milik berbagai bangsa, melintasi batas kultur dan agama!
Capek naik-turun eskalator, akhirnya Mat Belatong memilih menunggu di pintu keluar mall, duduk di pinggir tangga. Melihat beragam model manusia, busana, tingkah orang yang keluar-masuk mall tersebut, kepalanya jadi pening!
Akhirnya ia memilih berjalan ke Kompleks Pasar Sudirman. Kepada Toing tukang parkir ia berpesan,”Ing, kalau mbok kau nak balek, suroh tunggu jak sebentar!”
Tengah berjalan di pasar tersebut, tiba-tiba ada yang menimpukkan barang ke pundak Mat Belatong. Entah ditimpuk orang dari lantai atas ruko, entah ditimpuk orang dari atas truk yang banyak lalu-lalang di situ, ia tak tahu. Atau memang ada orang yang mengikuti dari belakang, menimpakan barang tersebut ke pundaknya? Bukan mustahil.
Barang itu berupa karung plastik, bekas karung beras merek “SMS”, jatuh dan betenggek di belakangnya. Agak terbungkuk Mat Belatong “memikul”-nya.
Ia meminggir ke trotoar, dan menurunkannya dari pundaknya. Beberapa orang yang menyaksikan perbuatan Mat Belatong itu bertanya, “ Ape bende tu Pak?”
”Itulah, aku pon tak tahu. Inilah aku nak nengok, ape bende yang dilemparkan orang ke pundak aku ni!” jawab Mat Belatong.
Setelah dibuka, ternyata isinya: naif, dosa dan bejat! Semua yang menyaksikan tertawa, termasuk Mat Belatong sendiri.
“Ape pasal orang melempar bapak dengan bende macam ini?” tanya orang-orang itu.
“Aku pon tak tahu, mungkin gak orangnye tak kuase agik nyimpan bende macam ini di romahnye, ataupon die dah leteh mikolnye! Lalu dilemparkannye ke aku, disurohnye aku mikol!” jawab Mat Belatong. Orang kembali ngelakak tertawa.
Kemudian karung itu diikat kembali oleh Mat Belatong, lalu dipikulnya. Kalau dibiarkan di trotoar tentu akan mengotori tempat tersebut.
Tiba-tiba melintas Bujang Kambeng kawan Mat Belatong, naik sepeda motor. Melihat Mat Belatong terbungkuk-bungkuk memikul karung tersebut, Bujang Kambeng berteriak,”Ape ente pikol tu Jon!?“
Tak kalah nyaringnya Mat Belatong menjawab,”Naif, dosa dan bejat!”
Bujang Kambeng yang PNS itu terus berlalu karena lalu-lintas cukup ramai, dan orang-orang yang mendengar jadi tertawa. Mat Belatong tak peduli.
Sampai di sebuah bak sampah, Mat Belatong menurunkan karung tersebut dan memasukkannya ke dalam bak tersebut.
Beberapa orang pemulung, menyaksikan perbuatan Mat Belatong itu. Beberapa langkah Mat Belatong beranjak meninggalkan tempat tersebut, para pemulung langsung “menyerbu“ dan berebut membuka karung itu. Setelah dibuka, mereka ketawa terpingkal-pingkal sampai telior-lior sambil berkata,”Celake, rupenye orang itu membuang naif, dosa dan bejatnya!”
Mat Belatong mendengar, tapi ia diam saja.
Kembali ke Mall Mataso, ternyata istri dan cucunya nongol di pintu keluar.
Pulang ke rumah, Mat Belatong yang memegang stir, sedangkan istrinya duduk di belakang. Kepada Toing yang memandang heran, ia berkata,”Ing, tadik aku dudok ngadap ke belakang, sekarang kamek semue ngadap ke depan. Sebab waktu pegi tadik aku dah tahu bahwa jalan ini aman, balek pon tentu aman gak!” ***
( Pontianak, 20 Januari 2005 ).
Posted by MAT BELATONG at 8:07 PM 0 comments
Negeri yang Disumpah Kera
Oleh A. Halim R
KATA “reformasi” telah menjadi nasi, kalau bukan menjadi bubur. Jadi makanan sehari-hari. Namun apa hasilnya!? Adakah ia menyehatkan fisik, mental & spiritual, memperindah ruhani & jasmani pemimpin maupun rakyat di negeri ini!? Di Irian, ada yang mati kelaparan karena “makan reformasi”!
Senyatanya, reformasi membuat banyak orang ingin menjadi Pak Dewan dan Sengkumang!* Ramai-ramai orang berebut: naik pahar! Tempurung pun ingin naik pahar. Tak dapat pahar besar, pahar kecil pun jadilah! Ini baru iya!
Reformasi yang membuahkan otonomi daerah itu telah menciptakan raja-raja kecil di daerah, terutama di tingkat kota dan kabupaten!
Celakanya yang di kabupaten – mentang-mentang punya wilayah yang luas – setelah naik pahar lalu menjadikan dirinya sebagai: tuan tanah, tuan rimba! Tak sanggup melahirkan ide brilian dan program jitu yang mendasar, lalu menempuh jalan pintas yang instan: tebang hutan!
Bumi dipetak-petak, rimba dibagi-bagi, hutan ditebang dengan dalih: untuk kesejahteraan masyarakat! Tauke oportunis diajak sebahat, rimba dibabat untuk kepentingan sesaat, berpedoman kepada ayat pamungkas: aji mumpung! Tak peduli hal itu akan mewariskan kemiskinan dan malapetaka untuk generasi mendatang!
Mat Belatong berdiri di atas cadas puncak Bukit Kelam di Sintang. Tiada lagi pepohonan di situ, tinggal batu hitam keras, seperti tempurung kepala kering yang disalai! Telah sirna mata air, telah punah kantong semar (Nepenthes) dari jenis spesial: berbentuk botol!
Mat Belatong memandang berkeliling, hingga ke tapal batas wilayah Kabupaten Sintang (kini sebagian telah menjadi Kab Melawi).
Hatinya bagai teriris sembilu menyaksikan pemandangan yang dilihatnya. Sangat memilukan.
Sebuah gelora hati membuncah dari dadanya, melahirkan teriakan:
Aku Mendengar dan Akulah Saksi!
Aku mendengar tangis rimba, aku mendengar tangis bumi, aku mendengar tangis sungai dan danau. Aku mendengar lengkingan terakhir dari banyak satwa tatkala mengakhiri hidupnya!
Akulah Bumi Kalimantan, yang kini harum rimbanya telah berganti dengan bau bensin dan solar. Yang kini bisikan anginnya telah berganti dengan deru chainsaw dan logging truck. Yang kini kemurnian airnya telah tercemari lumpur dan merkuri.
Yang kini buminya hancur sia-sia.
Akulah Bumi Kalimantan yang teraniaya, demi kerakusan dan kehausan harta sebagian manusia!
Kusaksikan!
Kini negeriku berbenteng tembok kebohongan, bermahligai ketamakan dan keserakahan, bermenara dengan kezaliman dan aniaya, berhiaskan lampu warna-warni cinta dunia!
Telah roboh pilar-pilar ketauhidan yang dibangun oleh datuk-moyangku. Telah hancur kampung halaman yang dibangun dengan rasa cinta, telah sirna tembawang kebersamaan, telah tiada lagi ladang kasih sayang.
Kini.
Tiada lagi kicau murai dan cucakrawa, tiada lagi nyanyian kelempiyau pagi hari.
Kicau munafik dan maksiat ada di mana-mana, nyanyian tipu muslihat merasuk anak negeri!
Inilah bumiku, inilah negeriku, inilah tanah tumpah darahku!
Mat Belatong terduduk, kemudian terkapar telentang setelah melepaskan kekecewaan yang membuncah dan menggelegak di dadanya.
Air matanya meleleh, seperti air mata kera yang akan disembelih, seperti air mata monyet yang batok kepalanya akan dibuka untuk diambil otaknya guna memenuhi kerakusan orang-orang kaya di restoran-restoran terkenal di Hongkong dan lain tempat di dunia!
Air mata seperti itu pula yang meleleh dari mata banyak satwa yang habitatnya dimusnahkan, yang rumah dan gudang makanannya diroboh dan digusur oleh nafsu angkara manusia!
Pemusnahan rimba, pemusnahan habitat margasatwa, pemusnahan gen (ciri kehidupan),
pemiskinan sumber daya alam, telah dan terus berlangsung tanpa kendali dan pedoman. Semua ingin menjadi pencuri bilamana ada kesempatan. Baik dia aparat pemerintah, aparat keamanan, aparat penegak hukum, serta tauke-tauke kere maupun kaya!
Larangan Allah, agar manusia tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi, dikalahkan oleh ketajaman mata gergaji mesin, dikalahkan oleh berkarung-karung duit, dan kehausan agar rekening bank terus terisi dengan transfer duit dari segenap penjuru!
Tatkala sebuah pohon tumbang, beratus anakan bibit tumbuhan luluh dan remuk tertimpa, beratus satwa baik serangga sampai pukang, trenggiling dan lain-lain mati terhempas dan terhimpit karenanya.
Adakah kenikmatan, kekayaan, dan kemuliaan yang diperoleh dari perbuatan aniaya bakal kekal selamanya!? Niscaya tidak!
Ada Tuhan kan? Dia ada bukan karena Anda percaya, dan mengadakan-Nya! Dia bukan penaka patung Lata dan Uzza yang dibuat dan disembah oleh kafir Quraisy masa lampau! Dia Maha Zat Yang Niscaya Ada (Zat Wajibul Wujud), meski Anda tak mempercayai dan meniadakan-Nya. Dia Maha Besar bukan karena Anda membesarkan-Nya, Dia tidak kecil walaupun Anda mengecilkan dan menyepelekan-Nya! Dia Al-Muhayimin: Maha Pengamat yang selalu menyaksikan!
Dia: Al Haq – Maha Kebenaran – Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya.
Pun Dia Ar-Rahman: Yang Maha Pengasih kepada sekalian makhluk-Nya. Namun Dia juga Al-Muntaqim: Sang Pembalas dosa dengan siksaan!
Bukan Allah tak menyaksikan tangis kera, bukan Allah tak merasa getaran kepedihan dari satwa yang teraniaya.
Air mata kera menetes ke “hadirat” Allah, duka nestapa seekor kera niscaya menyentuh Arasy Tuhan!
Saksikan!
Sumpah kera telah datang, menghunjam para pejabat, aparat, tauke durjana! Tak tampakkah, bahwa para “orang mulia” pembabat hutan telah gemetaran ketakutan, telah jantungan, sementara yang lain telah masuk kerangkeng bagaikan kera di kandang binatang!
Saksikan wahai insan: harimau mati meninggalkan belangnya, manusia mati meninggalkan curriculum vitae : riwayat hidup-nya!
Orang bijaksana, ingin “mati berkafan cindai”: mati dengan nama baik penuh kehormatan. Orang durjana niscaya: mati berkafan kenistaan, meninggalkan nama dan sejarah busuk!
Namun itu, belumlah seberapa. Menolong seekor lalat, Al-Ghazali diganjar surga. Betapa pula menganiaya, membunuh, memusnahkan flora & fauna makhluk Allah, menimbulkan kerusakan di muka bumi!?
Dia ada – dipercayai atau tidak – Dia Al-Muntaqim: Sang Pembalas dosa dengan siksaan! Di dunia bisa berupa peringatan, cobaan bahkan azab, di akhirat sebuah keniscayaan: lebih dahsyat!
Sumpah kera telah menimpa sebuah negeri: berhuma langkar, di romah kenak sampar, turon ke aik ditangkap boyak, ke rimbak dipantok ular!
Makna sumpah kera dalam bahasa Sintang itu adalah: berladang gersang, di rumah kena penyakit sampar, turun ke air ditangkap buaya, ke rimba dipatuk ular!
Tatkala sumpah duka naik ke langit, Allah menumpahkannya ke bumi, mengenai seluruh penghuni negeri itu kalau tak ada lagi orang alim di situ yang dikasihi Allah.
Saksikanlah, berhuma langkar : telah mulai terjadi, dengan serangan hama belalang kembara! Di romah kenak sampar : api dan virus pelbagai penyakit bakal bersimaharajalela! Turon ke aik ditangkap boyak : karena buaya telah punah, tunggu saja bencana lewat merkuri! Ke rimbak dipantok ular : karena rimba dan ular telah langka, lihat saja kebohongan, hasad, iri-dengki, fitnah dan perkataan berbisa ada di mana-mana!
Inilah negeriku, tanah tumpah darahku! ***
* Gila pangkat, gila pujian.
Pontianak, 13 April 2004 – 29 Desember 2005 ).
Posted by MAT BELATONG at 8:05 PM 0 comments
Minyak Angin Pelampong
Oleh A.Halim R
BEBERAPA tahun silam, di pelampung penyeberangan Jalan Bardan Pontianak, terdapat sebuah reklame unik berbentuk botol besar: botol miyak angin! Botolnya genting di tengah. Tegal reklame ini di kakilima dan pasar Pontianak, timbul pemeo: minyak angin pelampong! Ini menambah jumlah pemeo yang telah ada sebelumnya: angin pokol angin!
Orang Kapuas Hulu yang lalu-lalang dengan motor bandong ke Pontianak, ada yang menyebut minyak angin jenis itu sebagai: minyak gontin! Minyak (berbotol ) genting! Dan ini pun telah menambah pemeo lama yang sudah ada: tin-tin telinga tikus, biar gontin anang putus! Ting-ting telinga tikus biar genting jangan putus!
Dan pemeo “minyak angin pelampong” serta “angin pokol angin” sering benar diucapkan Mat Belatong ketika mematikan tivinya bila menyaksikan segala macam dialog yang ditayangkan di layar pesawat tivi! Dan masih ditambahnya lagi dengan kalimat,“Membuat kepalak pening jak!”
Sikap Mat Belatong yang demikian ini mungkin mewakili sebagian masyarakat Indonesia yang sudah jemu “makan omongan dan pidato”! Sudah jemu menyaksikan adegan “silat lidah”, yang buntut-buntutnya: angin pukul angin juga! Dan celakanya orang lain disuruh untuk mendengar!
Kini, meskipun reklame “minyak angin pelampong” telah roboh, namun budaya yang ditinggalkannya makin marak! Budaya “minyak angin pelampong”: botol besak, isik tadak! Bahkan tampaknya dijadikan oleh sebagian orang sebagai modal untuk meraih kursi merek “Sengkumang”*
Tak salah bila ada orang luar negeri berkata,”Bangsa Indonesia sekarang ini baru belajar ngomong, baru belajar berpikir!”
Lho, usia 60-an tahun kok baru belajar ngomong dan berpikir!? Ada yang beralasan: karena lidahnya dikunci, mulutnya diplester, otaknya dibekukan dengan cairan indoktrinasi (barangkali sejenis: formalin!) pada masa “kekaisaran” Soekarno dan Soeharto!
Kalau dilihat dari usia, bangsa Indonesia memang sudah terbilang tua. Mereka yang lahir tahun 1945 saja sudah pada beruban rambutnya, kecuali yang mengamalkan ilmu “pembohongan publik”. Yang disebut terakhir ini rambutnya tetap hitam-legam: disemir!
Kalau rambut saja sudah dimanipulasi dan dijadikan sebagai salah satu atribut topeng untuk melakukan pembohongan, apalagi dalam perbuatan dan tindakan lain! Setiap penggunaan topeng niscaya punya tendensi! Tanya diri sendiri, Allah mengetahui diri lebih daripada diri sendiri!
Dan kini tampaknya, di pelampung penyeberangan itu perlu dibangun sebuah botol baru, mungkin juga berbentuk kaleng atau jeriken, sesuai dengan isu terbaru yang tengah menderu-deru bertiup sekarang ini, yaitu: biodisel!
Orang-orang ahli pertanian, ekonomi, politikus, perdagangan, perbankan dan lain-lain, dengan gegap-gempita menyatakan keyakinannya bahwa Kalimantan Barat bisa menjadi: tambang biodisel! Bahan bakar masa depan pengganti BBM solar!
Untuk merealisir hal itu, lima juta hektar lahan kritis di daerah ini akan ditanami: jarak pagar!
Entah siapa yang berhasil “ngipas wal ngibau” para “ahli” ini wallahu alam bissawab! Mudah-mudahan bukan karena masih mengidap penyakit lama “ABS”. Atau, karena melihat “pancuran duit” yang bersedia diarahkan Pemerintah Pusat ke daerah ini lewat proyek jarak pagar!? Kalau fokusnya cuma itu, maka bisa terjadi: pagar makan jarak!
Hasil rapat para “ahli” tanggal 5 Januari 2006 lalu yang melibatkan HA Aspar SE, Ir Idwar Hanis, H Ali Nasrun SE,MEc, Dr Saeri Sagiman, Falal, Toni, Memet Agustiar SE dan lain-lain itu, telah menelurkan: Tim Pengembangan Jarak Pagar Kalbar (Tim PJPK). Selaku Ketua Tim PJPK, adalah Ir Idwar Hanis Kepala Dinas Perkebunan Kalbar. Tim ini akan mempersiapkan terbentuknya Badan Pengembangan Energi Alternatif yang akan disahkan oleh Gubernur Kalbar! Hebat!
Jarak (Ricinus communis) atau jarak pagar (Jatropha curcas) sebenarnya bukan barang baru bagi masyarakat Kalbar. Nama lokalnya: melekian (Mempawah), atau kemandah (Sanggau ke hulu). Zaman penjajahan Jepang, rakyat membuat minyak dari buahnya untuk menyalakan pelita di samping menggunakan minyak kelapa. Pernah melihat pelita bersumbu tiga dari bahan tembikar? Itulah pelita minyak kelapa! Sebab minyak tanah sama sekali tak ada! Dan masyarakat yang bodo-bale sekali pun tahu (tak perlu hasil penelitian para ahli!) bahwa buah kemandah (minyak kastroli) boleh dipakai sebagai pencahar! Merangsang binatang maupun manusia untuk (maaf): berak-berak! Bisa dehidrasi, muka pucat-pasi, mata cekung-raung orang dibuatnya!
Selain jarak pagar, beberapa waktu sebelumnya, telah digaungkan juga ke kuping rakyat, di Kalbar ini – termasuk daerah perbatasan – akan ditanam sejuta hektar kebun sawit. Juga untuk keperluan bahan bakar mesin disel!
Monumen Botol Biodisel itu perlu diwujudkan untuk menandai “kebulatan tekad” para ahli di daerah ini untuk menjadikan Kalbar sebagai “tambang biodisel”! Sebab hal ini bukan hal yang boleh dianggap kecil, melainkan suatu terobosan teknologi besar, kalau bukan angan-angan dan kebohongan besar!
Sebab hal serupa tapi tak sama, pernah terjadi di Kab Sintang. Proyek reboisasi dan budidaya pinus pernah dikumandangkan di daerah tersebut, dilaksanakan di daerah Kebebu Nanga Pinoh.
Para ahli ekonomi, pejabat daerah, politikus dan lain-lain berkata: lima-enam tahun lagi di Sintang akan berdiri sebuah pabrik korek api dan potlot! Bahan bakunya, yakni itu tadi: pohon pinus! Sintang akan berperan besar untuk memenuhi kebutuhan korek api, potlot, dan tusuk gigi di Indonesia!
Lebih dua puluh tahun telah berlalu, sebatang korek api pun tak pernah diproduksi Sintang! Jangan kan korek api, korek kuping saja masih ada yang menggunakan bulu ayam!
Nyatanya bukan korek api yang diproduksi, tetapi lautan api (kebakaran!) yang sering benar terjadi di proyek reboisasi itu. Arang habis besi binasa, pengelola proyek makin kaya saja!
Coba waktu program itu digegap-gempitakan, dibuat monumen atau tugu “korek api” di Sintang untuk memperingatinya. Niscaya masyarakat memiliki sebuah “catatan sejarah” untuk generasi berikutnya, pun tercatat pula nama besar personel Tim Pengembangan Pinus Kab Sintang (TPPKS).
Sehingga tugu itu bisa dilihat dan diingat sampai kini sebagai: Tugu Pengampor! Tugu Pembulak, Tugu Pembual, Tugu “Angin Pokol Angin”!
Mat Belatong jadi timbul mual kalau mencium sesuatu yang beraroma “minyak angin pelampong”.
Dan tampaknya ada pula yang berhasil menjual “minyak angin pelampong” kepada Presiden SBY. Sampai Presiden berharap sangat, Kalbar bisa menjadi tambang biodisel. Sebab persediaan minyak angin, eh minyak bumi Indonesia diprediksikan hanya cukup untuk 15 tahun mendatang.
Yang Mat Belatong tak habis heran, kenapa orang-orang pintar di daerah ini bisanya cuma menjadi: Pak Turut, Pak Panut, Mr Yesman!
Akasia kata orang, akasia juga kata kita. Pinus kata orang, pinus juga kata kita. Sawit kata orang, sawit juga kata kita. Jarak kata orang, “jjj…jjaarak” juga kata kita bersemangat walau mungkin sedikit tergagap!
“Ngape ndak: jarak pagar kate orang, karet kate kite!” omel Mat Belatong. Menurut alur pikiran Mat Belatong yang “nyleneh”, biar daerah lain saja yang memproduksi biodisel, kita bertanam karet untuk memproduksi ban mobil! Kenapa!? Apakah mobil bisa berjalan tanpa ban, kendati berminyak!? Pernah terjadi – bukan mustahil masih berlangsung hingga kini – perusahaaan crumb rubber di daerah ini sampai membeli karet dari luar negeri untuk memenuhi quota yang diminta rekanan dari luar negeri!
Lebih dari itu sebuah penyakit yang diidap Mat Belatong adalah: sudah jemu, jenuh, sudah berapa puluh tahun masyarakat di daerah ini didikte dan ditekan terus dari Pusat? Sudah berapa generasi pemimpin dan pejabat di daerah ini yang cuma bisa jadi Pak Turut, jadi pejabat carmuk!
Dan terus terang saja, tatkala beberapa waktu lalu Gubernur Kalbar Usman Djafar “memproklamasikan“ daerah Kalbar sudah surplus beras dan bisa menjual beras ke daerah lain, orang-orang di pasar pada tertawa seperti menonton ketoprak humor!
“Bagos! Beras petani, kite jual ke daerah laen, sebab beras impor kite belonggok, murah agik!“ ucap mereka tertawa. Aneh, rahasia umum, kok Gebernur tak tahu. Mengisi seluruh gudang Dolog pun para tauke di Kalbar mampu, baik dengan beras impor ilegal maupun legal! Kok bisa-bisanya ada yang “jual kibul” kepada Gubernur dalam keadaan seperti ini! Dan “gayung kibul” itu “disambut” pula oleh Gubernur!
Suatu ketika, seorang rekan dari Surabaya berucap,”Bawang putih Kalbar bagus-bagus dan murah, begitu juga langsat, rambutan, manggis, durian. Buah-buahan melimpah di sini. Dan istri saya wanti-wanti pesan: Ke Pontianak jangan lupa bawang putih, Mas!“
Terjemahkan sendiri sajalah: bawang putih hasil petani Kalbar berkat keberhasilan pembinaan Dinas Pertaniankah itu?
Tak setelempap kebun bawang putih ada di Kalbar. Asalnya, nun jauh di sana: Argentina! Masuk ke pasaran Kalbar, lewat Sarawak!
Dan bukan mustahil 15 – 20 tahun mendatang, lakon ketoprak humor paling konyol bermain lagi di Indonesia: orang sudah memproduksi kendaraan energi surya, kita baru bertanam pohon jarak! Orang sudah mengelola bendungan dan PLTA, kita masih berkutat ria dengan PLTD kuno yang biarpet! Alasannya bukan lagi “tali kelayang”, tapi: kebun jarak disikat belalang! Nengok ke zaman Jepang, matehari tak terpandang! Ndakke lebeh mudah bertanam rumpot daripade bertanam jarak: lepaskan sapi bali! ***
* Gila pangkat, gila pujian.
( Pontianak, 7 Januari 2006 )
Posted by MAT BELATONG at 8:04 PM 0 comments
Thursday, November 1, 2007
Mat Belatong dan Cerita Bini
Oleh A. Halim R
RA NURUL Handayani SH MM Kepala Kejaksaan Negeri Singkawang bertutur mengutip cerita pewayangan Jawa, yang ringkasnya sebagai berikut:
Arjuna memiliki empat istri yaitu Subadra, Srikandi, Sulastri dan Larasati. Subadra sebagai pengasuh anak, untuk mendidiknya menjadi anak yang salih. Srikandi sebagai pengaman keselamatan suami, Larasati sebagai pengontrol keuangan rumah tangga, dan Sulastri mampu menjadi pelayan bagi suami.
Seorang perempuan harus bisa memiliki keempat karakter tersebut baru sah sebagai yang diper-empu-kan. Sedangkan pria yang merupakan singkatan dari Pemimpin Raja Istri dan Anak, jangan sampai kehilangan status PRIA-nya sehingga menjadi STI (Suami Takut Istri). Kalau lelaki kehilangan PRIA-nya di rumah, jangan heran bila ia lalu menegakkan statusnya di luar rumah dengan cara mencari WIL (Wanita Intim Lain).
Begitu kata RA Nurul.
Tapi lain pula pendapat Mullah Nasruddin Affandi tokoh legendaris asal Turki.
Diriwayatkan, pada suatu hari seorang lelaki teman Mullah berkata,”Wanita yang akan saya nikahi: kaya, cantik, gadis, berkelakuan baik dan pandai!”
Mullah menjawab,”Aku takut Anda tidak akan memperoleh semua kualitas tersebut pada satu istri, kecuali kalau Anda akan menikahi lima wanita!”
Di kalangan berang-berang (Lutra cinerea) lebih parah lagi. Meskipun binatang, ia memiliki lebih banyak persyaratan yang dikehendakinya dari si betina. Namun buntut-buntutnya, sama saja dengan Arjuna maupun pendapat Mullah Nasruddin. Bukan lagi berbini empat seperti Arjuna, atau lima seperti kata Mullah Nasruddin, melainkan belasan atau konon sampai dua puluh ekor betina!
Menurut pengamatan Mat Belatong, lebih gila lagi kucing! Satu betina kalau musim kawin, bisa sampai empat-lima ekor jantannya!
Mengenai lelaki yang tergolong STI (Suami Takut Istri), menurut pemantauan Mat Belatong tak semuanya bisa menegakkan ke-PRIA-annya pada WIL, tapi tak jarang: mencari WIL pun dia takut! Akhirnya ia stres, lalu rungguk, lalu gem!
Sejumlah anak tumbuh besar tanpa ayah, tapi untung saja ibunya gagah perkasa, punya karir dan mandiri!
Isa putra Maryam Alaihis-Salam, ditanya: Mengapa engkau tidak membuat sebuah rumah?
Beliau menjawab,”Buatkanlah rumah bagiku di atas air yang mengalir!”
Kemudian ia ditanya lagi: Mengapa engkau tidak mengambil seorang istri?
Beliau menjawab,”Apa yang dapat kuperbuat terhadap seorang istri yang dapat meninggal?”
Dari sekian kalimat yang berbicara tentang bini dan istri di atas, tak ada sama sekali menyentuh kata “cinta”!
Setelah berpikir sampai urat kepalanya timbul, Mat Belatong berkesimpulan: cinta hanya marak di kalangan pedangdut!
Tegal cinta, ada penyanyi dangdut yang mampu menanggung resiko: baju satu kering di badan, tak kan luntur cintaku padamu!
Lebih nekat lagi ada yang berani: makan sepiring berdua!
Padahal, Khalil Gibran (1883 – 1931) penyair dan filosof Libanon sudah berpesan: Saling isilah piala minumanmu, tapi jangan minum dari satu piala. Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari pinggan yang sama!
Petuah ini tak berlaku di komunitas dangdut. Mungkin mereka berpendapat: Owalah Gibran, ente cume pandai ngomong jak – tentang anak, tentang bini – padahal ente sorang tak pernah beranak-bebini!
Akhirnya Mat Belatong berkesimpulan, kalau mau bergelimang cinta, berkelindanlah dengan orang-orang dangdut! Belajarlah cinta dari mereka!
Tapi celakanya kesimpulan ini disanggah oleh Mat Ketumbi,”Merampot Jon, Raje Dangdut jak berape bininye, berape kali kawen-cerainye!“
Mat Belatong tekanjat, dan berkata,”Eh Ketuk, diam-diam ente ni jadi pengamat gak rupenye!”
Selembe Mat Ketumbi menjawab,”Biase, zaman reformasi. Balek belakang, putar lidah, bukan masalah. Macam oknum personel legislatif asal Singkawang tu! Die gak ngomong berpedoman dengan Ten Commandment dari Nabi Musa. Tapi begitu masok Ketapang laen cerite. Timbol masalah, bebar lapor ke polisi tegal nak dihalap preman! Tak kan ade asap, kalau tadak api! Padahal ape kurangnye Singkawang? Tak ade masalah bagi orang berzina dan berselingkuh. Firman Allah dah dianggap macam: kerupok mamang! Kenak aek: benyek! Sampai dah macam itu toleransi – kalau bukan kerapuhan akhlak – sebagian masyarakat Sin Kew Jong. Ngape pulak lalu betingkah, sampai timbol kesah di Tanah Kayong!?”
Mat Belatong termangu menatap sahabatnya berbicara. “Bijak cakap awak tu Ketuk! Ilmu awak makin betambah, biar pon penampilan belom berobah,” ucap Mat Belatong.
“Lalu macam mane pendapat awak tentang petuah RA Nurul Handayani Kajari Singkawang tu?” balik Mat Belatong pula yang bertanya.
“Gampang Jon, petuah itu harus disosialisasikan dengan cara: memasyarakatkan wayang, mewayangkan masyarakat!” jawab Mat Ketumbi.
Kening Mat Belatong tampak berkerut mendengar kalimat yang diucapkan rekannya. “Ketuk, cakap awak ni dah macam cakap pejabat. Mudah ngucapkannye, tapi rumet mikerkannye! Jadi susah aku nak ngerti! Cobe jelaskan gak, macam mane arti kate mewayangkan masyarakat tu!” pinta Mat Belatong.
Mat Ketumbi menjawab sambil tertawa,”Ente purak-purak Jon, padahal ente lebeh pendekar!”
“Tadak Ketuk, tolong cakapkan ape maksod kalimat awak tu!” ucap Mat Belatong.
“Mewayangkan masyarakat, ndak ke artinye: menjadikan masyarakat itu sebagai wayang!? Setiap maen wayang tentulah ade dalangnye! Dalang zaman sekarang tak mesti pakai belangkon, tak mesti bekaen batek dan bebaju surjan. Disurohnye masyarakat besampok, dimaenkannye lakon saling curige, diskenarionye: manajemen konflik! Lalu die pulak tepekek-jeret: ada provokator, suasana tidak kondusif! Ndak ke gitu Jon!?” jelas Mat Ketumbi.
Mat Belatong berdecak kagum mendengar omongan sahabatnya.
“Ketuk, dari cakap awak ni, tampaknye dah ade nurul hidayah – bukan RA Nurul – yang masok ke kalbu awak tu! Alhamdulillah, ana bangge dengan kemajuan awak ni Ketuk! “ puji Mat Belatong.
Lebih lanjut Mat Belatong bertanya,”Macam mane pulak kalau program memasyarakat wayang digalakkan, lalu banyak lelaki ngambek kesempatan: untok pembenaran bebini empat macam Pak Raden Arjuna tu!?”
Mat Ketumbi langsung menjawab,”Penjabaran program memasyarakatkan wayang itu terbatas hanya bagi kaum wanita jak. Boleh dipelopori oleh ibu-ibu dari Kejaksaan Negeri Singkawang. Kemudian lebeh diperluas agik ke seluroh organisasi wanita, termasuk ibu-ibu majelis taklim Singkawang. Harapannye tak laen agar kaum wanita menjadi sadar bahwa mereka harus memiliki empat karakter istri Arjuna macam yang diungkapkan oleh RA Nurul itu! Sebagai pilot proyek boleh kota Singkawang, kalau berhasel boleh diusolkan jadi program kaum wanita di seluroh Provinsi Kalbar!”
Kembali Mat Belatong berdecak kagum. Omongan Mat Ketumbi dah macam omongan pejabat, bertabur istilah-istilah asing, tak peduli masyarakat mengerti atau ndak.
Setelah berpikir sejenak, Mat Belatong berkata,”Tapi bukan mustahel Ketuk, tegal wayang itu lalu banyak pula ibu-ibu yang luluh hatinya, dan menjadi sadar bahwa ia tak mungkin memiliki empat karakter itu sekaligus. Dan mereka rela kalau suaminya melengkapi empat karakter itu dari wanita lain. Singkat kata: mereka rela suaminya kawin lagi! Ibu kita RA Kartini jak bukan istri pertama!”
Mat Ketumbi langsung menjawab,”Alhamdulillah, keikhlasan yang seperti itulah yang dimiliki oleh perempuan-perempuan mulia istri Rasulullah SAW!”
Mat Belatong ternganga, dan tak mengira sama sekali omong-omong soal bini lalu sampai pula kepada nabi akhir zaman Muhammad SAW. Yang mengagumkan, ternyata kalbu Mat Ketumbi benar-benar telah mengalami reformasi pencerahan! Bukan reformasi yang kebablasan!
Kemudian Mat Belatong berkata,”Tapi celaka wahai Ketuk, kalau peluang yang demikian ini dimanfaatkan oleh pria yang tidak bertanggung jawab, yang tidak berpedoman kepada ajaran Rasulullah SAW: tidak adil, zalim lagi aniaya!”
Jawaban Mat Ketumbi sungguh mengagetkan: Lelaki itu tak lebih baik dari berang-berang, dia bukan umat Muhammad! Di akhirat dia akan berjalan pincang, bukan mustahil menjadi sosok manusia busuk yang lumpuh-layuh!
Mat Belatong tergemam mendengar jawaban sahabatnya itu. Pun ia tak mengira cerita ini bisa mengalir sendiri: dari Singkawang ke akhirat!
Kemudian ia berkata,”Udahlah Ketuk, kite stop cerite kite sampai di sini jak. Bise-bise ade orang yang salah ambek dan memfitnah. Lalu kite beduak dituding: provokator, bejat, jurkam poligami! Sebab tak semue orang pandai ngambek yang tersirat dari yang tersurat!” ***
( Pontianak, 26 Desember 2005 ).
Posted by MAT BELATONG at 6:58 PM 0 comments
Mencari Api dalam Sekam
Oleh A. Halim R
MAT BELATONG dan Mat Ketumbi tengah melakukan safari (perjalanan – pen) ke kota Singkawang. Kota ini pernah menyandang berbagai predikat yang diberikan kepadanya setiap kali berganti pemimpin. Banyak orang menyebutnya Sin Kew Jong, ada pula yang menggelarinya Kota Amoy. Pada masa pemerintahan “Khalifah” Syafei Djamil pernah diberi predikat “Kota Gayung Bersambut”. Ketika jabatan “khalifah” berada di tangan Uray Rukiyat, kota ini menjadi “Kota Tasbih”.
Kata “Tasbih” adalah sebuah akronim (singkatan). Namun tentu tak sekadar itu yang mungkin dikehendaki Uray Rukiyat. Ada sebuah nuansa yang ingin ia lekatkan ke kota yang dipimpinnya, sehingga image orang (kalau mungkin) terarah kepada: untaian biji-biji tasbih. Barangkali ia ingin mengajak masyarakatnya, mengajak orang-orang yang datang ke Singkawang untuk selalu bertasbih, berzikir, ingat kepada Allah!
Dan tugu “Tasbih” itu sampai kini belum lagi roboh, masih terpacak pada tempatnya semula. Namun, dengan dalih menyesuaikan diri dengan sikon yang terjadi akhir-akhir ini, tampaknya ada pula pihak-pihak yang berkehendak memberi gelar baru kepada kota Singkawang: Kota Api Dalam Sekam! Kalau diakronimkan mungkin jadi: Kopi Lamse! Untung saja bukan: Kopi Pangse alias Kopi Pangku!
Dalam rangka melacak situs “api dalam sekam” inilah Mat Belatong membawa Mat Ketumbi ke Singkawang. Mat Ketumbi, namanya juga “ketumbi” – yang paling buntut – ikut saja. Ibarat kata orang Jawa, kalau sudah diajak oleh Mat Belatong, Mat Ketumbi ya: swargo nunut, neroko katut! Ke sorge ikot, melabor ke nerake pon terbawa.
Mereka sudah berkeliling di kota Singkawang, nongkrong di setiap warung kopi untuk mendengar apa yang tengah menjadi topik pembicaraan orang. Perut Mat Ketumbi sampai gembung minum teh es di setiap warung. Tapi tak ada sama sekali orang-orang itu membicarakan: api dalam sekam.
Di setiap warung Mat Belatong bertanya,”Di mana saya bisa menemukan api dalam sekam!?”
Jawaban yang diperolehnya hampir sama: Sinun yo, tampat urang enggiling padi! Di sana, di tempat orang menggiling padi!
Mat Ketumbi, kakinya sampai meletop, karena berjalan memakai sepatu. Maklum, kaki jarang kena sepatu. Akhirnya ia membeli sandal jepit, sepatu made in Cibaduyut masuk tas kresek!
Setelah berhari-hari berkeliling kota Singkawang, hampir maghrib mereka kembali ke Hotel Bintang Tujuh, tempat keduanya menginap.
Setelah makan dan salat isyak, Mat Belatong mengajak Mat Ketumbi keluar kamar. Dari lantai dua hotel tersebut terlihat di halaman hotel ada belasan wanita PSK (Penjaja “Sate” Keliling – pembaca yang ahli tentu bisa membetulkan kalau ini salah – pen). Juga tampak ada beberapa orang waria. Mereka lagi bercengkrama riang sesamanya. Jam menunjukkan hampir pukul delapan malam.
Mat Belatong mengajak rekannya menemui orang-orang itu. Namun Mat Ketumbi menolak sembari berkali-kali berucap,”Asytaghfirullah al‘azim, ingat Jon: wala taqrabuz zina! Mintak ampon ya Allah, jangan dekatkan aku kepada zina!”
Mat Belatong memegang tangan sahabatnya dan berkata,”Tenang Ketuk, jangan takot, jangan gentar Allah bersama kita! Ini Singkawang Ketuk! Di Singkawang ini sebagian orang telah menjadikan firman Allah seperti permen karet! Bise ditarek-ulor, bisa digumpal-gumpal berdasarkan kepentingan. Zina dan selingkuh bukan lagi sebuah aib, bukan lagi hal yang haram dan memalukan, tapi: boleh-boleh saja! Ini berarti bahwa virus permisif – salah satu virus sangat berbahaya produk globalisasi, kalau bukan bentuk kemunafikan – telah merebak di Singkawang! Kalau gelombang tsunami sudah meluluh-lantakkan Aceh secara fisik, kini gelombang permisivisme tanpa disadari telah mulai meluluh-lantakkan moral atau akhlak sebagian masyarakat Singkawang. Permisivisme bukan hanya menyerang sebagian masyarakat awam, tapi juga para guru, ulama dan umara, sampai ke pengurus masjid dan kalangan wanita di majelis pengajian!”
“Gile, virus ape tu Jon sampai membuat orang menjadikan firman Allah seperti bombon karet!?“ tanya Mat Ketumbi.
“Permisivisme adalah suatu paham yang membolehkan, mengizinkan dan melonggarkan orang untuk berbuat sesuatu yang menyimpang dari aturan agama, hukum, etika dan kebiasaan masyarakat. Kota Singkawang tampaknya sudah mencapai – kalau bukan terjerumus – ke maqam yang demikian itu! Ini berkat kepemimpinan walikota yang sekarang ini! Jadi kalaupun kita nak buat macam-macam di Singkawang, situasi dan kondisinya sangat kondusif! Apa pun yang akan kita buat boleh-boleh saja, tak akan ada razia polisi, tak ada hujah ulama, tak ada protes majelis pengajian, tak akan dikata-kata dalam khutbah Jumat!” jawab Mat Belatong.
“Tapi Jon, bagosnye ana tak ikot. Ana nunggu di lobi hotel jak. Biar ente jaklah betale dengan budak-budak tu!” ucap Mat Ketumbi.
“Tadak Ketuk, awak harus tetap dengan aku, awak menjadi saksi kalau timbol fitnah!” jawab Mat Belatong.
Entah jalan ke surga atau neraka yang tengah ditapaki Mat Belatong, terpaksalah Mat Ketumbi ikut.
Pendek cerita, maka bergabunglah kedua sahabat itu dengan majelis wanita PSK dan waria itu.
Salah seorang PSK minta dibelikan rokok. Mat Belatong menyodorkan selembar duit Rp 50 ribu, sembari berkata,”Aa, belilah siape yang perlu rokok!”
“Kalau beli semue, tak cukop duet ni bang! Tambah agiklah!” ucap PSK itu.
Mat Belatong merogoh koceknya, dan kebetulan yang terkeluar lembaran Rp 50 ribu. Cepat tangan PSK itu menyambar sambil berucap,”Terima kaseh bang!“
Dalam percakapan lebih lanjut, Mat Belatong bertanya,”Kitak-kitak ni ade organisasi atau semacam perkumpulan ndak?”
“Sik an beh bang, semuenye begarrak sorang-sorang na ang!” jawab seorang PSK dalam dialek Melayu Sambas.
“Kitak tuk urangnye banyak, ibaratnye jadi lampu seri di kota Singkawang: memperindah kota! Tapi mun begarrak sorang-sorang disik kekuatan. Cobelah kitak bantok perkumpolan, misalnye Majelis PSK Kota Singkawang. Bise juak kitak dakkat dangan Pak Walikota, dakkat dangan Pak Kapolres. Bise juak kitak ngeluarkan surat dukungan untok Pak Wali, macam nang dilakukan oleh ibu-ibu majelis pengajian iye!” ucap Mat Belatong coba-coba berdialek Sambas.
Salah seorang PSK nyeletuk,”Abang ni tim sukses Pak Wali atau provokator!?”
“Bukan! Aku ni Nordin Top!” jawab Mat Belatong.
Semua PSK dan waria itu tertawa. Sambil menunjuk Mat Belatong mereka berkata,”Yo, abang tuk endah-endah inyan. Nordin Top urangnye lawa bang, ade cambangnye! Biarpon dah dicukor, bakkas cambangnye maseh nampak!”
“Itulah kau, betanyak yang ndak-ndak,” jawab Mat Belatong.
Kemudian Mat Belatong bercerita, bahwa pada tahun 2009 yang akan datang, kota Singkawang akan menjadi tuan rumah MTQ XXII Tingkat Provinsi Kalbar. Perhelatan besar itu akan didatangi oleh banyak manusia dari berbagai kabupaten, termasuk tamu-tamu dari luar daerah. Sebaiknya para PSK dan waria telah menyiapkan diri, jauh hari sebelumnya. “Jadikan dirimu sebagai penghias dan penyemarak kota, bersikap ramah dan berkunjunglah ke tempat-tempat penginapan kontingen MTQ. Tempat-tempat praktik prostitusi, seperti di belakang terminal bus Bengkayang, perlu dibenahi dan mulai berhias diri!”ucap Mat Belatong.
“Iye ke bang!? Ndakke kalau MTQ kamek-kamek ni dirazia dan diuser polisi!?“ tanya seorang PSK.
“Tadak! Singkawang telah menjadi kota yang paling kondusif di Indonesia. Anggota polisi berzina, polisi menista orang, pejabat berselingkuh, orang aborsi, semuanya boleh-boleh saja. Berbahagialah kalian, dipimpin oleh para umara dan ulama yang permisif, yang berhasil menciptakan sikon yang sangat kondusif di Singkawang ini,” jawab Mat Belatong.
Setelah berbincang lebih lanjut – termasuk tentang sejumlah hal yang off the record – akhirnya Mat Belatong berkata,”Takot cerite kite kepanjangan, sekarang saye beduak permisi dolok nak balek ke kamar. Lamak-lamak ngobrol di sinik pon bise-bise ngabeskan waktu kitak, sebab kitak pon nak bekerje gak. Lalu aku pulak kenak sumpah- seranah tamu yang memerlukan kitak!”
“Terimak kaseh bang ye, tak perlu kawan ke?“ tanya para PSK itu.
“Udahlah, terimak kaseh jak. Saye pon dah ade gak kawan. Ini si Ketuk ni!” ucap Mat Belatong.
Tatkala sudah berbaring di kamar, sambil matanya terkelip-kelip menatap langit-langit kamar, Mat Ketumbi bertanya,”Macam mane jak ye kabar Nek Aki dan Pak Udak yang naek haji tu sekarang?”
“Pak Udak, Nek Aki yang mane?” tanya Mat Belatong.
“Itu duak orang pejabat Singkawang yang sering masok koran tu!” jawab Mat Ketumbi.
Setelah mengingat sejenak, Mat Belatong menjawab,”O, yang itu! Berdoalah Ketuk, agar yang satu tidak selalu menyingkap kain sarungnya di sana. Dan semoga yang satu lagi, kalau bertemu dengan wanita-wanita yang menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian hitam dan bercadar hitam di mukanya, tidak berkata: wanita korengan! Kalau sampai terjadi yang demikian Ketuk, beramak muke seluruh jamaah haji Indonesia, terutama Kalbar!”
Masih terkelip-kelip, Mat Ketumbi bertanya lagi,”Kalau kite balek ke Pontianak besok, tak ketemulah api dalam sekam tu Jon!?”
“Tenang Ketuk, perjalanan kite tak sie-sie. Ana dah menemukannye!” jawab Mat Belatong.
Berdasarkan survai dan metode manthiq (ilmu logika) versi Hoja Nasruddin Affandi, Mat Belatong telah menemukan “api dalam sekam” itu.
Sebuah korelasi yang jelas terlihat, kota Singkawang sangat kondusif bagi “api dalam sekam”. Api dalam sekam itu bukan lain adalah: sikap permisif pejabat dan sebagian masyarakat Singkawang! Sikap yang demikian itu bagaikan api dalam sekam membakar moral dan akhlak mereka sendiri!
Singkawang sangat kondusif untuk kehidupan permisif! Dan itu telah dipelopori oleh tokoh puncak eksekutif! Sebuah keniscayaan: lahar atau kotoran yang mengalir dari puncak gunung, akan mengalir dan merembes ke bawahnya! ***
( Pontianak, 21 Desember 2005 ).
Versi cetak dimuat Borneo Tribune (4/11)
Posted by MAT BELATONG at 6:55 PM 0 comments
Refleksi “Merdeka” versi Mat Belatong
Oleh A. Halim R
MAT BELATONG duduk mencangkung di sebuah batang kayu di tepian sungai. Batang tersebut jika dilihat dari bentuknya, mungkin sisa-sisa rakit kayu yang terbuang: sudah afkir, tak laku lagi.
Ia menatap permukaan air sungai yang mengalir tenang, tetapi keruh. Ia tengah mencari bayangan wajahnya sendiri di permukaan air itu. Ia tengah melakukan refleksi, mencari wajah “kemerdekaan” yang ada di dirinya yang telah berusia 62 tahun. Ia berharap bisa membaca apa yang mungkin terpantul lewat wajahnya di situ! Adakah pertambahan usia di wajahnya kian menampakkan kearifan, atau malah kian keriput dan menakutkan?
Namun ia tak menemukan wajahnya di air yang keruh kekuningan itu. Ia coba memasukkan tangannya sebatas siku ke dalam sungai. Apa yang terlihat? Telapak tangannya sendiri tak kelihatan! Air sungai sudah sangat keruh!
Niscaya telah terjadi sesuatu pada sungai, pada bumi Kalbar dalam jangka waktu 30 tahun terakhir ini. Dulu, masa kanak-kanak, bila ia mandi berlimbur dan menyelam di Sungai Kapuas, Sekayam maupun Melawi, kelebat kawan yang sama menyelam masih bisa terpandang dalam jarak 2 – 2,5 meter. Tatkala haus, tanpa ragu ia dan kawan-kawannya mencauk air dengan kedua tangan untuk kemudian meneguknya.
Kini sungai kian keruh mungkin akibat muka bumi termakan erosi, karena rimba kian lingkis. Diperburuk pula dengan pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang terus marak dan mengganas hampir di semua batang air dan pinggir sungai di daerah ini. Menyauk emas, menebar merkuri kian menjadi-jadi!
Mat Belatong ingat, pada tahun 2005 lalu seorang peneliti dari Universitas Tanjungpura Pontianak berteriak lantang: Sungai Kapuas telah tercemar merkuri di atas ambang batas!
Ironis, belum lama ini, peneliti yang sama berteriak lain: Sungai Kapuas bebas merkuri!
Mat Belatong terpaksa berburuk sangka: sebab pernyataan itu bertentangan dengan logika dan fakta! Adakah sang peneliti berhasil dirangkul dan “dijinakkan”? Sehingga meneriakkan: pesan sponsor berbau politis(?). Maklum, pemilihan gubernur akan berlangsung 15 November 2007. Isu kehancuran lingkungan dan merkuri bisa merusak reputasi kandidat incumbent kalau dimunculkan oleh kontestan lain! Ada pula yang berdalih: isu merkuri jangan dipambar, nanti wisatawan takut ke Kalbar! (Bahwa otak orang Kalbar akan betukuk dan labil macam air raksa, mungkin tak perlu dipikirkan!)
Sungguh aneh? Apa mungkin dalam waktu dua tahun lebih, sungai di Kalbar bisa bebas merkuri? Sementara semua orang tahu, jumlah mesin Dong Feng yang masuk ke Kalbar dan PETI makin bertambah dan kian marak dari tahun ke tahun!?
Terakhir, seorang peneliti lain dari universitas yang sama tanggal 23 Agustus 2007 berteriak lantang lewat media massa: Sungai Kapuas tercemar merkuri 40 kali dari batas normal. Di sepanjang Sungai Kapuas terdapat sekitar 2800 titik PETI! (Apa sudah termasuk yang ribuan juga di sepanjang Sungai Melawi? – pen)
Ditambahkankan pula oleh peneliti yang bernama Profesor Alamsyah Hasan Basri, bahwa setiap tahun masuk 30 – 40 ton merkuri dari Malaysia lewat perbatasan Kabupaten Sintang – Sarawak.
Mat Belatong termenung menatap sungai: ia mencari makna “merdeka” di air keruh itu!
Tentara Jepang dan Belanda yang memegang senjata, memang telah hengkang dari negeri ini. Tuan Honda, Tuan Takeda, spion Jepang yang berlagak “Mat Kodak” tahun 1940-an memang tak tampak lagi di Kalbar atau Indonesia. Kalau pun ada mungkin sebagai “Mat Kodak” turis mancanegara asal Jepon. Tapi berbagai produk Jepang merek Honda, Suzuki dll, memadati jalan dan supermarket di Indonesia!
Karena kebodohan, ribuan orang “dibunuh” Tuan Honda dan kendaraan produksi Jepang setiap tahun di Nusantara ini. Dulu (1944 – 1945) Jepang membunuh orang pintar di Kalbar, sekarang Jepang “membunuh” orang bodoh! Sementara Tuan Van Huis, Van Mock sudah lama mati.
Di sungai yang keruh itu Mat Belatong melihat, betapa bangsa ini terutama yang bermukim di daerah Kalimantan Barat: masih dijajah kebodohan, kemiskinan dan pengangguran!
Kebodohan dalam makna “jahiliah” bukan hanya berkenaan dengan manusia berpendidikan rendah, tak sekolah, tetapi juga manusia berpendidikan tinggi: intelek, terpelajar tapi berakhlak jahiliah! Contoh nyata: penipu, pencuri, pungli, munafik, koruptor, hasad, khianat, iri, dengki, loba, rakus, tamak, zalim, zina, bengis, aniaya! Abu Jahal atau Pak Pandir (nama asli: Amru ibn Hisyam) adalah orang terpandang dan “intelektual” di kalangan kaumnya: kafir Quraisy! Pak Jahal orang terhormat dan berpengaruh. Hasad dan hasutnya dipakai benar oleh orang-orang yang memusuhi kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Kemiskinan, bukan hanya berkenaan dengan orang papa dan tak berpunya, tetapi juga berkenaan dengan orang kaya yang merasa miskin: terus-menerus haus harta, tamak, loba, serakah dan kikir! Duit negara, bantuan untuk pengungsi dan orang miskin dilahap: Abu Lahab! Pak Lahab orang kaya dan terpandang dalam masyarakat kafir Quraisy pada zaman Rasulullah.
Abu Jahal dan Abu Lahab, bukan cuma ada di dalam Al-Quran dan zaman Rasulullah belaka, tetapi juga di zaman Indonesia merdeka! Pak Abu memang banyak di negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa – atau sengaja tak mau – menarik garis pemisah antara hitam dan putih. Mereka berkelindan hidup di ranah abu-abu: ke hitam masuk, ke putih pun menyelinap! Rezeki abu-abu – subhat, tak jelas halal dan haram – disikat! Malah yang jelas haram pun diembat!
Pokok pangkal kesemuanya ini adalah karena: menafikan Tuhan Yang Maha Esa! Menafikan ajaran agama!
Tatkala sila pertama dari Pancasila saja diabaikan, tak akan pula sila lain terhayati dalam kehidupan sehari-hari. Buntut-buntutnya: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia – cuma mimpi! Kesejahteraan rakyat: melarat!
Akan halnya pengangguran, adalah buah dari ketidakadilan sosial, produk: pemimpin, pejabat, aparat jahiliah di negeri ini.
Tengah Mat Belatong melakukan refleksi, tiba-tiba nongol Ketuk alias Mat Ketumbi. Ia memang mencari sahabatnya Mat Belatong. Melihat rekannya nyerongkong di pinggir sungai itu, Ketuk bertanya,”Ente ncarik ape Jon?” Tanpa menoleh, Mat Belatong menjawab,”Nak nengok wajah kemerdekaan!”
Ketuk ngelakak tertawa. Kemudian ia berkata,”Kalau nak nengok wajah kemerdekaan bukan di tepi sungai ni Jon! Di sanak tu, di Istana Merdeka, di depan Kantor Gubernur, di Sungai Jawi nengok banci panjat pinang! Di banyak tempat, ibu-ibu maen bal pakai kaen sarong! Sampai tengah malam butak pon, maseh ade yang tepekek-kaong dengan suare bedeper bau nage: lombak karaoke! Tak peduli azan isyak, pekek-jeret pakai mik dengan musik lebam-lebum mengalahkan suare azan dan imam salat! Kenak pulak 17 Agustus 2007 ni bertepatan dengan bulan Syakban 1428 H. Amalan bulan Syakban: tanding maen remi, maen gaplek sampai suboh! Kemerdekaan udah dinikmati oleh seluroh lapisan masyarakat, Jon!”
Mat Belatong berdiri menatap sahabatnya. “Iyeke Ketuk!? Jadi abes Agustus ni tak ade agiklah kite nengok jeriken antre minyak tanah, pemulung dan pengemis? Tak ade agik orang misken, pengangguran, putus sekolah dan preman?” tanyanya.
Sambil tertawa Ketuk menjawab,”Kalau soal itu sih jalan teros! Entah bile berentinye!”
Mat Belatong menunduk sesaat, kemudian menatap langit dan berkata,”Aku merasa pilu Ketuk menyaksikan kegembiraan rakyat dalam merayakan hari proklamasi kemerdekaan ini. Sangat menyedihkan, bila permainan rakyat itu hanyalah kegembiraan sesaat untuk melupakan derita hidup yang tengah dipikul. Sesaat bisa melupakan utang yang belum terbayar, melupakan kepahitan hidup dengan penghasilan di bawah Rp 1 juta sebulan. Sesaat bisa tertawa, melupakan bahwa di rumah anak-anak hanya makan dengan lauk sepotong indomie yang diberi berkuah banyak. Sesaat bisa tertawa, melupakan diri tak punya pekerjaan, melupakan kemiskinan, melupakan bahwa: besok makan apa……….” ***
(Pontianak, 27 Agustus 2007).
Versi cetak dimuat Borneo Tribune (28/10)
Posted by MAT BELATONG at 6:52 PM 0 comments
Beda Pendapat adalah Rahmat?
Oleh: A.Halim R
DI NEGERI ini sangat banyak orang pintar dan ahli, payah dipungkiri. Bukan hanya yang duduk di kursi eksekutif dan legislatif, bahkan sampai kepada yang numpang duduk di kursi warung kopi! Demikian juga dalam hal mengeluarkan statemen dan fatwa.
Banyak pihak yang merasa paling berkompeten dan berkuasa dalam mengeluarkan fatwa. Sampai-sampai terjadi sesuatu pada Ramadan! Sepakat di awal, tak sepakat di akhir! Untuk menetapkan akhir Ramadan, dan bermulanya tanggal 1 Syawal, satu kaum memberikan fatwa berdasarkan “mata” (rukyat), satu kaum berdasarkan “otak” (hisab – hitungan kalender falakiyah). Semacam lagi: inkamur rukyat, yaitu metode rukyat dengan beberapa kriteria dan syarat yang berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Agama Indon eh INA, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.
Di antara ahli rukyat dan hisab itulah terdapat: rakyat dan tukang isap (rokok!). Bingung, mau ikut yang mana!?
Padahal untuk penetapan tanggal 1 Syawal (Idulfitri) ini: halal dan haram taruhannya! Tatkala satu pihak menetapkan hari Jumat tanggal 12 Oktober 2007 sebagai 1 Syawal 1428 H, maka pastilah “haram” orang berpuasa pada tanggal 12 Oktober itu.
Tatkala pihak lain menetapkan hari Sabtu tanggal 13 Oktober 2007 sebagai Hari Raya Idulfitri, niscaya “tidak benar” mereka yang sudah berbuka puasa pada tanggal 12 Oktober 2007 itu! Mereka harus membayar “utang” puasanya! Orang lain masih berpuasa, mereka sudah salat Id dan makan-minum.
Inkamur rukyat pun ternyata “kesepakatan” yang tak harus disepakati. Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam ternyata salat Idulfitri hari Jumat 12 Oktober 2007, sementara Menteri Agama RI dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) menetapkan Sabtu 13 Oktober 2007. Jauh hari sebelumnya Ketua Pengurus Pusat Muhammadiah – berdasarkan hisab – sudah mengumumkan tanggal 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Jumat 12 Oktober 2007.
Ada pula kabar, ada kaum di Indonesia yang melaksanakan salat Idulfitri hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Islam juga, yaitu antara lain: penganut Tarikat Naqsyabandiah di Padang (Sumbar) dan jamaah Majelis An-Nadzir di Gowa (Sulsel). Yang disebut terakhir ini berciri: jubah hitam, peci runcing dan rambut dipacar pirang! Penetapan Idulfitri dua kaum ini acuannya bukan rukyat bukan hisab, tetapi: kondisi alam!
Lebih seru lagi, penganut Tarikat Naqsyabandiah di Blitar dan Jombang (Jatim) salat Id pada hari Minggu 14 Oktober 2007. Patokannya terbilang “hisab” juga, yaitu memadukan kalender Islam dengan kalender Jawa! Entah kapan pula puasanya bermula! Nama tarikat boleh sama, isi kepala boleh berbeda!
Melihat gelagatnya bukan tak mungkin suatu ketika di Indonesia orang bisa menemukan Idulfitri berlangsung Senin – Minggu, atau Senin ketemu Senin. Yang sudah terjadi tahun 2007 M (1428 H) ini: Kamis – Minggu! Tinggal: Senin, Selasa, Rabu. Banyak paham, banyak ragam – banyak aliran, banyak penampilan! Adakah umat Islam Indonesia telah menjadi “artis” dengan prinsip: yang penting “different”, tampil beda!?
Untung saja masalah ini tidak sampai menimbulkan huru-hara!
Untuk menengahi, agar tak menimbulkan sengketa, entah siapa meluncurkan fatwa: beda pendapat adalah rahmat. Ungkapan lengkapnya: Perbedaan (pendapat) di antara umatku adalah rahmat.
Kalimat yang terakhir ini dinisbahkan sebagai: perkataan Nabi Muhammad Rasul Allah. Namun apa kata DR Muhammad Fuad Syakir dalam kitabnya “Laisa min Qaulin Nabi”. Mengutip berbagai pendapat dari sejumlah ulama ternama masa lampau, Fuad Syakir mengingatkan, kalimat tersebut bukanlah perkataan Nabi Muhammad, melainkan ucapan Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Al-Qasim lahir pada masa kekhalifahan Imam Ali bin Abu Thalib, meninggal pada tahun 107 H. (Bukan mustahil, ucapan Al-Qasim itupun telah “dipelintir” oleh entah siapa, sehingga bernada sebagai ucapan Nabi Muhammad. Lihat kata: di antara umatku – pen).
DR Muhammad Fuad Syakir mngutip pendapat Ibnu Hazam (kitab: Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam) sebagai berikut: Pendapat ini termasuk ucapan yang berpotensi paling merusak. Sebab, jika saja berbeda adalah rahmat, maka kesepakatan adalah murka. Sungguh ini tidak boleh diucapkan oleh seorang muslim. Pasalnya, hanya ada dua term (istilah, batasan): bersepakat atau berbeda, rahmat atau murka.
Al-Albani (kitab: Silsilah Al-Hadis Ad-Daifah Al-Mauduah) berkata mengenai masalah ini,”Perbedaan adalah perilaku tercela dalam syariat Islam. Yang wajib dilakukan adalah sebisa mungkin berupaya untuk terbebas dari kondisi tersebut. Sebab kondisi ini merupakan faktor lemahnya umat.
Adapun hadis sahih yang berkaitan dengan konteks masalah di atas, adalah hadis Al-Bukhari yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,”Aku pernah mendengar bacaan ayat (Al-Quran) seorang lelaki yang berbeda dari yang aku dengar dari Nabi. Aku kemudian lalu memegang tangannya, lalu menghadap Rasulullah bersamanya. Rasulullah berkata: Kalian berdua baik.”
Syu’bah berkata,”Aku menduga Rasul mengatakan: Janganlah kalian berselisih paham. Sungguh, terdapat kaum sebelum kalian yang berselisih paham, (akhirnya) mereka musnah.”
Di akhir penjelasannya DR Muhammad Fuad Syakir mengatakan: Perbedaan yang terlarang adalah sikap bermusuhan dan mencari-cari kesalahan. Sedangkan perbedaan pendapat mengenai suatu teori tidak dipermasalahkan. Oleh karena itu Rasulullah berkata,”Kalian berdua baik,” kepada Ibnu Mas’ud dan si lelaki pembaca Al-Quran, padahal keduanya berselisih paham dalam bacaan.
Mat Belatong dan Ketuk (sapaan akrab: Mat Ketumbi) bingung. Apakah penetapan akhir Ramadan (permulaan Syawal) yang berbeda itu termasuk: berselisih paham mengenai sebuah teori, berselisih paham dalam bacaan, yang dibolehkan?
Mereka tak mau ambil resiko, karena memang tak punya ilmu tentang hal itu. Rukyat tak mudah, hisab pun payah. Ada lembaga yang sangat berkompeten dalam hal ini yaitu: Departemen Agama RI, dan MUI. Mereka punya ahli yang cakap di bidangnya, sengaja dibentuk oleh Pemerintah RI, sengaja ditunjuk oleh kalangan ulama Islam di Indonesia. Depag dan MUI seyogianya yang paling pantas mengeluarkan fatwa untuk kalangan muslim di Indonesia, sehingga umat muslim tidak terombang-ambing di antara pendapat yang berbeda, tidak salat Id di dua, tiga atau empat masa. Umat Islam pun seyogianya tidak lebih fanatik kepada aliran atau organisasi massa daripada Departemen Agama dan Majelis Ulama! Begitulah kira-kira “impian” Mat Belatong dan Ketuk yang: pintar belom sampai, bodo dah lepas. Meski dengan kadar otak pas-pasan, bukan mereka tak berpikir tatkala melihat kenyataan: satu akidah, bersepakat payah!
Kalau sekadar Rahmat yang berbeda pendapat: lumrah. Ada Rahmad Sugandi, ada Rahmat Kalifah, ada Rahmat Barzanji, ada si Amat yang dah balik ke rahmatullah. Ada fardu ain, ada fardu kifayah, pemimpin berpilah, rakyat susah. Katak di bawah tempurung, ulama tak kompak umat bingung! ***
(Pontianak, 19 Oktober 2007).
versi cetak dimuat Borneo Tribune (21/10)
Posted by MAT BELATONG at 6:50 PM 0 comments