Selamat Datang di portal Mat Belatong

Thursday, November 1, 2007

Refleksi “Merdeka” versi Mat Belatong

Oleh A. Halim R

MAT BELATONG duduk mencangkung di sebuah batang kayu di tepian sungai. Batang tersebut jika dilihat dari bentuknya, mungkin sisa-sisa rakit kayu yang terbuang: sudah afkir, tak laku lagi.


Ia menatap permukaan air sungai yang mengalir tenang, tetapi keruh. Ia tengah mencari bayangan wajahnya sendiri di permukaan air itu. Ia tengah melakukan refleksi, mencari wajah “kemerdekaan” yang ada di dirinya yang telah berusia 62 tahun. Ia berharap bisa membaca apa yang mungkin terpantul lewat wajahnya di situ! Adakah pertambahan usia di wajahnya kian menampakkan kearifan, atau malah kian keriput dan menakutkan?
Namun ia tak menemukan wajahnya di air yang keruh kekuningan itu. Ia coba memasukkan tangannya sebatas siku ke dalam sungai. Apa yang terlihat? Telapak tangannya sendiri tak kelihatan! Air sungai sudah sangat keruh!
Niscaya telah terjadi sesuatu pada sungai, pada bumi Kalbar dalam jangka waktu 30 tahun terakhir ini. Dulu, masa kanak-kanak, bila ia mandi berlimbur dan menyelam di Sungai Kapuas, Sekayam maupun Melawi, kelebat kawan yang sama menyelam masih bisa terpandang dalam jarak 2 – 2,5 meter. Tatkala haus, tanpa ragu ia dan kawan-kawannya mencauk air dengan kedua tangan untuk kemudian meneguknya.
Kini sungai kian keruh mungkin akibat muka bumi termakan erosi, karena rimba kian lingkis. Diperburuk pula dengan pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang terus marak dan mengganas hampir di semua batang air dan pinggir sungai di daerah ini. Menyauk emas, menebar merkuri kian menjadi-jadi!
Mat Belatong ingat, pada tahun 2005 lalu seorang peneliti dari Universitas Tanjungpura Pontianak berteriak lantang: Sungai Kapuas telah tercemar merkuri di atas ambang batas!
Ironis, belum lama ini, peneliti yang sama berteriak lain: Sungai Kapuas bebas merkuri!
Mat Belatong terpaksa berburuk sangka: sebab pernyataan itu bertentangan dengan logika dan fakta! Adakah sang peneliti berhasil dirangkul dan “dijinakkan”? Sehingga meneriakkan: pesan sponsor berbau politis(?). Maklum, pemilihan gubernur akan berlangsung 15 November 2007. Isu kehancuran lingkungan dan merkuri bisa merusak reputasi kandidat incumbent kalau dimunculkan oleh kontestan lain! Ada pula yang berdalih: isu merkuri jangan dipambar, nanti wisatawan takut ke Kalbar! (Bahwa otak orang Kalbar akan betukuk dan labil macam air raksa, mungkin tak perlu dipikirkan!)
Sungguh aneh? Apa mungkin dalam waktu dua tahun lebih, sungai di Kalbar bisa bebas merkuri? Sementara semua orang tahu, jumlah mesin Dong Feng yang masuk ke Kalbar dan PETI makin bertambah dan kian marak dari tahun ke tahun!?
Terakhir, seorang peneliti lain dari universitas yang sama tanggal 23 Agustus 2007 berteriak lantang lewat media massa: Sungai Kapuas tercemar merkuri 40 kali dari batas normal. Di sepanjang Sungai Kapuas terdapat sekitar 2800 titik PETI! (Apa sudah termasuk yang ribuan juga di sepanjang Sungai Melawi? – pen)
Ditambahkankan pula oleh peneliti yang bernama Profesor Alamsyah Hasan Basri, bahwa setiap tahun masuk 30 – 40 ton merkuri dari Malaysia lewat perbatasan Kabupaten Sintang – Sarawak.
Mat Belatong termenung menatap sungai: ia mencari makna “merdeka” di air keruh itu!
Tentara Jepang dan Belanda yang memegang senjata, memang telah hengkang dari negeri ini. Tuan Honda, Tuan Takeda, spion Jepang yang berlagak “Mat Kodak” tahun 1940-an memang tak tampak lagi di Kalbar atau Indonesia. Kalau pun ada mungkin sebagai “Mat Kodak” turis mancanegara asal Jepon. Tapi berbagai produk Jepang merek Honda, Suzuki dll, memadati jalan dan supermarket di Indonesia!
Karena kebodohan, ribuan orang “dibunuh” Tuan Honda dan kendaraan produksi Jepang setiap tahun di Nusantara ini. Dulu (1944 – 1945) Jepang membunuh orang pintar di Kalbar, sekarang Jepang “membunuh” orang bodoh! Sementara Tuan Van Huis, Van Mock sudah lama mati.
Di sungai yang keruh itu Mat Belatong melihat, betapa bangsa ini terutama yang bermukim di daerah Kalimantan Barat: masih dijajah kebodohan, kemiskinan dan pengangguran!
Kebodohan dalam makna “jahiliah” bukan hanya berkenaan dengan manusia berpendidikan rendah, tak sekolah, tetapi juga manusia berpendidikan tinggi: intelek, terpelajar tapi berakhlak jahiliah! Contoh nyata: penipu, pencuri, pungli, munafik, koruptor, hasad, khianat, iri, dengki, loba, rakus, tamak, zalim, zina, bengis, aniaya! Abu Jahal atau Pak Pandir (nama asli: Amru ibn Hisyam) adalah orang terpandang dan “intelektual” di kalangan kaumnya: kafir Quraisy! Pak Jahal orang terhormat dan berpengaruh. Hasad dan hasutnya dipakai benar oleh orang-orang yang memusuhi kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Kemiskinan, bukan hanya berkenaan dengan orang papa dan tak berpunya, tetapi juga berkenaan dengan orang kaya yang merasa miskin: terus-menerus haus harta, tamak, loba, serakah dan kikir! Duit negara, bantuan untuk pengungsi dan orang miskin dilahap: Abu Lahab! Pak Lahab orang kaya dan terpandang dalam masyarakat kafir Quraisy pada zaman Rasulullah.
Abu Jahal dan Abu Lahab, bukan cuma ada di dalam Al-Quran dan zaman Rasulullah belaka, tetapi juga di zaman Indonesia merdeka! Pak Abu memang banyak di negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa – atau sengaja tak mau – menarik garis pemisah antara hitam dan putih. Mereka berkelindan hidup di ranah abu-abu: ke hitam masuk, ke putih pun menyelinap! Rezeki abu-abu – subhat, tak jelas halal dan haram – disikat! Malah yang jelas haram pun diembat!
Pokok pangkal kesemuanya ini adalah karena: menafikan Tuhan Yang Maha Esa! Menafikan ajaran agama!
Tatkala sila pertama dari Pancasila saja diabaikan, tak akan pula sila lain terhayati dalam kehidupan sehari-hari. Buntut-buntutnya: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia – cuma mimpi! Kesejahteraan rakyat: melarat!
Akan halnya pengangguran, adalah buah dari ketidakadilan sosial, produk: pemimpin, pejabat, aparat jahiliah di negeri ini.
Tengah Mat Belatong melakukan refleksi, tiba-tiba nongol Ketuk alias Mat Ketumbi. Ia memang mencari sahabatnya Mat Belatong. Melihat rekannya nyerongkong di pinggir sungai itu, Ketuk bertanya,”Ente ncarik ape Jon?” Tanpa menoleh, Mat Belatong menjawab,”Nak nengok wajah kemerdekaan!”
Ketuk ngelakak tertawa. Kemudian ia berkata,”Kalau nak nengok wajah kemerdekaan bukan di tepi sungai ni Jon! Di sanak tu, di Istana Merdeka, di depan Kantor Gubernur, di Sungai Jawi nengok banci panjat pinang! Di banyak tempat, ibu-ibu maen bal pakai kaen sarong! Sampai tengah malam butak pon, maseh ade yang tepekek-kaong dengan suare bedeper bau nage: lombak karaoke! Tak peduli azan isyak, pekek-jeret pakai mik dengan musik lebam-lebum mengalahkan suare azan dan imam salat! Kenak pulak 17 Agustus 2007 ni bertepatan dengan bulan Syakban 1428 H. Amalan bulan Syakban: tanding maen remi, maen gaplek sampai suboh! Kemerdekaan udah dinikmati oleh seluroh lapisan masyarakat, Jon!”
Mat Belatong berdiri menatap sahabatnya. “Iyeke Ketuk!? Jadi abes Agustus ni tak ade agiklah kite nengok jeriken antre minyak tanah, pemulung dan pengemis? Tak ade agik orang misken, pengangguran, putus sekolah dan preman?” tanyanya.
Sambil tertawa Ketuk menjawab,”Kalau soal itu sih jalan teros! Entah bile berentinye!”
Mat Belatong menunduk sesaat, kemudian menatap langit dan berkata,”Aku merasa pilu Ketuk menyaksikan kegembiraan rakyat dalam merayakan hari proklamasi kemerdekaan ini. Sangat menyedihkan, bila permainan rakyat itu hanyalah kegembiraan sesaat untuk melupakan derita hidup yang tengah dipikul. Sesaat bisa melupakan utang yang belum terbayar, melupakan kepahitan hidup dengan penghasilan di bawah Rp 1 juta sebulan. Sesaat bisa tertawa, melupakan bahwa di rumah anak-anak hanya makan dengan lauk sepotong indomie yang diberi berkuah banyak. Sesaat bisa tertawa, melupakan diri tak punya pekerjaan, melupakan kemiskinan, melupakan bahwa: besok makan apa……….” ***

(Pontianak, 27 Agustus 2007).

Versi cetak dimuat Borneo Tribune (28/10)

No comments: