tag:blogger.com,1999:blog-55085517592362793862024-03-05T18:24:56.730-08:00MAT BELATONGDari Kampung Paret Kalot Ribot tak jauh dari Kampung Paret GadohMAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.comBlogger44125tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-68377774348914831552007-12-04T00:24:00.000-08:002007-12-04T00:25:36.010-08:00Sirna Mufakat Hilang BulatOleh A. Halim R<br /><br /> ZAMAN dahulu kala orang-orang tua sudah mengenal peribahasa yang berbunyi: bulat air dalam pembuluh, bulat kata dalam mufakat. Air yang tak berotak itu saja bisa bulat kalau masuk ke dalam pembuluh, apalagi kata – yang muncul dari banyak mulut dan otak – bila dibawa ke dalam permufakatan: bisa menjadi bulat!<br /><span class="fullpost"><br /><br />Namun manusia masa kini, karena salah makan – termakan “reformasi” dan terinfeksi virus “demokrasi” – pepatah lama tak dipakai lagi. Atas nama “reformasi & demokrasi” yang dibawa angin “globalisasi” dari Barat, semua yang berbau lama walaupun peninggalan nenek-moyang, dianggap: basi, tidak trendy!<br /> Sampai-sampai otak pun jadi “blank” kena virus. Dalam keadaan seperti itulah “buih-buih di lautan” mudah terseret arus kemana saja. Ditambah pula ada yang memberi petuah sesat: beda pendapat adalah rahmat! Maka semakin suburlah perbedaan pendapat, semakin jauh dari: bulat kata dalam mufakat. Tak mau mufakat, tak akan diperoleh kata yang bulat. Yang tak bisa bulat itu: tempoyak! Malar nak meleber jak, padannye: henyakkan ke dalam tempayan!<br /> Entah karena ingin menuai rahmat – mungkin pula ditimpa laknat – akhirnya dalam senika hal kita selalu mengetengahkan: beda pendapat! Ngetrend pemeo baru: banyak kepala banyak pendapat! Sah-sah saja beda pendapat! Alhasil, beda pendapat yang mencuat! Tak pernah ingin mufakat untuk menghasilkan: kata yang bulat.<br /> Coba lihat kambing: bukan hanya kata – mbeekk – yang bulat mufakat, yang keluar dari pantat kambing pun bisa: bulat-bulat. Banyak orang yang berhitung memutar biji tasbih, pahadal kambing tak pernah berhitung memproduksi “biji tasbih”. (Maaf. Mungkin ini kata berlebih, jangan jadikan debat dan dalih, hanya ungkapan rasa sedih, keluar dari hati yang pedih! – pen). <br /> Berhadapan dengan situasi seperti ini, Ketuk alias Mat Ketumbi berkata,”Bagos kite tak bekepalak jak, jadi tak banyak pendapat! Barangkali bise gak kata menjadi bulat!” <br /> Mat Belatong terkejut dan membelalakkan mata kepada Ketuk. Tapi kemudian ia berkata,”Mungkin iye Ketuk. Kalau semue orang tak bekepalak, memang tak banyak omong agik, tinggal koroh jak keluar dari lobang tenggorokan!”<br /> Kini balik Ketuk yang bingung dan bertanya,”Biseke orang idop tak bekepalak, Jon?” Mat Belatong ngelakak tertawa. “Awak tengok jak batu babi di Nanga Sepauk Sintang tu! Tegal tak bekepalak lalu disebot batu babi, padahal awalnya bekepalak sapi, peninggalan Hindu zaman bahari!” jawab Mat Belatong. Ketuk mengangguk-angguk. Kemudian ia berkata seperti untuk diri sendiri,”Tegal tak berkepala, sapi lalu disebut babi. Jangan-jangan manusia ‘tak berkepala’ pun jadi babi juga!”<br /> Mat Belatong tekeruk-keruk tertawa. Ketuk tengah “tak berkepala”, lagi error! Dalam keadaan seperti itu “kesimpulan” yang dibuatnya pun sering absurd dan error!<br /> Bukan cuma Ketuk yang sering membuat kesimpulan error, sekarang pun banyak tukang buat kesimpulan yang membingungkan. Malah ada yang mengatasnamakan “survei”. Karena tergolong “tukang”, maka hasil survei pun bisa juga: tergantung pesanan! Tahun 1970-an di Kabupaten Sintang pernah terjadi: Satuan Pemukiman Transmigrasi di Mensiku terpaksa penghuninya “bubrah” ataupun dipindahkan ke lokasi lain, karena lokasi yang mereka tempati tak bisa dipakai untuk bertani! Lahan berpasir kwarsa! Padahal “layak” menurut hasil survei yang dilakukan jauh hari sebelumnya! <br /> Demikian juga yang terjadi dua hari sebelum Pilkada Gubernur Kalbar 15 November 2007 lalu. Tiba-tiba saja kabar terbaca, sebuah lembaga survei ekspos berita, tentang perimbangan suara di Pilkada, membuat rakyat bertanya-tanya. Rakyat jadi pambar dan bingung, karena kerja “tukang tenung”, hasil survei dilansir bergaung, rakyat pening kuping berdengung. Apa yang terjadi setelah itu, hasil survei sangat tak jitu, membuat pambar tak tentu rudu, untung rakyat tak beramuk-bertinju. Syukurlah rakyat sudah dewasa, ditempa musibah adu-domba, sudah letih bersilang-sengketa, menerima hasil Pilkada dengan legawa. Orang Kalbar pantas dipuji, tak mudah lagi diprovokasi, tak membabi-buta ikut politisi, aman dan damai dijunjung tinggi. Buruk kerja terima sendiri, banyak orang tak percaya lagi, hasil survei ditanggap apriori, tak perlu dipakai- dipedomani. Kini apa pun boleh dibeli, hasil survei maupun trofi, termasuk ijazah perguruan tinggi, piagam penghargaan apatah lagi. <br /> Waktu kandidat debat publik, ada telunjuk dilentik-lentik, itu selubung kampanye politik, muncul dari akal yang licik. Kalau awak bisa begitu, orang bisa lebih daripada itu, kalau semua macam itu, akan timbul haru dan biru. Orang lain tak macam itu, karena hati lebih bermutu, sportif dijunjung aturan dipandu, itulah demokrasi yang dituju. Sandrina Malakiano sampai menegur, karena awak tak pakai atur, awak bukan lagi bau kencur, tapi orang public figure. Mat Belatong rasa beramak muka, Mat Ketumbi mengurut dada, melihat tingkah begitu rupa, kenapa begitu kelakuannya. Sangat sukarkah bersikap sportif, semua aturan bukanlah fiktif, mengajak orang menjadi tertib, agar tak bertinju macam sidang legislatif. Kalau orang lain berbuat begitu, tak perlu awak meniru-niru, jaga perbuatan hati dan kalbu, tunjukkan contoh akhlak bermutu.<br /> Namun kembali kepada padah, banyak kepala banyak tingkah, bagai dah hilang akhlakul karimah, tokoh panutan dicari payah. Ulama-umara hampir serupa, bermain politik dalam arena, umat bingung nak ikut yang mana, tingkah-laku sama tak kena. <br />Tua muda sama tak beri, bertindak untuk senang sendiri, mabuk kepayang lupa mati, halal-haram tak ingat lagi. Rakyat pun krisis kepercayaan, karena terjadi krisis ketokohan, jalan pintas lalu dilakukan, rakyat memilih jadi demonstran. Huru-hara di seluruh negeri, perang dan demo menjadi-jadi, bencana alam di sana-sini, adakah itu yang dicari? <br /> Tuhan sudah beri peringatan, kalau tak sadar laknat dijatuhkan, ulama-umara mabuk sanjungan, rakyat pun bagai hilang ingatan. Mana ulama mana selebritis, payah dipilah payah ditapis, siraman ruhani membuat miris, hadirin menangis bagai histeris. Adakah itu histeria massa, hanyut orasi bersama-sama, baru sadar suatu ketika, karena petuah dai idola. Histeria massa orang kata, mabuk orasi terangsang rasa, banyak orang bisa laksana, termasuk Bung Karno: Ganyang Malaysia! <br /> Tatkala awak sujud bersunyi, tidakkah terasa Allah hadiri, air mata meleleh sendiri, mungkin itu lebih terpuji. Menangis bukan terangsang orang, melainkan diri sadar seorang, air mata berlinang-linang, kasih Allah sangat dikenang. <br /> Di akhir madah kami nak saji, Syair Sultan Syarif Matani, Raja Ketapang zaman bahari, pujangga piawai kocak berperi: <br /> Berjenis rupa serban dan songkok, ada ke kening ada ke tengkok, muda serupa tua yang bongkok, kaidah baru banyak ditokok. Penuh dan sesak di tepi parit, serban tersenget jubah mengeret, adalah juga rupa prajurit, ada yang rupa Jawa Pleret. Berbagai rupa jenis pakaian, putih dan hitam ada sekalian, hijau dan merah seperti bayan, tidak terkenal sangku dan rakyan. ***<br /> <br />* Syair Sultan Syarif: 643 bait (1895 M).<br /> (Pontianak, 28 November 2007).<br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-90406221209325684382007-11-26T01:11:00.000-08:002007-11-26T01:15:16.184-08:00Kisah "Nabi Baru" dan Jamaahnya<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgC0X-YKlrfgukA_kWXHqkvrBR6KpRQ1zgi70w8qFk831NeYBHkT75Y4eL6aqizEpRU4830uw3HdeestSa-5mYLWdeiVtNdQYXOKJhdK8s1KQn7UIN2UqTolSYIXK6LxNSP4bWhXJiU_fYb/s1600-h/Matbelatong.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgC0X-YKlrfgukA_kWXHqkvrBR6KpRQ1zgi70w8qFk831NeYBHkT75Y4eL6aqizEpRU4830uw3HdeestSa-5mYLWdeiVtNdQYXOKJhdK8s1KQn7UIN2UqTolSYIXK6LxNSP4bWhXJiU_fYb/s200/Matbelatong.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5137075047100456018" /></a><br />Oleh A. Halim R<br /><br /> PERTENGAHAN Oktober 2007 – usai puasa Ramadan 1428 H – negara Indon eh INA dihebohkan oleh kedatangan seorang “nabi baru” bernama Ahmad Mushaddeq yang meluncur lewat aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah! Kedatangannya disambut hangat oleh ratusan pengikut di Padang Sumatera Barat, dan Bogor Jawa Barat. Busana kebesarannya pun macam orang Barat: berdasi, berjas lengkap, bersepatu mengkilap, bersongkok hitam model khas Indonesia. Perawakannya tegap, wajahnya ada sedikit serupa: Saddam Husein mantan Presiden Irak!<br /><span class="fullpost"><br />Di Pasar Sungai Jawi, Sungai Bangkong, Parit Pekong, sampai ke Sungai Adong Pontianak, masyarakat pambar! Seorang bibi penjual sayuran di Pasar Sungai Jawi memprovokasi: Bagos kite keremos jak mukenye ramai-ramai, kan die tu bise ditengok, bise dipegang!<br /> Mat Belatong dan Ketuk alias Mat Ketumbi mengikuti dengan serius dan seksama berita kedatangan “nabi baru” lewat tayangan tivi. Mereka merasa aneh, berita yang berkenaan dengan “nabi baru” itu hanya gencar di layar Trans TV, sementara di stasiun tivi lainnya minim sekali, apalagi di suratkabar yang terbit di daerah ini. Adakah “nabi baru” Ahmad Mushaddeq itu hanya “teken kontrak” dengan Trans TV untuk membuat rekaman filem, atau melansir rekaman kamera video tentang dirinya dari tempat tersembunyi? Mungkin iya. <br /> Mat Belatong dan Ketuk berusaha memaklumi hal itu. Sebab Nabi Muhammad saja pada awalnya membaiat dan menyebarkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang tersembunyi. Kaum kafir Quraisy sangat ganas dan memusuhinya tatkala itu. Bukan seperti dai-dai kondang masa kini yang diundang ke sana-sini, sama sekali tak berhadapan dengan pihak yang memusuhi. Anehnya lagi ada khatib yang “ngomel” di mimbar masjid terhadap umat Islam yang sudah mau salat dan ikhlas masuk masjid! <br /> Apa yang dilakukan oleh Mushaddeq dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang disiarkan oleh Trans TV itu seperti sedemikian terbuka, bahkan seakan “menantang” dialog dan “debat” dengan para ulama Islam. Ketuk dan Mat Belatong penyandang gelar S5 (séngét, selembe, sepok, sekalor, selebor) merasa heran. Kemana para ulama terkemuka, kemana para ahli tafsir Al-Quran, dai kondang, dan “dai gaul” di negeri ini? Tak mampukah melakukan “debat terbuka” dengan Ahmad Mushaddeq? Adakah semuanya bertameng dan bersembunyi di belakang MUI (Majelis Ulama Indonesia). Padahal: untuk menetapkan hari Lebaran: beragam. Ngadap Mushaddeq: diam? <br /> Ketuk mencatat dari pemberitaan tivi, MUI tak bersedia melakukan dialog dengan “nabi baru” Ahmad Mushaddeq. Sejak awal Oktober 2007 lalu, MUI telah menyatakan: Al-Qiyadah Al-Islamiyah sebagai aliran sesat! <br /> Sedikit kecewa, Ketuk berkata,”Tak bisakah Mushaddeq itu dilawan dialog terbuka oleh pada ulama, ahli tafsir dan dai kondang kita, biar dia: KO, sekak-mat! Sehingga dia benar-benar merasa kalah dan bersalah. Para pengikutnya pun hilang kepercayaan terhadapnya, tak mau lagi ikut Mushaddeq, lalu kembali dengan sadar kepada ajaran Islam yang benar. Umat Islam yang imannya rapuh, bisa menjadi teguh! Zaman dulu saja, kusir pandai berdebat, konon pula para anbia, aulia dan ulama! Tidakkah untuk mengadakan debat terbuka itu tinggal konteks saja Trans TV.” <br /><br /> Mat Belatong menjawab,”Udah Ketuk, itu bukan takar kite mempercakapkannye. Nantik jadi salah pulak!”<br /> Ketuk sempat mencatat, beberapa “amalan” (praktik) yang dilakukan oleh pengikut AL-Qiyadah tersebut. Mereka mengucapkan “sahadat” (persaksian) yang berbunyi: Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Al-Mahdi Al-Maw’ud, saya bersaksi bahwa Anda Al-Masih Al-Maw’ud. (Baca secara lisani saja, jangan ditasdik dengan hati dan ditaati dengan fi’li – perbuatan – kecuali kalau mau jadi pengikut “nabi baru” Ahmad Mushaddeq! Pun maaf, kalau petikan kalimat “sahadat” ini ada kesalahan. Sebab Ketuk memang: agak pekak beruang, bukan pekak berduit! – pen).<br /> Tampak di layar tivi burok Mat Belatong: sang “nabi” dan pengikut yang dibaiatnya bersalaman bagaikan orang yang “berpanco”.<br /> Dalam cacatan Ketuk, Mushaddeq mengaku berpegang kepada Kitab Suci Al-Quran, tetapi tidak mengakui Al-Hadis (ucapan Nabi Muhammad selain yang tertera di dalam Al-Quran – pen). Mushaddeq mengaku bahwa Al-Quran sudah ada di kepalanya, ruh Al-Quran sudah turun kepadanya. Ia menakwilkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan semua ilmu tafsir. Mendasarkan ajarannya kepada ayat-ayat yang muhkamat (terang, jelas artinya) dan menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat (kurang terang dan kurang jelas artinya). Kecuali itu ajarannya berdasarkan rukyah (penyaksian mata jasmani) dan kasyaf (penyaksian mata ruhani), termasuk petunjuk lewat mimpi. “Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad juga menerima wahyu lewat mimpi,” demikian ucapan Mushaddeq yang dicatat Ketuk. Mushaddeq mengaku pula bahwa ia telah menerima “wahyu kenabian” sejak awal 2001, dan baru memproklamasikan diri sebagai “nabi” setelah enam tahun kemudian. Dewasa ini ia mengaku sedang berada pada “periode Al-Makkiyah” (periode ketika Nabi Muhammad menerima wahyu tatkala masih berada di Mekah, sebelum melakukan hijrah ke Madinah – pen). <br /> Mereka tidak salat lima waktu, melainkan hanya salat malam (qiyamul lail). “Nabi Muhammad baru salat lima waktu setelah 13 tahun, sejak menerima wahyu pertama,” ucap Mushaddeq yang dicatat Ketuk.<br /> Nurlaila istri Mat Belatong mengatakan bahwa ia mendengar berita di tivi, Ahmad Mushaddeq dan pengikutnya tidak membaca surat Al-Fatihah ketika salat.<br /> Menurut Drs M Zain Plt Kepala Taman Budaya Kalbar, ia mendengar lewat siaran tivi bahwa Mushaddeq dan pengikutnya hanya melakukan puasa selama tiga hari. <br /> Jumat 26 Oktober 2007 berita Trans TV menyebutkan bahwa dua jamaah Al-Qiyadah Al-Islamiyah masing-masing bernama Mujiono dan Mamat telah ditangkap polisi di Jakarta karena mengedarkan selebaran yang berisi penodaan terhadap agama. Salah seorang warga Cengkareng di Jakarta mengaku bahwa ia pernah ditawari untuk menjadi pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Dengan membayar Rp 700.000,- bisa masuk surga! (Duit “setoran ke surga” ini tidak jelas, apakah akan masuk kocek Mujiono atau Mamat, atau setoran ke kocek “nabi baru” Ahmad Mushaddeq – pen).<br /> Sebuah berita tivi mengabarkan pula bahwa Ahmad Mushaddeq yang kini berusia 63 tahun, pernah menjadi pelatih bulutangkis nasional (1971 – 1982), dan bukan berasal dari kalangan santri. <br /> Minggu 28 Oktober 2007 beberapa stasiun tivi memberitakan bahwa hari Sabtu 27 Oktober 2007, lima pengikut Al-Qiyadah menyatakan insyaf dan mengucap dua kalimat sahadat (pernyataan masuk Islam) di Masjid Al-Wustha Padang disaksikan oleh Ketua MUI Padang. Ketua MUI Padang mengimbau agar 3000 lebih pengikut aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah di Padang bertobat. Menurut Ketua MUI Padang, keberadaan aliran yang bernabikan Ahmad Mushaddeq itu terbongkar pertengahan Ramadan 1428 H lalu. Sabtu 27 Oktober 2007 itu pula masyarakat Islam di Pamijahan Gunung Bunder (Bogor) mengadakan demo teaterikal “membunuh nabi baru Ahmad Mushaddeq”. Mereka menolak tudingan bahwa Gunung Bunder sebagai pusat kegiatan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Sebab tak ada warga Gunung Bunder yang jadi pengikut Ahmad Mushaddeq. Mereka meminta agar polisi secepatnya menangkap H Salam alias Ahmad Mushaddeq itu.<br /> Juga pada hari yang sama 18 orang pengikut “nabi baru” di Kebon Jeruk Jakarta minta pengamanan ke Polsek Kebon Jeruk. Mereka ketakutan mendengar akan diserang oleh sebuah ormas Islam. Dua pengikut lainnya akan menyusul menyerahkan diri. <br /> Seorang warga di Kompleks Perumahan Sunrise Garden Jakarta Barat mengungkapkan, dalam praktiknya pengikut aliran Al-Qiyadah itu mengajak warga setempat masuk aliran mereka lewat SMS (pesan singkat telefon genggam). Kalau tak mau: dianggap musyrik (orang yang menyekutukan Allah atau penyembah selain Allah). <br /> Menurut pengakuan Hadi Pratikno salah seorang pimpinan Al-Qiyadah yang sudah ditahan polisi di Jakarta, pengikut aliran tersebut di Indonesia berjumlah sekitar 50 ribu orang. Mereka ada di Jogja, Batam dan beberapa kota lainnya di Indonesia.<br /> Senin 29 Oktober 2007, tivi Trans 7 memberitakan markas Al-Qiyadah Al-Islamiyah di Sidoarun (Sleman – Jogja) telah di serang oleh sebuah ormas Islam. Enam orang pengikut Mushaddeq telah ditangkap polisi, diamankan di Polres Sleman. Warga setempat mengaku keberadaan aliran itu telah meresahkan masyarakat sejak dua bulan lalu, dan diduga telah masuk ke wilayah tersebut sejak tahun 2005. <br /> Diberitakan pula bahwa markas Al-Qiyadah Al-Islamiyah di Desa Cimindal Bogor yang berupa sebuah vila lengkap dengan kolam renang telah ditinggalkan Mushaddeq dan para pengikutnya.<br /> Selasa 30 Oktober 2007, ramai tivi memberitakan: Senin malam 29 Oktober 2007 istri dan anak Mushaddeq dibawa ke Kantor Polda Metro Jaya. Istri “nabi baru” itu bernama Gin Kasan Harjo (nama asli: Waginem!). Dan pada malam itu juga Mushaddeq yang betapok entah di mana menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Ia digiring masuk ke Kantor Polda Metro Jaya tak menjawab sepatah pun pertanyaan wartawan. Rambutnya agak kusut tanpa songkok, ubun-ubun agak sulah, namun masih bisa tersenyum. Jas dan dasi tak tampak lagi. Empat dari 12 orang “sahabat nabi baru” itu tertangkap pula oleh polisi. Pada malam yang sama dua pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah ditangkap polisi di Surabaya. <br /> Di Bandar Lampung, anggota jamaah yang bernama Asmadi Asyikin dan Mustafa pun diamankan polisi. Di Cilacap, Surip Maliono dan istrinya Ida Farmawati bersama seorang jamaah lainnya digelandang ke kantor polisi. Pada hari yang sama markas Al-Qiyadah di Pancoran Jakarta digempur massa, enam orang jamaahnya diangkut ke Polres Jakarta Selatan. Di Padang, seorang pengikut Mushaddeq mengaku ikut aliran Al-Qiyadah gara-gara ikut pengajian di kantor mereka.<br /> Di tengah hiruk-pikuk berita penangkapan Mushaddeq dan para jamaahnya itu, Selasa 30 Oktober 2007 Lia Eden pemimpin aliran “kerajaan tuhan” yang mengaku dirinya jelmaan malaikat Jibril, keluar dari penjara! Ia yang yang meramu berbagai ajaran agama dan ingin melenyapkan ajaran Islam dari muka bumi, divonis dua tahun penjara oleh pengadilan di Jakarta Desember 2005 lalu. Kurang dari dua tahun ternyata ia telah bebas, dan pulang ke rumahnya di Jalan Mahoni Kelurahan Bungur – Cempaka Putih Jakarta. Kalau Mushaddeq mengaku dirinya sebagai “Al-Mahdi Al-Maw’ud” maka Lia Eden telah lebih dulu mengangkat anaknya yang bernama Abdurrahman sebagai Imam Mahdi!<br /> Keluar dari penjara Lia Eden mengatakan bahwa ia dan pengikutnya akan terus menjalankan keyakinannya. Dakwaan sebagai pembawa “aliran sesat” telah ia bayar dengan hukuman dua tahun penjara.<br /> Rabu 31 Oktober 2007, ramai tivi memberitakan: Lia Eden mengurung diri di kamar, tak mau ditemui wartawan dan menolak diberitakan secara luas. Sejumlah pengikut ajaran “kerajaan tuhan” yang berada di rumah Lia Eden, mau menerima wartawan dan menyatakan bahwa keyakinan mereka tidak berubah. Beberapa warga setempat mengakui, bahwa kembalinya Lia Eden ke lingkungan mereka tidak ada masalah. Sebab Lia Eden dan pengikutnya tak ada menghasut warga untuk mengikuti ajarannya. <br /> Tanggal 31 Oktober 2007, Polda Metro Jaya menetapkan Mushaddeq dan dua kawannya sebagai: tersangka penyesatan agama! <br /> Hari-hari selanjutnya pesawat tivi diramaikan dengan berita penangkapan dan penyerahan diri (minta perlindungan – pen) jamaah Al-Qiyadah Al-Islamiyah kepada polisi di berbagai kota dan provinsi di Indonesia. <br /> Ketuk dan Mat Belatong mengira-ngira, kalau Elia Khadam eh Lia Eden yang mengajarkan aliran sesat dan ingin menghapuskan agama Islam telah mendapat ganjaran dua tahun penjara, entah berapa pula yang diterima Mushaddeq. Mungkin di bawah 22 bulan, sebab ia “hanya” mengubah “sahadat rasul”, masih berkitab kepada Al-Quran dan tidak bertekad “memerangi” Islam. Mungkin reken-mereken hukuman ini pun telah dipikirkan oleh Mushaddeq sebelum memproklamasikan diri sebagai Al-Mahdi Al-Maw’ud. Boleh pikir, kalau mengaku “nabi” bisa mendatangkan deposito sekitar Rp 5 miliar saja (baik dari dalam maupun luar negeri), bukankah keluar dari penjara masih ada restan-nya untuk hidup berleha-leha? <br /> Ketuk dan Mat Belatong berpikir, Mushaddeq dan para sahabatnya termasuk orang “hebat”. Kalau benar mereka telah berhasil menyahadatkan – walau sesat – sekitar 50 ribu pengikutnya dari berbagai suku bangsa dan etnik di negeri ini, tentu dia punya strategi dan metode dakwah yang tinggi, pembicara yang piawai, punya pemahaman yang “hebat” – walau sesat – terhadap ayat-ayat Al-Quran! Apa tak “hebat”: mampu meyakinkan orang sebanyak itu untuk mengikuti ajarannya! Dari budak kecik sampai orang tua, dari mahasiswa, guru agama sampai pengusaha kaya!<br /> “Ente udah mbawak berape orang untok membaca sahadat masok Islam ke kantor agama, Jon?” tanya Ketuk kepada sahabatnya. Mat Belatong diam: merasa tersindir! <br /> Fatwa ulama dan tekanan fisik massa memang telah “mengalahkan” Lia Eden, Mushaddeq beserta jamaahnya secara jasmani, mungkin juga lisani. Namun adakah mereka benar-benar telah “terkalahkan” hingga ke hati nurani sehingga menerima Islam dengan penuh keikhlasan murni? Entahlah.<br /> Jumat 9 November 2007 malam, tiba-tiba Mushaddeq bikin “pambar” lagi di layar Metro TV. Bertempat di lantai dua gedung kriminal Polda Metro Jaya, dihadiri Pengurus MUI Pusat, Qurasy Shihab – ahli tafsir Al-Quran – dan wartawan, Mushaddeq bertobat! (baca: bertobat, bukan berobat! – pen). <br /> Dia mengucap dua kalimat sahadat: Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah.. Ia menyatakan: menarik seluruh pernyataan yang telah diucapkannya, dan akan terus berdakwah bersama para pengikutnya! Tak ada “debat kusir” Mushaddeq ditayangkan, mungkin memang ia tak ingin lagi berdialog apalagi berdebat. Ia hanya ingin ber-“tobat”, mungkin juga: berobat! Ia mengaku sebagai manusia biasa, bukan nabi atau rasul, hanyalah sekadar seorang dai! Tampak di layar tivi entah siapa-siapa berpeluk-pelukan mesra dengan Mushaddeq: bak menyambut orang pulang haji! Hilang cerita jadi Al-Mahdi Al-Maw’ud, balik mengakui: Muhammad Rasulullah!<br /> Adakah Mushaddeq ngeri juga dengan “ancang-ancang” hukuman 20 tahun penjara yang “diteriakkan” sementara manusia di Indonesia? Entahlah! Kalau dihukum dua tahun penjara: mungkin masih tahan juga bahu memikul, ada gunanya juga modal terkumpul! Kalau 20 tahun penjara: alamak, mungkin awak “gem” di penjara!<br /> Bagaimana dengan para jamaahnya?<br /> Lucu, tragis, ironis, miris! Ada jamaah di beberapa daerah di Indonesia yang ngotot: bersikukuh tetap mengakui Mushaddeq sebagai nabi, padahal “nabi”-nya sudah “membelot”. Sebagian lainnya mungkin: berbakul-bakul sumpah-seranahnya kepada “Wak Salam” suami Waginem. Ayo, siapa lagi menyusul mau jadi “nabi” atau, labi-labi? *** <br /> <br /> (Tulisan ini sengaja dibuat sebagai catatan, mungkin ada manfaatnya untuk menyambut Al-Mahdi dan “nabi baru” lagi – pen).<br /><br /> (Pontianak, 10 November 2007).<br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-69946202778007430042007-11-05T01:52:00.000-08:002007-11-05T01:55:17.617-08:00Pilkada dan MTQ XXII KalbarOleh A. Halim R<br /><br /> MAT BELATONG dan Ketuk (sapaan akrab: Mat Ketumbi) tengah terlibat dalam dialog terbatas berkenaan dengan “peta politik” di Kalbar dewasa ini yang kian memanas. Panas amat ndak juga, sebab rakyat kian dewasa.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Dengan sistem Pilkada yang masih berlaku dewasa ini – di mana kandidat disyaratkan harus diusung oleh partai politik – tampak parpol jadi komoditas penting. Bagaikan gadis cantik di “menara gading” (walaupun retak-retak!). <br /> Ironisnya, yang terjadi kini: bukan parpol yang memilih siapa yang pantas diusung naik pahar, tapi kandidat yang minta diusung. Kandidat yang melamar parpol, kandidat yang minta didukung jadi pemimpin. Tak peduli, resikonya: harus jadi “kuli kontrak”, menandatangani “kontrak politik” dengan parpol. Babak-belur keluar duit berpuluh-puluh miliar, bukan masalah. Sebab setelah duduk, duit tinggal diciduk dan ditangguk, untungnya jelas: minimal berpuluh kali tumpuk. <br /> Dalam “bisnis”, tak ada orang yang mau rugi. Pemeo “biar tekor asal kesohor” sudah ketinggalan zaman! Falsafah “balik modal pun jadi” membuat perusahaan: stagnant dan bankrupt! Bisnis ya bisnis. Menipu dan meracuni orang dengan permen, tahu, ikan asin, buih mulut ber-formalin, bukan masalah.<br /> Demikian juga dengan “bisnis politik”. Kandidat bukan cuma jadi “pancur duit” bagi DPD partai, tetapi juga jadi “bulan-bulanan” DPP partai.<br /> Dengan sistem Pilkada yang demikian ini, jelas: cost yang mesti dihamburkan oleh kandidat jadi membengkak. Belum lagi yang perlu ditaburkan untuk meraih simpati rakyat, baik dalam kampanye terselubung maupun terbuka. Babar-belur memang! <br /> Imbalannya – kalau sudah duduk di singgasana – niscaya: giliran rakyat yang babak belur! Duit proyek tak berketentuan, infrastruktur di daerah tak teperhatikan, dana pembangunan untuk kepentingan rakyat jadi korban! Keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat cuma impian. <br /> Padahal pada zaman Rasulullah dan kekhalifahan masa lampau: jabatan tak akan diberikan kepada orang yang meminta! <br /> Bukan apa-apa, Rasulullah takut si pemegang jabatan masuk neraka, rakyat sengsara dan teraniaya! Rasulullah atau khalifah yang memberi mandat: masuk hukum sebahat!<br /> Tapi itu cerita “zaman dulu” waktu neraka “masih ada”. Sekarang bukankah neraka “cuma ada dalam cerita”. Seberapa banyak sih orang di dunia ini yang masih berpikir tentang mati, apalagi mempercayai kehidupan setelah mati? Tatkala banyak orang menderita dan mati karena permen formalin: emangnya gua pikirin – kata produser.<br /> Di antara orang-orang “kuno” yang mempercayai “dongeng kehidupan dan kematian” itu adalah Mat Belatong dan Ketuk. <br /> Berkenaan dengan peta politik di daerah ini, Ketuk berucap,”UJ poligami Jon, teken kontrak kawen dengan 8 partai! Partai yang berkoalisi pon begitu gak: salome, satu lobang (duit) rame-rame!<br /> Mat Belatong yang “buta informasi” bertanya,”UJ tu ape, Ketuk? Mobel pekap burok yang ade merek UJ besak di depannye ituke? Mobel sebutik tu memang PD-nye kuat, biar burok: maseh sanggop merayap di jalan kota Pontianak!” <br /> Ketuk menggaruk-garuk kening tak gatal, kemudian berucap,”Iye UJ tu mobel pekap burok, LHK tu toko elektronik, OSO tu pompa bensin, IL tu illegal logging!”<br /> Ketuk berpikir, sungguh tak ada guna-gunanya orang menghadirkan berbagai media informasi di daerah ini bagi Mat Belatong. Tak dibaca dan didengarnya! Belum selesai Ketuk berpikir, tiba-tiba Mat Belatong berkata,”Ade faedahnyeke Ketuk, kite ni ngomong peta politik. Ndakke tadak kite omongkan pon, mesen politik tu jalan teros. Jangan-jangan kite pulak yang dilanyaknye!” <br /> Ketuk menjawab,”Pilkada 15 November 2007 mendatang, punye makna signifikan, Jon! Bukan cume pemilehan Gubernur Kalbar, tapi Walikota Singkawang gak, untok periode 2008 – 2013. Di pundak yang menang tertanggong sukses-tadaknye pelaksanaan MTQ XXII Tingkat Provinsi Kalbar tahun 2009 di Singkawang!”<br /> Sambil mengangkat kain sarungnya dan membuka kancing baju kokonya, Mat Belatong mengangkat dan mencangkungkan sebelah kakinya di kursi. Kemudian ia berkata,”Iyelah, kalau signifikan kate awak, tentulah maknanye penting. Apelagik tekaet dengan MTQ. Cume setan dan iblis yang mengharapkan pelaksanaan MTQ tu hancor-lebor!” <br /> Ketuk berkata dalam hati,”Disebot MTQ, nyambong pulak die!” Lebih lanjut Ketuk berkata lewat mulutnya,”Makenye Jon, momen Pilgub November 2007 ini penting. Sebab di tangan gubernur yang baru ini nantik tergantong berape besar dana yang dialerkan Pemprov Kalbar ke Singkawang untok pelaksanaan MTQ itu. Lebeh daripade itu, siape Walikota Singkawang yang terpileh pada Pilkada November 2007 ini, dielah yang mesti punye kreativitas tinggi dan keikhlasan besar untok penyiapan dana penyelenggaraan MTQ yang lumayan besar itu. Lelehan dana dari Pemprov sangat tak bise diharapkan: entah-entah mencapai sepersepuloh dari keselurohan dana yang diperlukan. Untok MTQ Tingkat Nasional Perguruan Tinggi se-Indonesia di Untan beberape waktu lalu jak, sampai saat pembukaan MTQ, duet dari Pemprov Kalbar belom keluar! Tapi itulah, walau pon dana besar belom tentu menjamin kesuksesan dan kesemarakan penyelenggaraan sebuah MTQ. Dana besar pon, kalau tapah melulu yang mengelolanye, atau salah perencanaan, bise jadi percume gak!”<br /> Ketuk beranjak ke dapur membawa gelas, untuk membuat kopi sendiri. Sebab yang tersisa di gelasnya cuma keredak kopi. “Sorry Mbok Laila, saye self service!”, ucap Ketuk kepada istri Mat Belatong yang tengah nyiang sayok keladi.<br /> Setelah duduk kembali di hadapan Mat Belatong, Ketuk langsung berkata,”Pelaksanaan MTQ XXI Tingkat Provinsi Kalbar di Putussibau Kapuas Hulu 2 – 10 Maret 2005 lalu, terbilang sangat baik dan sukses. Bahkan terhadap acara yang disuguhkan pada malam pembukaan dan penutupan, banyak yang berkomentar: spektakuler! Ada tarian masal, pesta kembang api, dan permainan sinar laser yang sebelumnya tak pernah terjadi di MTQ tingkat provinsi maupun nasional! Lebih dari 20-an mobil yang berisi kepala dinas dan instansi Kota Singkawang konvoi bersama ke Putussibau untuk menghadiri malam penutupan MTQ XXI itu. Mereka terkejut mendengar kabar bahwa acara malam taaruf dan malam pembukaan MTQ XXI itu, sangat memukau! Pelayanan akomodasi, konsumsi dan transportasi bagi para kafilah dari masing-masing kontingen, sangat perfek. Mereka ingin “belajar” dari Kapuas Hulu, sebab mereka yang bakal jadi panitia MTQ XXII kelak. Dan lebih terkaget-kaget lagi mereka setelah menyaksikan apa yang disuguhkan pada malam penutupan itu. Mereka masih berkomunikasi dengan publik lewat selembar spanduk dengan tulisan: Kota Singkawang Siap Menjadi Tuan Rumah MTQ XXII Kalbar. Padahal Putussibau telah berbicara kepada publik lewat tulisan sinar laser yang bisa disorotkan ke tengah lapangan, ke bumbungan kompleks mimbar tilawah, bahkan ke kumpulan asap pecahan kembang api di langit! Sebetulnya tak perlu ada lagi bentangan spanduk yang bisa membuat risih pemandangan di tengah fasilitas elektronik yang tersedia. Tinggal pesan saja kepada panitia, Singkawang mau titip pesan apa kepada publik. Tinggal diketik dalam sekejap di komputer, kemudian dibentangkan di lapangan lewat sorotan sinar laser. Ataupun bisa memanfaatkan dua layar besar infocus yang terbentang di kiri-kanan lapangan!” <br /> Mat Belatong ternganga dan terliur-liur mendengar cerita Ketuk. Liurnya belum sempat diseka, ketika Ketuk lebih lanjut berkata,”Akankah pelaksanaan MTQ XXII Kalbar di Singkawang tahun 2009 nanti diselenggarakan oleh Walikota Singkawang – Awang Ishak – bila ia terpilih kembali dalam Pilkada 15 November 2007 mendatang? Apa yang akan dibuatnya untuk MTQ tersebut, bolehkah kita berharap banyak kepadanya?”<br /> Mat Belatong menyeka liur dengan lengan baju kokonya, sementara Ketuk menghela napas panjang. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Pikiran menerawang: mengingat sosok Awang! *** <br /> <br /> (Pontianak, 20 Agustus 2007). <br />Versi cetak dimuat di Borneo Tribune, tanggal 4 November 2007<br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-26675305582950138732007-11-02T20:08:00.000-07:002007-11-02T20:09:54.907-07:00Babi Makan Ikut Kera<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFiVdLvnrgrEkI-EnH_8m5HPC8up_ZfY3gNHR2H5YjmcSz-HOAmoVjFHJCRPgq7FBf4Rd_qpFnxDHVCcJPUsawCL2E_GeNU_64ECm2xoY2Eb5PS97_iF5zbLaj-_BpJrHGmKYux-78NA3J/s1600-h/Matbelatong.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFiVdLvnrgrEkI-EnH_8m5HPC8up_ZfY3gNHR2H5YjmcSz-HOAmoVjFHJCRPgq7FBf4Rd_qpFnxDHVCcJPUsawCL2E_GeNU_64ECm2xoY2Eb5PS97_iF5zbLaj-_BpJrHGmKYux-78NA3J/s200/Matbelatong.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128446004914373906" /></a><br />Oleh A.Halim R<br /><br /> ADA SEBUAH pepatah lama Cina, yang kalau diterjemahkan secara bebas, artinya kurang lebih berbunyi: babi makan ikut kera!<br /> Kisahnya, nun di dalam hutan sana serombongan kera – bisa sampai 50-60 ekor – sedang merambah hutan mencari makanan berupa daun-daunan ataupun buah-buahan. Mereka berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Sejumlah induk kera tentu ada pula yang menggendong bayi yang bergantung di dadanya.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Di bawahnya – di tanah – berjalan pula rombongan babi mengikuti kera-kera di atasnya. Mereka mengharapkan buah-buahan sisa makanan kera yang dijatuhkan ke tanah! Kalau nasib untung, didapat pula buah-buah yang masih bagus dan masak, yang gugur sendiri tatkala si kera meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Rombongan babi ini pun ada pula yang anak-beranak. Kepada babi-babi muda sudah mulai diajar: bagaimana salah satu alternatif mencari makan! Kalau susah mencari makanan sendiri, ikut kera pun jadilah!<br /> Hidup dan mencari makan seperti ini, apakah tergolong kolusi, simbiosis, pemulung, tak perlu dipikirkan.<br /> Sebagai sebuah pepatah, tentu saja pepatah Cina di atas bukan untuk menyindir bangsa babi, melainkan menyindir bangsa manusia!<br /> Kalau kita mau mencermati kehidupan di muka bumi ini, maka ada manusia yang berperan seperti kera, ada pula yang berperan sebagai babi!<br /> Yang berperan menjadi kera antara lain mereka yang mencari makan pada jalur-jalur yang bertentangan dengan hukum, kaidah agama, etika, susila dan adat kebiasaan manusia beradab! Contohnya, membuka lapak judi, permainan biliar-ketangkasan terselubung, tempat prostitusi, kopi pangku, diskotek-karaoke plus, panti pijat terselubung, penyelundupan, illegal logging, PETI, penjualan miras, dan lain sebagainya.<br /> Di tempat-tempat seperti itulah banyak babi-babi menumpang mencari makan! Mereka bukan karyawan perusahaan tersebut, sebab para karyawan hanya tergolong monyet-monyet kecil peserta rombongan kera!<br /> Yang jadi babi – yang menumpang mencari makan di tempat-tempat serupa itu – bukan lain adalah sementara oknum aparat dan pejabat, baik ABRI, Polri, penegak hukum, PNS, preman dan lain-lain!<br /> Si kera pun termasuk “arif”, sadar bahwa pekerjaannya salah. Oleh karena itu, cincai-lah, bagi-bagi rezeki tak masalah. Setiap akhir bulan ia mengantar “ang pao” atau “sopui” kepada para petinggi. Setiap malam sedekah Rp 5 atau Rp 10 ribu kepada petugas patroli, tak masalah! <br /> Itulah budaya kera dan babi, yang telah merasuk ke hati hingga tulang sum-sum banyak orang di daerah ini, bahkan negara ini. Dan tentu masih ada beragam macam pekerjaan yang dilakukan babi di luar itu. Namanya juga babi – makhluk omnivora: pemakan segala – selain mencari makan ikut kera, tentu semua cara halal baginya untuk memperoleh makanan, terlebih untuk memperkaya diri sendiri. Apakah yang dilakukannya itu menyebabkan sendi-sendi hukum, ekonomi, sosial-budaya di daerah dan negara ini menjadi kropos, ia tak peduli! Karena banyaknya “babi” itulah Indonesia merupakan salah satu negara di muka bumi ini, yang menempati peringkat atas dalam hal korupsi, pun termasuk ranking dalam hal keberantakan akhlak! <br /> Seorang Brigjen Polisi bernama Nanan Sukarna – Kapolda Kalbar – telah menggumpalkan tekad Anti KKN ke hatinya, dan ia menyematkan Pin Anti KKN ke dada kanan pakaian seragam setiap anggota polisi di daerah ini. Ia ingin memberantas kelakuan babi!<br /> Ragukah kita kepada tekad Nanan yang demikian itu?<br /> Nanan tak perlu diragukan. Ia seorang lekaki yang keras dalam prinsip, lembut dalam berbicara, tegas dalam tindakan.<br /> Ia bertekad untuk membawa jajaran kepolisian di Kalbar keluar dari “zaman jahiliah”, seperti yang diungkapkannya pada Peringatan Ulang Tahun PWI Cabang Kalbar belum lama ini.<br /> Di tengah-tengah “budaya babi” inilah Nanan ingin berbuat. Tak bisa “memanusiakan babi” di seluruh strata sosial di daerah ini, di lingkungan kepolisian dulu pun jadilah. <br /> Ini pasti bukan pekerjaan ringan. Sebuah kebenaran mutlak dari Allah yang dipikulkan ke pundak Muhammad SAW saja, mendapat tantangan berat dari kalangannya sendiri: kaum jahiliah kafir Quraisy!<br /> Nanan tentu akan berhadapan dengan para Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sikat., Abu Sembat, Abu Belanat, Abu Peras, Abu Pungli, sampai Abu Gosok, baik dari kelas prajurit maupun kelas perwira di lingkungannya.<br /> Bukan hal yang gampang bagi seseorang untuk keluar dari “kebabiannya” untuk menjadi manusia baik-baik, orang yang berakhlak mulia. Tentu tak mudah untuk meninggalkan kebiasaan nyaman – tanpa merasa bersalah dan berdosa – melakukan pekerjaan menyimpang, memakan barang haram dan subhat!<br /> Namun sebuah tekad mulia yang dilakukan dengan segenap upaya, tanpa pernah putus asa, niscaya telah memperoleh ganjaran kebaikan dari Allah. Terlepas dari berhasil atau tidak.<br /> Jalan yang ingin ditempuh Nanan adalah: shirathal mustaqim – jalan yang lurus!<br /> Alangkah indahnya, bila dari hari ke hari barisan Nanan makin banyak pengikutnya, makin panjang shaf-nya. Barisan ini niscaya akan membuat risih, kian mempersempit gerakan dan sepak terjang “polisi Abu Jahal Cs” itu. <br /> Dengan pasukan takwa yang bersahaja, namun bertekad baja itulah pasukan Muhammad SAW bisa meruntuhkan kekaisaran Romawi di Konstantinopel di sebelah barat, dan menundukkan Persia di sebelah timur!<br /> Dengan pasukan yang ber-pin “Allah” di keningnya,”Muhammad” di dadanya, atau ber-pin rosario di dadanya, kita berharap barisan Nanan bisa membersihkan sifat “kebabian” di lingkungannya, dan memberangus “babi” yang berkeliaran di rimba kebiadaban! <br /> Sehingga tak ada lagi pemeo di tengah masyarakat: lapor kehilangan kambing, kerbau pun jadi hilang! Sehingga tak ada lagi ucapan meremehkan: selama ayam masih makan beras, gampang urusannya! <br /> Dalam sejarah pergantian pemimpin teras penegak hukum di daerah ini bukan rakyat tak bisa “membaca”, banyak di antaranya: pada awal masa jabatannya menggertak dan seperti benar-benar ingin menegakkan hukum. Namun setelah berkenalan dengan sikon Kalbar, ternyata semangatnya menjadi tapai!<br /> Sehingga karenanya, masyarakat sudah jemu mengucapkan pemeo lama: maklumlah sapu baru, belum kenal Kalbar dia!<br /> Dan bukan mustahil, gertak sambal demikian itu: ada udang di balik cabek! Maksudnya sekadar memproklamirkan diri kepada tauke-tauke kera, agar menoleh kepada dirinya. Agar datang kepadanya, berkenalan! Buntut-buntutnya: BMIK juga – babi makan ikut kera – ber-cincai ria, berkelindan menguras Kalbar! Sampai ada cerita: Pajero bodong (tanpa surat) asal Sarawak masuk container nyelonong ke Jakarta!<br /> Itu yang ketahuan, yang tak ketahuan tentu jumlahnya seperti pengidap virus HIV! Itu yang berbentuk mobil atau sepeda motor besar. Yang berbentuk duit wallahu alam bissawab. <br /> Sehingga di Nanga Pinoh ada perenggoh (pepatah) pelesetan: Tut wuri handayani, datang maik putut, pulang maik goni! Tut wuri handayani, datang membawa putut (bungkusan kecil), pulang membawa karung goni! <br /> Semoga saja yang demikian ini telah menjadi cerita lama dari sebuah negeri antah-berantah yang “jahiliah”.<br /> Dan semoga saja, Nanan tidak pernah menjadi “tapai” dalam hidupnya, melainkan seorang Bayangkara tulen, pengemban setia Tri Brata! Ia perlu didukung oleh seluruh jajarannya, sehingga kolom SMS suratkabar di daerah ini tak didominasi oleh SMS kepada Kapolda Kalbar!<br /> Rakyat mendambakan polisi yang memancarkan aura indah dari tubuhnya, menempuh jalan kebajikan dalam tingkah-polah hidupnya! Tugasnya menjadi ibadah, berbuah husnul khatimah di akhir hayatnya, jannah di hari akhiratnya! ***<br /> <br /> ( Pontianak 26 Januari 2006 ).<br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-48506556901207265412007-11-02T20:07:00.001-07:002007-11-02T20:08:17.248-07:00Untan Rasulullah dan Keledai NasruddinOleh A.Halim R.<br /><br /> SEKITAR 1400 tahun yang lalu, ketika rombongan hijrah Nabi Muhammad SAW pertama kali tiba di Yastrib (Madinah), beliau dielu-elukan oleh hampir semua warga Madinah. Semua mata menatapnya dengan penuh kerinduan, semua pintu rumah terbuka, berharap nabi yang mulia itu sudi menginap di tempat mereka.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Tapi ternyata Rasulullah tinggal di sebuah desa berjarak sekitar dua mil dari Madinah, yaitu di Desa Qubak. Di sinilah beliau mendirikan masjid pertama, yang hingga kini dikenal sebagai Masjid Qubak.<br /> Kemudian beliau menunggang untanya keluar. Para pemimpin kota Yastrib berusaha agar beliau mau berhenti, dan masing-masing mereka memohon dan menawarkan agar Rasulullah sudi menginap di rumahnya.<br /> Rasulullah menjawab permohonan mereka dengan berkata,”Biarkanlah unta ini berjalan sekehendaknya, karena ia diperintah oleh Allah.”<br /> Unta tersebut terus berjalan diikuti tatapan mata para penyambut. Semuanya berharap agar unta itu berhenti di depan rumahnya. Orang-orang itu mengikuti dengan rasa penasaran.<br /> Akhirnya sampailah unta itu di sebuah tanah kosong di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di situlah ia berhenti dan duduk. Tapi Rasulullah tidak segera turun.<br /> Tak lama kemudian unta itu memang bangkit lagi dan terus berjalan. Beliau melepas tali kendalinya. Belum jauh berjalan, ternyata unta itu balik lagi dan duduk di tempat semula.<br /> Tak terkirakan kebahagiaan Abu Ayyub Al-Anshari, dia segera mendekati Rasulullah dan menurunkan barang-barang beliau, membawa masuk ke rumahnya.<br /> Sekitar 600 tahun yang lalu, seorang tokoh legendaris Turki – Mullah Nasruddin Affandi – bepergian naik keledai. Ia menunggang keledainya dengan punggungnya menghadap ke depan. Orang-orang yang menyaksikan hal itu berkata,”Mullah, cara Anda duduk menunggangi keledai Anda salah!”<br /> “Tidak,” bantah Mullah Nasruddin,”ini posisi keledainya yang salah!” <br /> Awal tahun 2006, tokoh kontroversial dari Kampung Paret Kalot Ribot Pontianak – Mat Belatong – naik sepeda motor bertiga dengan istri dan cucunya. Cucunya yang berusia 4 tahun duduk di depan, Mat Belatong duduk paling belakang. Dan Mat Belatong bukannya menghadap ke depan, tetapi menghadap ke belakang, seperti yang dilakukan oleh Mullah Nasruddin! <br /> Di sepanjang jalan, orang berteriak,”Oii Belatong, nak mampos ke ape!? Kalau awak jatok, orang laen jadi kalot ngangkot awak ke romah saket!”<br /> Sampai di Mall Mataso (mataso: matahari, bahasa Dayak Taman Kapuas Hulu! Orang Bugis tak perlu heran), mereka parkir.<br /> Si Toing tukang parkir bertanya,”Bang Mat, ngape pulak Bang Mat beragam macam ini? Pantaslah orang tepekek-kaong!” <br /> Sambil menggantungkan helem kerupuknya di stang motor, Mat Belatong menjawab,”Ing, kalau semue kamek ngadap ke depan, siape yang nengok ke belakang kalau ade jambret, atau ade yang khianat meradak dari belakang!? Aku ni membawak cucuk, budak kecik!”<br /> Setelah berbincang-bincang sebentar dengan tukang parkir itu, Mat Belatong meninggalkan Toing, mengejar istri dan cucunya yang dah bedebu masuk ke Mall Mataso. Ini tentu karena ulah cucu Mat Belatong. Sebab budak itu kalau dah ke mall, dibuatnya macam rumah sendiri, dijadikannya tempat bermain. Di dalam mall, Mat Belatong kehilangan jejak karena orang begitu ramai. Ia naik eskalator ke lantai dua, tapi tak dapat menemukan cucu dan istrinya. Lalu naik ke lantai tiga, begitu juga keadaannya. Kemudian ia balik lagi ke lantai dasar, juga batang hidung istrinya tak ditemukan.<br /> Akhirnya, begitulah ia turun-naik berkali-kali lewat eskalator di Mall Mataso.<br /> Beberapa pria yang berdiri di pangkal eskalator itu berkata,” Bapak ini macam anak saye gak, suke turon-naek eskalator. Tanggak bejalan ni dibuatnye jadi maenan ! Kalau tadak diturotkan die nanges!” <br /> Di tangga itu memang terlihat beberapa anak usia 4-5 tahun yang turun-naik di eskalator tersebut. Di bawahnya tampak menunggu beberapa pria, yang sudah pasti ayah bocah tersebut. Ibunya mungkin sedang berbelanja. <br /> Seorang dari pria itu berkata,”Benarlah kata Al-Quran, orang kalau sudah tua kelakuannya bakal kembali lagi menjadi budak kecik, kekanak-kanakan, naif ! Contohnya Bapak ini, suke turon-naek eskalator macam budak kecik!” <br /> Mat Belatong menahan rasa mendengar perkataan itu. Di dalam hatinya ia berkata: Inilah contoh manusia yang berkata seenaknya, berdasarkan apa yang dilihatnya, berdasarkan apa yang tersurat di matanya! Ia berani mengeluarkan komentar, bahkan dengan dalil Kitab Suci, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!”<br /> Mat Belatong yang sudah banyak makan garam tanpa yodium dan beragam zat pengawet makanan seperti formalin dalam hidupnya, diam saja.<br /> Seandainya saja, pada cerita Rasulullah di atas, Nabi Muhammad SAW hanya berkata,”Biarkanlah unta ini berjalan sekehendaknya,” bukan mustahil orang seperti itu akan berkata,”Mengapa pula Nabi mengikuti kehendak unta!? Kalau begitu kita pun mengikuti unta sajalah!?” <br /> Padahal, walau cuma sepotong kata itu yang diucapkan Rasulullah, tak terlihatkah ada kebijaksanaan yang indah di dalamnya? Betapa Rasulullah tak ingin memilih sebuah rumah pun untuk beliau menginap atas kehendak beliau sendiri. Beliau tak ingin melukai hati semua orang-orang Anshar yang mencintai dan mengelu-elukannya. Biarlah unta saja yang memilih, di mana ia mau ditambatkan. Apakah itu di sebuah rumah bagus atau gubuk reyot. <br /> Betapa pula komentarnya terhadap cerita Mullah Nasruddin Affandi di atas!? Bukan mustahil cap “bodo-bale” langsung dilontarkannya kepada tokoh arif yang jenaka itu.<br /> Tak tahu dia, kalau apa yang dianggapnya “bodo-bale” itu oleh UNESCO – sebuah lembaga di bawah naungan PBB – diberikan perhatian secara khusus. Perhatian yang diberikan UNESCO terhadap tokoh legendaris yang fenomenal itu sesungguhnya perhatian yang cukup langka, terutama bagi tradisi sufisme. Ini menandakan Mullah Nasruddin sudah menjadi milik berbagai bangsa, melintasi batas kultur dan agama!<br /> Capek naik-turun eskalator, akhirnya Mat Belatong memilih menunggu di pintu keluar mall, duduk di pinggir tangga. Melihat beragam model manusia, busana, tingkah orang yang keluar-masuk mall tersebut, kepalanya jadi pening!<br /> Akhirnya ia memilih berjalan ke Kompleks Pasar Sudirman. Kepada Toing tukang parkir ia berpesan,”Ing, kalau mbok kau nak balek, suroh tunggu jak sebentar!” <br /> Tengah berjalan di pasar tersebut, tiba-tiba ada yang menimpukkan barang ke pundak Mat Belatong. Entah ditimpuk orang dari lantai atas ruko, entah ditimpuk orang dari atas truk yang banyak lalu-lalang di situ, ia tak tahu. Atau memang ada orang yang mengikuti dari belakang, menimpakan barang tersebut ke pundaknya? Bukan mustahil.<br /> Barang itu berupa karung plastik, bekas karung beras merek “SMS”, jatuh dan betenggek di belakangnya. Agak terbungkuk Mat Belatong “memikul”-nya.<br /> Ia meminggir ke trotoar, dan menurunkannya dari pundaknya. Beberapa orang yang menyaksikan perbuatan Mat Belatong itu bertanya, “ Ape bende tu Pak?”<br /> ”Itulah, aku pon tak tahu. Inilah aku nak nengok, ape bende yang dilemparkan orang ke pundak aku ni!” jawab Mat Belatong.<br /> Setelah dibuka, ternyata isinya: naif, dosa dan bejat! Semua yang menyaksikan tertawa, termasuk Mat Belatong sendiri.<br /> “Ape pasal orang melempar bapak dengan bende macam ini?” tanya orang-orang itu.<br /> “Aku pon tak tahu, mungkin gak orangnye tak kuase agik nyimpan bende macam ini di romahnye, ataupon die dah leteh mikolnye! Lalu dilemparkannye ke aku, disurohnye aku mikol!” jawab Mat Belatong. Orang kembali ngelakak tertawa.<br /> Kemudian karung itu diikat kembali oleh Mat Belatong, lalu dipikulnya. Kalau dibiarkan di trotoar tentu akan mengotori tempat tersebut.<br /> Tiba-tiba melintas Bujang Kambeng kawan Mat Belatong, naik sepeda motor. Melihat Mat Belatong terbungkuk-bungkuk memikul karung tersebut, Bujang Kambeng berteriak,”Ape ente pikol tu Jon!?“<br /> Tak kalah nyaringnya Mat Belatong menjawab,”Naif, dosa dan bejat!”<br /> Bujang Kambeng yang PNS itu terus berlalu karena lalu-lintas cukup ramai, dan orang-orang yang mendengar jadi tertawa. Mat Belatong tak peduli.<br /> Sampai di sebuah bak sampah, Mat Belatong menurunkan karung tersebut dan memasukkannya ke dalam bak tersebut.<br /> Beberapa orang pemulung, menyaksikan perbuatan Mat Belatong itu. Beberapa langkah Mat Belatong beranjak meninggalkan tempat tersebut, para pemulung langsung “menyerbu“ dan berebut membuka karung itu. Setelah dibuka, mereka ketawa terpingkal-pingkal sampai telior-lior sambil berkata,”Celake, rupenye orang itu membuang naif, dosa dan bejatnya!”<br /> Mat Belatong mendengar, tapi ia diam saja. <br /> Kembali ke Mall Mataso, ternyata istri dan cucunya nongol di pintu keluar.<br /> Pulang ke rumah, Mat Belatong yang memegang stir, sedangkan istrinya duduk di belakang. Kepada Toing yang memandang heran, ia berkata,”Ing, tadik aku dudok ngadap ke belakang, sekarang kamek semue ngadap ke depan. Sebab waktu pegi tadik aku dah tahu bahwa jalan ini aman, balek pon tentu aman gak!” ***<br /> <br /> ( Pontianak, 20 Januari 2005 ).<br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-455069630055115492007-11-02T20:05:00.000-07:002007-11-02T20:06:24.237-07:00Negeri yang Disumpah KeraOleh A. Halim R<br /><br /> KATA “reformasi” telah menjadi nasi, kalau bukan menjadi bubur. Jadi makanan sehari-hari. Namun apa hasilnya!? Adakah ia menyehatkan fisik, mental & spiritual, memperindah ruhani & jasmani pemimpin maupun rakyat di negeri ini!? Di Irian, ada yang mati kelaparan karena “makan reformasi”!<br /><span class="fullpost"><br /><br />Senyatanya, reformasi membuat banyak orang ingin menjadi Pak Dewan dan Sengkumang!* Ramai-ramai orang berebut: naik pahar! Tempurung pun ingin naik pahar. Tak dapat pahar besar, pahar kecil pun jadilah! Ini baru iya!<br /> Reformasi yang membuahkan otonomi daerah itu telah menciptakan raja-raja kecil di daerah, terutama di tingkat kota dan kabupaten! <br /> Celakanya yang di kabupaten – mentang-mentang punya wilayah yang luas – setelah naik pahar lalu menjadikan dirinya sebagai: tuan tanah, tuan rimba! Tak sanggup melahirkan ide brilian dan program jitu yang mendasar, lalu menempuh jalan pintas yang instan: tebang hutan! <br /> Bumi dipetak-petak, rimba dibagi-bagi, hutan ditebang dengan dalih: untuk kesejahteraan masyarakat! Tauke oportunis diajak sebahat, rimba dibabat untuk kepentingan sesaat, berpedoman kepada ayat pamungkas: aji mumpung! Tak peduli hal itu akan mewariskan kemiskinan dan malapetaka untuk generasi mendatang!<br /> Mat Belatong berdiri di atas cadas puncak Bukit Kelam di Sintang. Tiada lagi pepohonan di situ, tinggal batu hitam keras, seperti tempurung kepala kering yang disalai! Telah sirna mata air, telah punah kantong semar (Nepenthes) dari jenis spesial: berbentuk botol!<br /> Mat Belatong memandang berkeliling, hingga ke tapal batas wilayah Kabupaten Sintang (kini sebagian telah menjadi Kab Melawi).<br /> Hatinya bagai teriris sembilu menyaksikan pemandangan yang dilihatnya. Sangat memilukan.<br /> Sebuah gelora hati membuncah dari dadanya, melahirkan teriakan:<br /> Aku Mendengar dan Akulah Saksi!<br /> Aku mendengar tangis rimba, aku mendengar tangis bumi, aku mendengar tangis sungai dan danau. Aku mendengar lengkingan terakhir dari banyak satwa tatkala mengakhiri hidupnya!<br /> Akulah Bumi Kalimantan, yang kini harum rimbanya telah berganti dengan bau bensin dan solar. Yang kini bisikan anginnya telah berganti dengan deru chainsaw dan logging truck. Yang kini kemurnian airnya telah tercemari lumpur dan merkuri.<br /> Yang kini buminya hancur sia-sia.<br /> Akulah Bumi Kalimantan yang teraniaya, demi kerakusan dan kehausan harta sebagian manusia!<br /> Kusaksikan!<br /> Kini negeriku berbenteng tembok kebohongan, bermahligai ketamakan dan keserakahan, bermenara dengan kezaliman dan aniaya, berhiaskan lampu warna-warni cinta dunia!<br /> Telah roboh pilar-pilar ketauhidan yang dibangun oleh datuk-moyangku. Telah hancur kampung halaman yang dibangun dengan rasa cinta, telah sirna tembawang kebersamaan, telah tiada lagi ladang kasih sayang. <br /> Kini.<br /> Tiada lagi kicau murai dan cucakrawa, tiada lagi nyanyian kelempiyau pagi hari.<br /> Kicau munafik dan maksiat ada di mana-mana, nyanyian tipu muslihat merasuk anak negeri!<br /> Inilah bumiku, inilah negeriku, inilah tanah tumpah darahku!<br /> Mat Belatong terduduk, kemudian terkapar telentang setelah melepaskan kekecewaan yang membuncah dan menggelegak di dadanya.<br /> Air matanya meleleh, seperti air mata kera yang akan disembelih, seperti air mata monyet yang batok kepalanya akan dibuka untuk diambil otaknya guna memenuhi kerakusan orang-orang kaya di restoran-restoran terkenal di Hongkong dan lain tempat di dunia!<br /> Air mata seperti itu pula yang meleleh dari mata banyak satwa yang habitatnya dimusnahkan, yang rumah dan gudang makanannya diroboh dan digusur oleh nafsu angkara manusia!<br /> Pemusnahan rimba, pemusnahan habitat margasatwa, pemusnahan gen (ciri kehidupan), <br />pemiskinan sumber daya alam, telah dan terus berlangsung tanpa kendali dan pedoman. Semua ingin menjadi pencuri bilamana ada kesempatan. Baik dia aparat pemerintah, aparat keamanan, aparat penegak hukum, serta tauke-tauke kere maupun kaya!<br /> Larangan Allah, agar manusia tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi, dikalahkan oleh ketajaman mata gergaji mesin, dikalahkan oleh berkarung-karung duit, dan kehausan agar rekening bank terus terisi dengan transfer duit dari segenap penjuru! <br /> Tatkala sebuah pohon tumbang, beratus anakan bibit tumbuhan luluh dan remuk tertimpa, beratus satwa baik serangga sampai pukang, trenggiling dan lain-lain mati terhempas dan terhimpit karenanya.<br /> Adakah kenikmatan, kekayaan, dan kemuliaan yang diperoleh dari perbuatan aniaya bakal kekal selamanya!? Niscaya tidak! <br /> Ada Tuhan kan? Dia ada bukan karena Anda percaya, dan mengadakan-Nya! Dia bukan penaka patung Lata dan Uzza yang dibuat dan disembah oleh kafir Quraisy masa lampau! Dia Maha Zat Yang Niscaya Ada (Zat Wajibul Wujud), meski Anda tak mempercayai dan meniadakan-Nya. Dia Maha Besar bukan karena Anda membesarkan-Nya, Dia tidak kecil walaupun Anda mengecilkan dan menyepelekan-Nya! Dia Al-Muhayimin: Maha Pengamat yang selalu menyaksikan!<br /> Dia: Al Haq – Maha Kebenaran – Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya. <br /> Pun Dia Ar-Rahman: Yang Maha Pengasih kepada sekalian makhluk-Nya. Namun Dia juga Al-Muntaqim: Sang Pembalas dosa dengan siksaan!<br /> Bukan Allah tak menyaksikan tangis kera, bukan Allah tak merasa getaran kepedihan dari satwa yang teraniaya.<br /> Air mata kera menetes ke “hadirat” Allah, duka nestapa seekor kera niscaya menyentuh Arasy Tuhan!<br /> Saksikan!<br /> Sumpah kera telah datang, menghunjam para pejabat, aparat, tauke durjana! Tak tampakkah, bahwa para “orang mulia” pembabat hutan telah gemetaran ketakutan, telah jantungan, sementara yang lain telah masuk kerangkeng bagaikan kera di kandang binatang!<br /> Saksikan wahai insan: harimau mati meninggalkan belangnya, manusia mati meninggalkan curriculum vitae : riwayat hidup-nya!<br /> Orang bijaksana, ingin “mati berkafan cindai”: mati dengan nama baik penuh kehormatan. Orang durjana niscaya: mati berkafan kenistaan, meninggalkan nama dan sejarah busuk! <br /> Namun itu, belumlah seberapa. Menolong seekor lalat, Al-Ghazali diganjar surga. Betapa pula menganiaya, membunuh, memusnahkan flora & fauna makhluk Allah, menimbulkan kerusakan di muka bumi!? <br /> Dia ada – dipercayai atau tidak – Dia Al-Muntaqim: Sang Pembalas dosa dengan siksaan! Di dunia bisa berupa peringatan, cobaan bahkan azab, di akhirat sebuah keniscayaan: lebih dahsyat! <br /> Sumpah kera telah menimpa sebuah negeri: berhuma langkar, di romah kenak sampar, turon ke aik ditangkap boyak, ke rimbak dipantok ular!<br /> Makna sumpah kera dalam bahasa Sintang itu adalah: berladang gersang, di rumah kena penyakit sampar, turun ke air ditangkap buaya, ke rimba dipatuk ular!<br /> Tatkala sumpah duka naik ke langit, Allah menumpahkannya ke bumi, mengenai seluruh penghuni negeri itu kalau tak ada lagi orang alim di situ yang dikasihi Allah. <br /> Saksikanlah, berhuma langkar : telah mulai terjadi, dengan serangan hama belalang kembara! Di romah kenak sampar : api dan virus pelbagai penyakit bakal bersimaharajalela! Turon ke aik ditangkap boyak : karena buaya telah punah, tunggu saja bencana lewat merkuri! Ke rimbak dipantok ular : karena rimba dan ular telah langka, lihat saja kebohongan, hasad, iri-dengki, fitnah dan perkataan berbisa ada di mana-mana! <br /> Inilah negeriku, tanah tumpah darahku! ***<br /> <br />* Gila pangkat, gila pujian.<br /> Pontianak, 13 April 2004 – 29 Desember 2005 ).<br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-47665827577325647502007-11-02T20:04:00.001-07:002007-11-02T20:05:20.042-07:00Minyak Angin Pelampong<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqgMyeIyGj_fVp2OZnCgxHflruBsKsLnkSC6fgbxgBznXpxZaMXAd-PsN9Gvl2vJy4IpVM6DQMhbqglu2sb1H6cyeh5jgVLzYlmOdDy2zYloQEMBR26Sowap38QyalX0JEZ1G1OHIqOZJL/s1600-h/Matbelatong.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqgMyeIyGj_fVp2OZnCgxHflruBsKsLnkSC6fgbxgBznXpxZaMXAd-PsN9Gvl2vJy4IpVM6DQMhbqglu2sb1H6cyeh5jgVLzYlmOdDy2zYloQEMBR26Sowap38QyalX0JEZ1G1OHIqOZJL/s200/Matbelatong.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128444823798367490" /></a><br />Oleh A.Halim R<br /><br /> BEBERAPA tahun silam, di pelampung penyeberangan Jalan Bardan Pontianak, terdapat sebuah reklame unik berbentuk botol besar: botol miyak angin! Botolnya genting di tengah. Tegal reklame ini di kakilima dan pasar Pontianak, timbul pemeo: minyak angin pelampong! Ini menambah jumlah pemeo yang telah ada sebelumnya: angin pokol angin! <br /><span class="fullpost"><br /><br />Orang Kapuas Hulu yang lalu-lalang dengan motor bandong ke Pontianak, ada yang menyebut minyak angin jenis itu sebagai: minyak gontin! Minyak (berbotol ) genting! Dan ini pun telah menambah pemeo lama yang sudah ada: tin-tin telinga tikus, biar gontin anang putus! Ting-ting telinga tikus biar genting jangan putus!<br /> Dan pemeo “minyak angin pelampong” serta “angin pokol angin” sering benar diucapkan Mat Belatong ketika mematikan tivinya bila menyaksikan segala macam dialog yang ditayangkan di layar pesawat tivi! Dan masih ditambahnya lagi dengan kalimat,“Membuat kepalak pening jak!” <br /> Sikap Mat Belatong yang demikian ini mungkin mewakili sebagian masyarakat Indonesia yang sudah jemu “makan omongan dan pidato”! Sudah jemu menyaksikan adegan “silat lidah”, yang buntut-buntutnya: angin pukul angin juga! Dan celakanya orang lain disuruh untuk mendengar! <br /> Kini, meskipun reklame “minyak angin pelampong” telah roboh, namun budaya yang ditinggalkannya makin marak! Budaya “minyak angin pelampong”: botol besak, isik tadak! Bahkan tampaknya dijadikan oleh sebagian orang sebagai modal untuk meraih kursi merek “Sengkumang”*<br /> Tak salah bila ada orang luar negeri berkata,”Bangsa Indonesia sekarang ini baru belajar ngomong, baru belajar berpikir!” <br /> Lho, usia 60-an tahun kok baru belajar ngomong dan berpikir!? Ada yang beralasan: karena lidahnya dikunci, mulutnya diplester, otaknya dibekukan dengan cairan indoktrinasi (barangkali sejenis: formalin!) pada masa “kekaisaran” Soekarno dan Soeharto!<br /> Kalau dilihat dari usia, bangsa Indonesia memang sudah terbilang tua. Mereka yang lahir tahun 1945 saja sudah pada beruban rambutnya, kecuali yang mengamalkan ilmu “pembohongan publik”. Yang disebut terakhir ini rambutnya tetap hitam-legam: disemir!<br /> Kalau rambut saja sudah dimanipulasi dan dijadikan sebagai salah satu atribut topeng untuk melakukan pembohongan, apalagi dalam perbuatan dan tindakan lain! Setiap penggunaan topeng niscaya punya tendensi! Tanya diri sendiri, Allah mengetahui diri lebih daripada diri sendiri!<br /> Dan kini tampaknya, di pelampung penyeberangan itu perlu dibangun sebuah botol baru, mungkin juga berbentuk kaleng atau jeriken, sesuai dengan isu terbaru yang tengah menderu-deru bertiup sekarang ini, yaitu: biodisel!<br /> Orang-orang ahli pertanian, ekonomi, politikus, perdagangan, perbankan dan lain-lain, dengan gegap-gempita menyatakan keyakinannya bahwa Kalimantan Barat bisa menjadi: tambang biodisel! Bahan bakar masa depan pengganti BBM solar!<br /> Untuk merealisir hal itu, lima juta hektar lahan kritis di daerah ini akan ditanami: jarak pagar!<br /> Entah siapa yang berhasil “ngipas wal ngibau” para “ahli” ini wallahu alam bissawab! Mudah-mudahan bukan karena masih mengidap penyakit lama “ABS”. Atau, karena melihat “pancuran duit” yang bersedia diarahkan Pemerintah Pusat ke daerah ini lewat proyek jarak pagar!? Kalau fokusnya cuma itu, maka bisa terjadi: pagar makan jarak!<br /> Hasil rapat para “ahli” tanggal 5 Januari 2006 lalu yang melibatkan HA Aspar SE, Ir Idwar Hanis, H Ali Nasrun SE,MEc, Dr Saeri Sagiman, Falal, Toni, Memet Agustiar SE dan lain-lain itu, telah menelurkan: Tim Pengembangan Jarak Pagar Kalbar (Tim PJPK). Selaku Ketua Tim PJPK, adalah Ir Idwar Hanis Kepala Dinas Perkebunan Kalbar. Tim ini akan mempersiapkan terbentuknya Badan Pengembangan Energi Alternatif yang akan disahkan oleh Gubernur Kalbar! Hebat!<br /> Jarak (Ricinus communis) atau jarak pagar (Jatropha curcas) sebenarnya bukan barang baru bagi masyarakat Kalbar. Nama lokalnya: melekian (Mempawah), atau kemandah (Sanggau ke hulu). Zaman penjajahan Jepang, rakyat membuat minyak dari buahnya untuk menyalakan pelita di samping menggunakan minyak kelapa. Pernah melihat pelita bersumbu tiga dari bahan tembikar? Itulah pelita minyak kelapa! Sebab minyak tanah sama sekali tak ada! Dan masyarakat yang bodo-bale sekali pun tahu (tak perlu hasil penelitian para ahli!) bahwa buah kemandah (minyak kastroli) boleh dipakai sebagai pencahar! Merangsang binatang maupun manusia untuk (maaf): berak-berak! Bisa dehidrasi, muka pucat-pasi, mata cekung-raung orang dibuatnya! <br /> Selain jarak pagar, beberapa waktu sebelumnya, telah digaungkan juga ke kuping rakyat, di Kalbar ini – termasuk daerah perbatasan – akan ditanam sejuta hektar kebun sawit. Juga untuk keperluan bahan bakar mesin disel! <br /> Monumen Botol Biodisel itu perlu diwujudkan untuk menandai “kebulatan tekad” para ahli di daerah ini untuk menjadikan Kalbar sebagai “tambang biodisel”! Sebab hal ini bukan hal yang boleh dianggap kecil, melainkan suatu terobosan teknologi besar, kalau bukan angan-angan dan kebohongan besar!<br /> Sebab hal serupa tapi tak sama, pernah terjadi di Kab Sintang. Proyek reboisasi dan budidaya pinus pernah dikumandangkan di daerah tersebut, dilaksanakan di daerah Kebebu Nanga Pinoh. <br /> Para ahli ekonomi, pejabat daerah, politikus dan lain-lain berkata: lima-enam tahun lagi di Sintang akan berdiri sebuah pabrik korek api dan potlot! Bahan bakunya, yakni itu tadi: pohon pinus! Sintang akan berperan besar untuk memenuhi kebutuhan korek api, potlot, dan tusuk gigi di Indonesia!<br /> Lebih dua puluh tahun telah berlalu, sebatang korek api pun tak pernah diproduksi Sintang! Jangan kan korek api, korek kuping saja masih ada yang menggunakan bulu ayam!<br /> Nyatanya bukan korek api yang diproduksi, tetapi lautan api (kebakaran!) yang sering benar terjadi di proyek reboisasi itu. Arang habis besi binasa, pengelola proyek makin kaya saja!<br /> Coba waktu program itu digegap-gempitakan, dibuat monumen atau tugu “korek api” di Sintang untuk memperingatinya. Niscaya masyarakat memiliki sebuah “catatan sejarah” untuk generasi berikutnya, pun tercatat pula nama besar personel Tim Pengembangan Pinus Kab Sintang (TPPKS).<br /> Sehingga tugu itu bisa dilihat dan diingat sampai kini sebagai: Tugu Pengampor! Tugu Pembulak, Tugu Pembual, Tugu “Angin Pokol Angin”! <br /> Mat Belatong jadi timbul mual kalau mencium sesuatu yang beraroma “minyak angin pelampong”.<br /> Dan tampaknya ada pula yang berhasil menjual “minyak angin pelampong” kepada Presiden SBY. Sampai Presiden berharap sangat, Kalbar bisa menjadi tambang biodisel. Sebab persediaan minyak angin, eh minyak bumi Indonesia diprediksikan hanya cukup untuk 15 tahun mendatang.<br /> Yang Mat Belatong tak habis heran, kenapa orang-orang pintar di daerah ini bisanya cuma menjadi: Pak Turut, Pak Panut, Mr Yesman!<br /> Akasia kata orang, akasia juga kata kita. Pinus kata orang, pinus juga kata kita. Sawit kata orang, sawit juga kata kita. Jarak kata orang, “jjj…jjaarak” juga kata kita bersemangat walau mungkin sedikit tergagap!<br /> “Ngape ndak: jarak pagar kate orang, karet kate kite!” omel Mat Belatong. Menurut alur pikiran Mat Belatong yang “nyleneh”, biar daerah lain saja yang memproduksi biodisel, kita bertanam karet untuk memproduksi ban mobil! Kenapa!? Apakah mobil bisa berjalan tanpa ban, kendati berminyak!? Pernah terjadi – bukan mustahil masih berlangsung hingga kini – perusahaaan crumb rubber di daerah ini sampai membeli karet dari luar negeri untuk memenuhi quota yang diminta rekanan dari luar negeri!<br /> Lebih dari itu sebuah penyakit yang diidap Mat Belatong adalah: sudah jemu, jenuh, sudah berapa puluh tahun masyarakat di daerah ini didikte dan ditekan terus dari Pusat? Sudah berapa generasi pemimpin dan pejabat di daerah ini yang cuma bisa jadi Pak Turut, jadi pejabat carmuk!<br /> Dan terus terang saja, tatkala beberapa waktu lalu Gubernur Kalbar Usman Djafar “memproklamasikan“ daerah Kalbar sudah surplus beras dan bisa menjual beras ke daerah lain, orang-orang di pasar pada tertawa seperti menonton ketoprak humor! <br /> “Bagos! Beras petani, kite jual ke daerah laen, sebab beras impor kite belonggok, murah agik!“ ucap mereka tertawa. Aneh, rahasia umum, kok Gebernur tak tahu. Mengisi seluruh gudang Dolog pun para tauke di Kalbar mampu, baik dengan beras impor ilegal maupun legal! Kok bisa-bisanya ada yang “jual kibul” kepada Gubernur dalam keadaan seperti ini! Dan “gayung kibul” itu “disambut” pula oleh Gubernur! <br /> Suatu ketika, seorang rekan dari Surabaya berucap,”Bawang putih Kalbar bagus-bagus dan murah, begitu juga langsat, rambutan, manggis, durian. Buah-buahan melimpah di sini. Dan istri saya wanti-wanti pesan: Ke Pontianak jangan lupa bawang putih, Mas!“<br /> Terjemahkan sendiri sajalah: bawang putih hasil petani Kalbar berkat keberhasilan pembinaan Dinas Pertaniankah itu?<br /> Tak setelempap kebun bawang putih ada di Kalbar. Asalnya, nun jauh di sana: Argentina! Masuk ke pasaran Kalbar, lewat Sarawak!<br /> Dan bukan mustahil 15 – 20 tahun mendatang, lakon ketoprak humor paling konyol bermain lagi di Indonesia: orang sudah memproduksi kendaraan energi surya, kita baru bertanam pohon jarak! Orang sudah mengelola bendungan dan PLTA, kita masih berkutat ria dengan PLTD kuno yang biarpet! Alasannya bukan lagi “tali kelayang”, tapi: kebun jarak disikat belalang! Nengok ke zaman Jepang, matehari tak terpandang! Ndakke lebeh mudah bertanam rumpot daripade bertanam jarak: lepaskan sapi bali! ***<br /><br />* Gila pangkat, gila pujian.<br /> ( Pontianak, 7 Januari 2006 )<br /><br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-64916427926620987182007-11-01T18:58:00.000-07:002007-11-01T18:59:34.238-07:00Mat Belatong dan Cerita BiniOleh A. Halim R<br /><br /> RA NURUL Handayani SH MM Kepala Kejaksaan Negeri Singkawang bertutur mengutip cerita pewayangan Jawa, yang ringkasnya sebagai berikut:<br /> Arjuna memiliki empat istri yaitu Subadra, Srikandi, Sulastri dan Larasati. Subadra sebagai pengasuh anak, untuk mendidiknya menjadi anak yang salih. Srikandi sebagai pengaman keselamatan suami, Larasati sebagai pengontrol keuangan rumah tangga, dan Sulastri mampu menjadi pelayan bagi suami.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Seorang perempuan harus bisa memiliki keempat karakter tersebut baru sah sebagai yang diper-empu-kan. Sedangkan pria yang merupakan singkatan dari Pemimpin Raja Istri dan Anak, jangan sampai kehilangan status PRIA-nya sehingga menjadi STI (Suami Takut Istri). Kalau lelaki kehilangan PRIA-nya di rumah, jangan heran bila ia lalu menegakkan statusnya di luar rumah dengan cara mencari WIL (Wanita Intim Lain).<br /> Begitu kata RA Nurul.<br /> Tapi lain pula pendapat Mullah Nasruddin Affandi tokoh legendaris asal Turki.<br /> Diriwayatkan, pada suatu hari seorang lelaki teman Mullah berkata,”Wanita yang akan saya nikahi: kaya, cantik, gadis, berkelakuan baik dan pandai!”<br /> Mullah menjawab,”Aku takut Anda tidak akan memperoleh semua kualitas tersebut pada satu istri, kecuali kalau Anda akan menikahi lima wanita!” <br /> Di kalangan berang-berang (Lutra cinerea) lebih parah lagi. Meskipun binatang, ia memiliki lebih banyak persyaratan yang dikehendakinya dari si betina. Namun buntut-buntutnya, sama saja dengan Arjuna maupun pendapat Mullah Nasruddin. Bukan lagi berbini empat seperti Arjuna, atau lima seperti kata Mullah Nasruddin, melainkan belasan atau konon sampai dua puluh ekor betina!<br /> Menurut pengamatan Mat Belatong, lebih gila lagi kucing! Satu betina kalau musim kawin, bisa sampai empat-lima ekor jantannya! <br /> Mengenai lelaki yang tergolong STI (Suami Takut Istri), menurut pemantauan Mat Belatong tak semuanya bisa menegakkan ke-PRIA-annya pada WIL, tapi tak jarang: mencari WIL pun dia takut! Akhirnya ia stres, lalu rungguk, lalu gem!<br /> Sejumlah anak tumbuh besar tanpa ayah, tapi untung saja ibunya gagah perkasa, punya karir dan mandiri!<br /> Isa putra Maryam Alaihis-Salam, ditanya: Mengapa engkau tidak membuat sebuah rumah?<br /> Beliau menjawab,”Buatkanlah rumah bagiku di atas air yang mengalir!”<br /> Kemudian ia ditanya lagi: Mengapa engkau tidak mengambil seorang istri?<br /> Beliau menjawab,”Apa yang dapat kuperbuat terhadap seorang istri yang dapat meninggal?”<br /> Dari sekian kalimat yang berbicara tentang bini dan istri di atas, tak ada sama sekali menyentuh kata “cinta”!<br /> Setelah berpikir sampai urat kepalanya timbul, Mat Belatong berkesimpulan: cinta hanya marak di kalangan pedangdut!<br /> Tegal cinta, ada penyanyi dangdut yang mampu menanggung resiko: baju satu kering di badan, tak kan luntur cintaku padamu!<br /> Lebih nekat lagi ada yang berani: makan sepiring berdua!<br /> Padahal, Khalil Gibran (1883 – 1931) penyair dan filosof Libanon sudah berpesan: Saling isilah piala minumanmu, tapi jangan minum dari satu piala. Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari pinggan yang sama!<br /> Petuah ini tak berlaku di komunitas dangdut. Mungkin mereka berpendapat: Owalah Gibran, ente cume pandai ngomong jak – tentang anak, tentang bini – padahal ente sorang tak pernah beranak-bebini!<br /> Akhirnya Mat Belatong berkesimpulan, kalau mau bergelimang cinta, berkelindanlah dengan orang-orang dangdut! Belajarlah cinta dari mereka!<br /> Tapi celakanya kesimpulan ini disanggah oleh Mat Ketumbi,”Merampot Jon, Raje Dangdut jak berape bininye, berape kali kawen-cerainye!“<br /> Mat Belatong tekanjat, dan berkata,”Eh Ketuk, diam-diam ente ni jadi pengamat gak rupenye!”<br /> Selembe Mat Ketumbi menjawab,”Biase, zaman reformasi. Balek belakang, putar lidah, bukan masalah. Macam oknum personel legislatif asal Singkawang tu! Die gak ngomong berpedoman dengan Ten Commandment dari Nabi Musa. Tapi begitu masok Ketapang laen cerite. Timbol masalah, bebar lapor ke polisi tegal nak dihalap preman! Tak kan ade asap, kalau tadak api! Padahal ape kurangnye Singkawang? Tak ade masalah bagi orang berzina dan berselingkuh. Firman Allah dah dianggap macam: kerupok mamang! Kenak aek: benyek! Sampai dah macam itu toleransi – kalau bukan kerapuhan akhlak – sebagian masyarakat Sin Kew Jong. Ngape pulak lalu betingkah, sampai timbol kesah di Tanah Kayong!?”<br /> Mat Belatong termangu menatap sahabatnya berbicara. “Bijak cakap awak tu Ketuk! Ilmu awak makin betambah, biar pon penampilan belom berobah,” ucap Mat Belatong.<br /> “Lalu macam mane pendapat awak tentang petuah RA Nurul Handayani Kajari Singkawang tu?” balik Mat Belatong pula yang bertanya. <br /> “Gampang Jon, petuah itu harus disosialisasikan dengan cara: memasyarakatkan wayang, mewayangkan masyarakat!” jawab Mat Ketumbi.<br /> Kening Mat Belatong tampak berkerut mendengar kalimat yang diucapkan rekannya. “Ketuk, cakap awak ni dah macam cakap pejabat. Mudah ngucapkannye, tapi rumet mikerkannye! Jadi susah aku nak ngerti! Cobe jelaskan gak, macam mane arti kate mewayangkan masyarakat tu!” pinta Mat Belatong.<br /> Mat Ketumbi menjawab sambil tertawa,”Ente purak-purak Jon, padahal ente lebeh pendekar!”<br /> “Tadak Ketuk, tolong cakapkan ape maksod kalimat awak tu!” ucap Mat Belatong.<br /> “Mewayangkan masyarakat, ndak ke artinye: menjadikan masyarakat itu sebagai wayang!? Setiap maen wayang tentulah ade dalangnye! Dalang zaman sekarang tak mesti pakai belangkon, tak mesti bekaen batek dan bebaju surjan. Disurohnye masyarakat besampok, dimaenkannye lakon saling curige, diskenarionye: manajemen konflik! Lalu die pulak tepekek-jeret: ada provokator, suasana tidak kondusif! Ndak ke gitu Jon!?” jelas Mat Ketumbi.<br /> Mat Belatong berdecak kagum mendengar omongan sahabatnya.<br /> “Ketuk, dari cakap awak ni, tampaknye dah ade nurul hidayah – bukan RA Nurul – yang masok ke kalbu awak tu! Alhamdulillah, ana bangge dengan kemajuan awak ni Ketuk! “ puji Mat Belatong.<br /> Lebih lanjut Mat Belatong bertanya,”Macam mane pulak kalau program memasyarakat wayang digalakkan, lalu banyak lelaki ngambek kesempatan: untok pembenaran bebini empat macam Pak Raden Arjuna tu!?” <br /> Mat Ketumbi langsung menjawab,”Penjabaran program memasyarakatkan wayang itu terbatas hanya bagi kaum wanita jak. Boleh dipelopori oleh ibu-ibu dari Kejaksaan Negeri Singkawang. Kemudian lebeh diperluas agik ke seluroh organisasi wanita, termasuk ibu-ibu majelis taklim Singkawang. Harapannye tak laen agar kaum wanita menjadi sadar bahwa mereka harus memiliki empat karakter istri Arjuna macam yang diungkapkan oleh RA Nurul itu! Sebagai pilot proyek boleh kota Singkawang, kalau berhasel boleh diusolkan jadi program kaum wanita di seluroh Provinsi Kalbar!”<br /> Kembali Mat Belatong berdecak kagum. Omongan Mat Ketumbi dah macam omongan pejabat, bertabur istilah-istilah asing, tak peduli masyarakat mengerti atau ndak. <br /> Setelah berpikir sejenak, Mat Belatong berkata,”Tapi bukan mustahel Ketuk, tegal wayang itu lalu banyak pula ibu-ibu yang luluh hatinya, dan menjadi sadar bahwa ia tak mungkin memiliki empat karakter itu sekaligus. Dan mereka rela kalau suaminya melengkapi empat karakter itu dari wanita lain. Singkat kata: mereka rela suaminya kawin lagi! Ibu kita RA Kartini jak bukan istri pertama!”<br /> Mat Ketumbi langsung menjawab,”Alhamdulillah, keikhlasan yang seperti itulah yang dimiliki oleh perempuan-perempuan mulia istri Rasulullah SAW!”<br /> Mat Belatong ternganga, dan tak mengira sama sekali omong-omong soal bini lalu sampai pula kepada nabi akhir zaman Muhammad SAW. Yang mengagumkan, ternyata kalbu Mat Ketumbi benar-benar telah mengalami reformasi pencerahan! Bukan reformasi yang kebablasan! <br /> Kemudian Mat Belatong berkata,”Tapi celaka wahai Ketuk, kalau peluang yang demikian ini dimanfaatkan oleh pria yang tidak bertanggung jawab, yang tidak berpedoman kepada ajaran Rasulullah SAW: tidak adil, zalim lagi aniaya!”<br /> Jawaban Mat Ketumbi sungguh mengagetkan: Lelaki itu tak lebih baik dari berang-berang, dia bukan umat Muhammad! Di akhirat dia akan berjalan pincang, bukan mustahil menjadi sosok manusia busuk yang lumpuh-layuh!<br /> Mat Belatong tergemam mendengar jawaban sahabatnya itu. Pun ia tak mengira cerita ini bisa mengalir sendiri: dari Singkawang ke akhirat!<br /> Kemudian ia berkata,”Udahlah Ketuk, kite stop cerite kite sampai di sini jak. Bise-bise ade orang yang salah ambek dan memfitnah. Lalu kite beduak dituding: provokator, bejat, jurkam poligami! Sebab tak semue orang pandai ngambek yang tersirat dari yang tersurat!” *** <br /> ( Pontianak, 26 Desember 2005 ).<br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-9782326163561873732007-11-01T18:55:00.000-07:002007-11-01T18:57:10.709-07:00Mencari Api dalam SekamOleh A. Halim R<br /><br /> MAT BELATONG dan Mat Ketumbi tengah melakukan safari (perjalanan – pen) ke kota Singkawang. Kota ini pernah menyandang berbagai predikat yang diberikan kepadanya setiap kali berganti pemimpin. Banyak orang menyebutnya Sin Kew Jong, ada pula yang menggelarinya Kota Amoy. Pada masa pemerintahan “Khalifah” Syafei Djamil pernah diberi predikat “Kota Gayung Bersambut”. Ketika jabatan “khalifah” berada di tangan Uray Rukiyat, kota ini menjadi “Kota Tasbih”.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Kata “Tasbih” adalah sebuah akronim (singkatan). Namun tentu tak sekadar itu yang mungkin dikehendaki Uray Rukiyat. Ada sebuah nuansa yang ingin ia lekatkan ke kota yang dipimpinnya, sehingga image orang (kalau mungkin) terarah kepada: untaian biji-biji tasbih. Barangkali ia ingin mengajak masyarakatnya, mengajak orang-orang yang datang ke Singkawang untuk selalu bertasbih, berzikir, ingat kepada Allah! <br /> Dan tugu “Tasbih” itu sampai kini belum lagi roboh, masih terpacak pada tempatnya semula. Namun, dengan dalih menyesuaikan diri dengan sikon yang terjadi akhir-akhir ini, tampaknya ada pula pihak-pihak yang berkehendak memberi gelar baru kepada kota Singkawang: Kota Api Dalam Sekam! Kalau diakronimkan mungkin jadi: Kopi Lamse! Untung saja bukan: Kopi Pangse alias Kopi Pangku!<br /> Dalam rangka melacak situs “api dalam sekam” inilah Mat Belatong membawa Mat Ketumbi ke Singkawang. Mat Ketumbi, namanya juga “ketumbi” – yang paling buntut – ikut saja. Ibarat kata orang Jawa, kalau sudah diajak oleh Mat Belatong, Mat Ketumbi ya: swargo nunut, neroko katut! Ke sorge ikot, melabor ke nerake pon terbawa. <br /> Mereka sudah berkeliling di kota Singkawang, nongkrong di setiap warung kopi untuk mendengar apa yang tengah menjadi topik pembicaraan orang. Perut Mat Ketumbi sampai gembung minum teh es di setiap warung. Tapi tak ada sama sekali orang-orang itu membicarakan: api dalam sekam.<br /> Di setiap warung Mat Belatong bertanya,”Di mana saya bisa menemukan api dalam sekam!?” <br /> Jawaban yang diperolehnya hampir sama: Sinun yo, tampat urang enggiling padi! Di sana, di tempat orang menggiling padi!<br /> Mat Ketumbi, kakinya sampai meletop, karena berjalan memakai sepatu. Maklum, kaki jarang kena sepatu. Akhirnya ia membeli sandal jepit, sepatu made in Cibaduyut masuk tas kresek!<br /> Setelah berhari-hari berkeliling kota Singkawang, hampir maghrib mereka kembali ke Hotel Bintang Tujuh, tempat keduanya menginap.<br /> Setelah makan dan salat isyak, Mat Belatong mengajak Mat Ketumbi keluar kamar. Dari lantai dua hotel tersebut terlihat di halaman hotel ada belasan wanita PSK (Penjaja “Sate” Keliling – pembaca yang ahli tentu bisa membetulkan kalau ini salah – pen). Juga tampak ada beberapa orang waria. Mereka lagi bercengkrama riang sesamanya. Jam menunjukkan hampir pukul delapan malam.<br /> Mat Belatong mengajak rekannya menemui orang-orang itu. Namun Mat Ketumbi menolak sembari berkali-kali berucap,”Asytaghfirullah al‘azim, ingat Jon: wala taqrabuz zina! Mintak ampon ya Allah, jangan dekatkan aku kepada zina!”<br /> Mat Belatong memegang tangan sahabatnya dan berkata,”Tenang Ketuk, jangan takot, jangan gentar Allah bersama kita! Ini Singkawang Ketuk! Di Singkawang ini sebagian orang telah menjadikan firman Allah seperti permen karet! Bise ditarek-ulor, bisa digumpal-gumpal berdasarkan kepentingan. Zina dan selingkuh bukan lagi sebuah aib, bukan lagi hal yang haram dan memalukan, tapi: boleh-boleh saja! Ini berarti bahwa virus permisif – salah satu virus sangat berbahaya produk globalisasi, kalau bukan bentuk kemunafikan – telah merebak di Singkawang! Kalau gelombang tsunami sudah meluluh-lantakkan Aceh secara fisik, kini gelombang permisivisme tanpa disadari telah mulai meluluh-lantakkan moral atau akhlak sebagian masyarakat Singkawang. Permisivisme bukan hanya menyerang sebagian masyarakat awam, tapi juga para guru, ulama dan umara, sampai ke pengurus masjid dan kalangan wanita di majelis pengajian!”<br /> “Gile, virus ape tu Jon sampai membuat orang menjadikan firman Allah seperti bombon karet!?“ tanya Mat Ketumbi. <br /> “Permisivisme adalah suatu paham yang membolehkan, mengizinkan dan melonggarkan orang untuk berbuat sesuatu yang menyimpang dari aturan agama, hukum, etika dan kebiasaan masyarakat. Kota Singkawang tampaknya sudah mencapai – kalau bukan terjerumus – ke maqam yang demikian itu! Ini berkat kepemimpinan walikota yang sekarang ini! Jadi kalaupun kita nak buat macam-macam di Singkawang, situasi dan kondisinya sangat kondusif! Apa pun yang akan kita buat boleh-boleh saja, tak akan ada razia polisi, tak ada hujah ulama, tak ada protes majelis pengajian, tak akan dikata-kata dalam khutbah Jumat!” jawab Mat Belatong. <br /> “Tapi Jon, bagosnye ana tak ikot. Ana nunggu di lobi hotel jak. Biar ente jaklah betale dengan budak-budak tu!” ucap Mat Ketumbi.<br /> “Tadak Ketuk, awak harus tetap dengan aku, awak menjadi saksi kalau timbol fitnah!” jawab Mat Belatong.<br /> Entah jalan ke surga atau neraka yang tengah ditapaki Mat Belatong, terpaksalah Mat Ketumbi ikut. <br /> Pendek cerita, maka bergabunglah kedua sahabat itu dengan majelis wanita PSK dan waria itu. <br /> Salah seorang PSK minta dibelikan rokok. Mat Belatong menyodorkan selembar duit Rp 50 ribu, sembari berkata,”Aa, belilah siape yang perlu rokok!”<br /> “Kalau beli semue, tak cukop duet ni bang! Tambah agiklah!” ucap PSK itu.<br /> Mat Belatong merogoh koceknya, dan kebetulan yang terkeluar lembaran Rp 50 ribu. Cepat tangan PSK itu menyambar sambil berucap,”Terima kaseh bang!“ <br /> Dalam percakapan lebih lanjut, Mat Belatong bertanya,”Kitak-kitak ni ade organisasi atau semacam perkumpulan ndak?” <br /> “Sik an beh bang, semuenye begarrak sorang-sorang na ang!” jawab seorang PSK dalam dialek Melayu Sambas.<br /> “Kitak tuk urangnye banyak, ibaratnye jadi lampu seri di kota Singkawang: memperindah kota! Tapi mun begarrak sorang-sorang disik kekuatan. Cobelah kitak bantok perkumpolan, misalnye Majelis PSK Kota Singkawang. Bise juak kitak dakkat dangan Pak Walikota, dakkat dangan Pak Kapolres. Bise juak kitak ngeluarkan surat dukungan untok Pak Wali, macam nang dilakukan oleh ibu-ibu majelis pengajian iye!” ucap Mat Belatong coba-coba berdialek Sambas.<br /> Salah seorang PSK nyeletuk,”Abang ni tim sukses Pak Wali atau provokator!?”<br /> “Bukan! Aku ni Nordin Top!” jawab Mat Belatong.<br /> Semua PSK dan waria itu tertawa. Sambil menunjuk Mat Belatong mereka berkata,”Yo, abang tuk endah-endah inyan. Nordin Top urangnye lawa bang, ade cambangnye! Biarpon dah dicukor, bakkas cambangnye maseh nampak!”<br /> “Itulah kau, betanyak yang ndak-ndak,” jawab Mat Belatong.<br /> Kemudian Mat Belatong bercerita, bahwa pada tahun 2009 yang akan datang, kota Singkawang akan menjadi tuan rumah MTQ XXII Tingkat Provinsi Kalbar. Perhelatan besar itu akan didatangi oleh banyak manusia dari berbagai kabupaten, termasuk tamu-tamu dari luar daerah. Sebaiknya para PSK dan waria telah menyiapkan diri, jauh hari sebelumnya. “Jadikan dirimu sebagai penghias dan penyemarak kota, bersikap ramah dan berkunjunglah ke tempat-tempat penginapan kontingen MTQ. Tempat-tempat praktik prostitusi, seperti di belakang terminal bus Bengkayang, perlu dibenahi dan mulai berhias diri!”ucap Mat Belatong.<br /> “Iye ke bang!? Ndakke kalau MTQ kamek-kamek ni dirazia dan diuser polisi!?“ tanya seorang PSK.<br /> “Tadak! Singkawang telah menjadi kota yang paling kondusif di Indonesia. Anggota polisi berzina, polisi menista orang, pejabat berselingkuh, orang aborsi, semuanya boleh-boleh saja. Berbahagialah kalian, dipimpin oleh para umara dan ulama yang permisif, yang berhasil menciptakan sikon yang sangat kondusif di Singkawang ini,” jawab Mat Belatong. <br /> Setelah berbincang lebih lanjut – termasuk tentang sejumlah hal yang off the record – akhirnya Mat Belatong berkata,”Takot cerite kite kepanjangan, sekarang saye beduak permisi dolok nak balek ke kamar. Lamak-lamak ngobrol di sinik pon bise-bise ngabeskan waktu kitak, sebab kitak pon nak bekerje gak. Lalu aku pulak kenak sumpah- seranah tamu yang memerlukan kitak!”<br /> “Terimak kaseh bang ye, tak perlu kawan ke?“ tanya para PSK itu.<br /> “Udahlah, terimak kaseh jak. Saye pon dah ade gak kawan. Ini si Ketuk ni!” ucap Mat Belatong. <br /> Tatkala sudah berbaring di kamar, sambil matanya terkelip-kelip menatap langit-langit kamar, Mat Ketumbi bertanya,”Macam mane jak ye kabar Nek Aki dan Pak Udak yang naek haji tu sekarang?”<br /> “Pak Udak, Nek Aki yang mane?” tanya Mat Belatong.<br /> “Itu duak orang pejabat Singkawang yang sering masok koran tu!” jawab Mat Ketumbi.<br /> Setelah mengingat sejenak, Mat Belatong menjawab,”O, yang itu! Berdoalah Ketuk, agar yang satu tidak selalu menyingkap kain sarungnya di sana. Dan semoga yang satu lagi, kalau bertemu dengan wanita-wanita yang menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian hitam dan bercadar hitam di mukanya, tidak berkata: wanita korengan! Kalau sampai terjadi yang demikian Ketuk, beramak muke seluruh jamaah haji Indonesia, terutama Kalbar!”<br /> Masih terkelip-kelip, Mat Ketumbi bertanya lagi,”Kalau kite balek ke Pontianak besok, tak ketemulah api dalam sekam tu Jon!?”<br /> “Tenang Ketuk, perjalanan kite tak sie-sie. Ana dah menemukannye!” jawab Mat Belatong.<br /> Berdasarkan survai dan metode manthiq (ilmu logika) versi Hoja Nasruddin Affandi, Mat Belatong telah menemukan “api dalam sekam” itu.<br /> Sebuah korelasi yang jelas terlihat, kota Singkawang sangat kondusif bagi “api dalam sekam”. Api dalam sekam itu bukan lain adalah: sikap permisif pejabat dan sebagian masyarakat Singkawang! Sikap yang demikian itu bagaikan api dalam sekam membakar moral dan akhlak mereka sendiri! <br /> Singkawang sangat kondusif untuk kehidupan permisif! Dan itu telah dipelopori oleh tokoh puncak eksekutif! Sebuah keniscayaan: lahar atau kotoran yang mengalir dari puncak gunung, akan mengalir dan merembes ke bawahnya! ***<br /> <br /> ( Pontianak, 21 Desember 2005 ).<br /><br />Versi cetak dimuat Borneo Tribune (4/11)<br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-58929854413315973472007-11-01T18:52:00.000-07:002007-11-01T18:54:04.335-07:00Refleksi “Merdeka” versi Mat BelatongOleh A. Halim R<br /><br /> MAT BELATONG duduk mencangkung di sebuah batang kayu di tepian sungai. Batang tersebut jika dilihat dari bentuknya, mungkin sisa-sisa rakit kayu yang terbuang: sudah afkir, tak laku lagi.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Ia menatap permukaan air sungai yang mengalir tenang, tetapi keruh. Ia tengah mencari bayangan wajahnya sendiri di permukaan air itu. Ia tengah melakukan refleksi, mencari wajah “kemerdekaan” yang ada di dirinya yang telah berusia 62 tahun. Ia berharap bisa membaca apa yang mungkin terpantul lewat wajahnya di situ! Adakah pertambahan usia di wajahnya kian menampakkan kearifan, atau malah kian keriput dan menakutkan?<br /> Namun ia tak menemukan wajahnya di air yang keruh kekuningan itu. Ia coba memasukkan tangannya sebatas siku ke dalam sungai. Apa yang terlihat? Telapak tangannya sendiri tak kelihatan! Air sungai sudah sangat keruh!<br /> Niscaya telah terjadi sesuatu pada sungai, pada bumi Kalbar dalam jangka waktu 30 tahun terakhir ini. Dulu, masa kanak-kanak, bila ia mandi berlimbur dan menyelam di Sungai Kapuas, Sekayam maupun Melawi, kelebat kawan yang sama menyelam masih bisa terpandang dalam jarak 2 – 2,5 meter. Tatkala haus, tanpa ragu ia dan kawan-kawannya mencauk air dengan kedua tangan untuk kemudian meneguknya. <br /> Kini sungai kian keruh mungkin akibat muka bumi termakan erosi, karena rimba kian lingkis. Diperburuk pula dengan pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang terus marak dan mengganas hampir di semua batang air dan pinggir sungai di daerah ini. Menyauk emas, menebar merkuri kian menjadi-jadi!<br /> Mat Belatong ingat, pada tahun 2005 lalu seorang peneliti dari Universitas Tanjungpura Pontianak berteriak lantang: Sungai Kapuas telah tercemar merkuri di atas ambang batas!<br /> Ironis, belum lama ini, peneliti yang sama berteriak lain: Sungai Kapuas bebas merkuri!<br /> Mat Belatong terpaksa berburuk sangka: sebab pernyataan itu bertentangan dengan logika dan fakta! Adakah sang peneliti berhasil dirangkul dan “dijinakkan”? Sehingga meneriakkan: pesan sponsor berbau politis(?). Maklum, pemilihan gubernur akan berlangsung 15 November 2007. Isu kehancuran lingkungan dan merkuri bisa merusak reputasi kandidat incumbent kalau dimunculkan oleh kontestan lain! Ada pula yang berdalih: isu merkuri jangan dipambar, nanti wisatawan takut ke Kalbar! (Bahwa otak orang Kalbar akan betukuk dan labil macam air raksa, mungkin tak perlu dipikirkan!)<br /> Sungguh aneh? Apa mungkin dalam waktu dua tahun lebih, sungai di Kalbar bisa bebas merkuri? Sementara semua orang tahu, jumlah mesin Dong Feng yang masuk ke Kalbar dan PETI makin bertambah dan kian marak dari tahun ke tahun!? <br /> Terakhir, seorang peneliti lain dari universitas yang sama tanggal 23 Agustus 2007 berteriak lantang lewat media massa: Sungai Kapuas tercemar merkuri 40 kali dari batas normal. Di sepanjang Sungai Kapuas terdapat sekitar 2800 titik PETI! (Apa sudah termasuk yang ribuan juga di sepanjang Sungai Melawi? – pen) <br /> Ditambahkankan pula oleh peneliti yang bernama Profesor Alamsyah Hasan Basri, bahwa setiap tahun masuk 30 – 40 ton merkuri dari Malaysia lewat perbatasan Kabupaten Sintang – Sarawak. <br /> Mat Belatong termenung menatap sungai: ia mencari makna “merdeka” di air keruh itu!<br /> Tentara Jepang dan Belanda yang memegang senjata, memang telah hengkang dari negeri ini. Tuan Honda, Tuan Takeda, spion Jepang yang berlagak “Mat Kodak” tahun 1940-an memang tak tampak lagi di Kalbar atau Indonesia. Kalau pun ada mungkin sebagai “Mat Kodak” turis mancanegara asal Jepon. Tapi berbagai produk Jepang merek Honda, Suzuki dll, memadati jalan dan supermarket di Indonesia!<br /> Karena kebodohan, ribuan orang “dibunuh” Tuan Honda dan kendaraan produksi Jepang setiap tahun di Nusantara ini. Dulu (1944 – 1945) Jepang membunuh orang pintar di Kalbar, sekarang Jepang “membunuh” orang bodoh! Sementara Tuan Van Huis, Van Mock sudah lama mati. <br /> Di sungai yang keruh itu Mat Belatong melihat, betapa bangsa ini terutama yang bermukim di daerah Kalimantan Barat: masih dijajah kebodohan, kemiskinan dan pengangguran!<br /> Kebodohan dalam makna “jahiliah” bukan hanya berkenaan dengan manusia berpendidikan rendah, tak sekolah, tetapi juga manusia berpendidikan tinggi: intelek, terpelajar tapi berakhlak jahiliah! Contoh nyata: penipu, pencuri, pungli, munafik, koruptor, hasad, khianat, iri, dengki, loba, rakus, tamak, zalim, zina, bengis, aniaya! Abu Jahal atau Pak Pandir (nama asli: Amru ibn Hisyam) adalah orang terpandang dan “intelektual” di kalangan kaumnya: kafir Quraisy! Pak Jahal orang terhormat dan berpengaruh. Hasad dan hasutnya dipakai benar oleh orang-orang yang memusuhi kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. <br /> Kemiskinan, bukan hanya berkenaan dengan orang papa dan tak berpunya, tetapi juga berkenaan dengan orang kaya yang merasa miskin: terus-menerus haus harta, tamak, loba, serakah dan kikir! Duit negara, bantuan untuk pengungsi dan orang miskin dilahap: Abu Lahab! Pak Lahab orang kaya dan terpandang dalam masyarakat kafir Quraisy pada zaman Rasulullah.<br /> Abu Jahal dan Abu Lahab, bukan cuma ada di dalam Al-Quran dan zaman Rasulullah belaka, tetapi juga di zaman Indonesia merdeka! Pak Abu memang banyak di negeri ini. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa – atau sengaja tak mau – menarik garis pemisah antara hitam dan putih. Mereka berkelindan hidup di ranah abu-abu: ke hitam masuk, ke putih pun menyelinap! Rezeki abu-abu – subhat, tak jelas halal dan haram – disikat! Malah yang jelas haram pun diembat! <br /> Pokok pangkal kesemuanya ini adalah karena: menafikan Tuhan Yang Maha Esa! Menafikan ajaran agama!<br /> Tatkala sila pertama dari Pancasila saja diabaikan, tak akan pula sila lain terhayati dalam kehidupan sehari-hari. Buntut-buntutnya: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia – cuma mimpi! Kesejahteraan rakyat: melarat!<br /> Akan halnya pengangguran, adalah buah dari ketidakadilan sosial, produk: pemimpin, pejabat, aparat jahiliah di negeri ini.<br /> Tengah Mat Belatong melakukan refleksi, tiba-tiba nongol Ketuk alias Mat Ketumbi. Ia memang mencari sahabatnya Mat Belatong. Melihat rekannya nyerongkong di pinggir sungai itu, Ketuk bertanya,”Ente ncarik ape Jon?” Tanpa menoleh, Mat Belatong menjawab,”Nak nengok wajah kemerdekaan!”<br /> Ketuk ngelakak tertawa. Kemudian ia berkata,”Kalau nak nengok wajah kemerdekaan bukan di tepi sungai ni Jon! Di sanak tu, di Istana Merdeka, di depan Kantor Gubernur, di Sungai Jawi nengok banci panjat pinang! Di banyak tempat, ibu-ibu maen bal pakai kaen sarong! Sampai tengah malam butak pon, maseh ade yang tepekek-kaong dengan suare bedeper bau nage: lombak karaoke! Tak peduli azan isyak, pekek-jeret pakai mik dengan musik lebam-lebum mengalahkan suare azan dan imam salat! Kenak pulak 17 Agustus 2007 ni bertepatan dengan bulan Syakban 1428 H. Amalan bulan Syakban: tanding maen remi, maen gaplek sampai suboh! Kemerdekaan udah dinikmati oleh seluroh lapisan masyarakat, Jon!”<br /> Mat Belatong berdiri menatap sahabatnya. “Iyeke Ketuk!? Jadi abes Agustus ni tak ade agiklah kite nengok jeriken antre minyak tanah, pemulung dan pengemis? Tak ade agik orang misken, pengangguran, putus sekolah dan preman?” tanyanya.<br /> Sambil tertawa Ketuk menjawab,”Kalau soal itu sih jalan teros! Entah bile berentinye!”<br /> Mat Belatong menunduk sesaat, kemudian menatap langit dan berkata,”Aku merasa pilu Ketuk menyaksikan kegembiraan rakyat dalam merayakan hari proklamasi kemerdekaan ini. Sangat menyedihkan, bila permainan rakyat itu hanyalah kegembiraan sesaat untuk melupakan derita hidup yang tengah dipikul. Sesaat bisa melupakan utang yang belum terbayar, melupakan kepahitan hidup dengan penghasilan di bawah Rp 1 juta sebulan. Sesaat bisa tertawa, melupakan bahwa di rumah anak-anak hanya makan dengan lauk sepotong indomie yang diberi berkuah banyak. Sesaat bisa tertawa, melupakan diri tak punya pekerjaan, melupakan kemiskinan, melupakan bahwa: besok makan apa……….” ***<br /> <br /> (Pontianak, 27 Agustus 2007).<br /><br />Versi cetak dimuat Borneo Tribune (28/10)<br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-16924141588943596432007-11-01T18:50:00.000-07:002007-11-01T18:51:40.469-07:00Beda Pendapat adalah Rahmat?Oleh: A.Halim R<br /><br /> DI NEGERI ini sangat banyak orang pintar dan ahli, payah dipungkiri. Bukan hanya yang duduk di kursi eksekutif dan legislatif, bahkan sampai kepada yang numpang duduk di kursi warung kopi! Demikian juga dalam hal mengeluarkan statemen dan fatwa. <br /><span class="fullpost"><br /><br />Banyak pihak yang merasa paling berkompeten dan berkuasa dalam mengeluarkan fatwa. Sampai-sampai terjadi sesuatu pada Ramadan! Sepakat di awal, tak sepakat di akhir! Untuk menetapkan akhir Ramadan, dan bermulanya tanggal 1 Syawal, satu kaum memberikan fatwa berdasarkan “mata” (rukyat), satu kaum berdasarkan “otak” (hisab – hitungan kalender falakiyah). Semacam lagi: inkamur rukyat, yaitu metode rukyat dengan beberapa kriteria dan syarat yang berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Agama Indon eh INA, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. <br /> Di antara ahli rukyat dan hisab itulah terdapat: rakyat dan tukang isap (rokok!). Bingung, mau ikut yang mana!? <br /> Padahal untuk penetapan tanggal 1 Syawal (Idulfitri) ini: halal dan haram taruhannya! Tatkala satu pihak menetapkan hari Jumat tanggal 12 Oktober 2007 sebagai 1 Syawal 1428 H, maka pastilah “haram” orang berpuasa pada tanggal 12 Oktober itu. <br /> Tatkala pihak lain menetapkan hari Sabtu tanggal 13 Oktober 2007 sebagai Hari Raya Idulfitri, niscaya “tidak benar” mereka yang sudah berbuka puasa pada tanggal 12 Oktober 2007 itu! Mereka harus membayar “utang” puasanya! Orang lain masih berpuasa, mereka sudah salat Id dan makan-minum.<br /> Inkamur rukyat pun ternyata “kesepakatan” yang tak harus disepakati. Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam ternyata salat Idulfitri hari Jumat 12 Oktober 2007, sementara Menteri Agama RI dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) menetapkan Sabtu 13 Oktober 2007. Jauh hari sebelumnya Ketua Pengurus Pusat Muhammadiah – berdasarkan hisab – sudah mengumumkan tanggal 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Jumat 12 Oktober 2007. <br /> Ada pula kabar, ada kaum di Indonesia yang melaksanakan salat Idulfitri hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Islam juga, yaitu antara lain: penganut Tarikat Naqsyabandiah di Padang (Sumbar) dan jamaah Majelis An-Nadzir di Gowa (Sulsel). Yang disebut terakhir ini berciri: jubah hitam, peci runcing dan rambut dipacar pirang! Penetapan Idulfitri dua kaum ini acuannya bukan rukyat bukan hisab, tetapi: kondisi alam!<br /> Lebih seru lagi, penganut Tarikat Naqsyabandiah di Blitar dan Jombang (Jatim) salat Id pada hari Minggu 14 Oktober 2007. Patokannya terbilang “hisab” juga, yaitu memadukan kalender Islam dengan kalender Jawa! Entah kapan pula puasanya bermula! Nama tarikat boleh sama, isi kepala boleh berbeda! <br /> Melihat gelagatnya bukan tak mungkin suatu ketika di Indonesia orang bisa menemukan Idulfitri berlangsung Senin – Minggu, atau Senin ketemu Senin. Yang sudah terjadi tahun 2007 M (1428 H) ini: Kamis – Minggu! Tinggal: Senin, Selasa, Rabu. Banyak paham, banyak ragam – banyak aliran, banyak penampilan! Adakah umat Islam Indonesia telah menjadi “artis” dengan prinsip: yang penting “different”, tampil beda!? <br /> Untung saja masalah ini tidak sampai menimbulkan huru-hara!<br /> Untuk menengahi, agar tak menimbulkan sengketa, entah siapa meluncurkan fatwa: beda pendapat adalah rahmat. Ungkapan lengkapnya: Perbedaan (pendapat) di antara umatku adalah rahmat. <br /> Kalimat yang terakhir ini dinisbahkan sebagai: perkataan Nabi Muhammad Rasul Allah. Namun apa kata DR Muhammad Fuad Syakir dalam kitabnya “Laisa min Qaulin Nabi”. Mengutip berbagai pendapat dari sejumlah ulama ternama masa lampau, Fuad Syakir mengingatkan, kalimat tersebut bukanlah perkataan Nabi Muhammad, melainkan ucapan Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Al-Qasim lahir pada masa kekhalifahan Imam Ali bin Abu Thalib, meninggal pada tahun 107 H. (Bukan mustahil, ucapan Al-Qasim itupun telah “dipelintir” oleh entah siapa, sehingga bernada sebagai ucapan Nabi Muhammad. Lihat kata: di antara umatku – pen). <br /> DR Muhammad Fuad Syakir mngutip pendapat Ibnu Hazam (kitab: Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam) sebagai berikut: Pendapat ini termasuk ucapan yang berpotensi paling merusak. Sebab, jika saja berbeda adalah rahmat, maka kesepakatan adalah murka. Sungguh ini tidak boleh diucapkan oleh seorang muslim. Pasalnya, hanya ada dua term (istilah, batasan): bersepakat atau berbeda, rahmat atau murka.<br /> Al-Albani (kitab: Silsilah Al-Hadis Ad-Daifah Al-Mauduah) berkata mengenai masalah ini,”Perbedaan adalah perilaku tercela dalam syariat Islam. Yang wajib dilakukan adalah sebisa mungkin berupaya untuk terbebas dari kondisi tersebut. Sebab kondisi ini merupakan faktor lemahnya umat. <br /> Adapun hadis sahih yang berkaitan dengan konteks masalah di atas, adalah hadis Al-Bukhari yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,”Aku pernah mendengar bacaan ayat (Al-Quran) seorang lelaki yang berbeda dari yang aku dengar dari Nabi. Aku kemudian lalu memegang tangannya, lalu menghadap Rasulullah bersamanya. Rasulullah berkata: Kalian berdua baik.”<br /> Syu’bah berkata,”Aku menduga Rasul mengatakan: Janganlah kalian berselisih paham. Sungguh, terdapat kaum sebelum kalian yang berselisih paham, (akhirnya) mereka musnah.”<br /> Di akhir penjelasannya DR Muhammad Fuad Syakir mengatakan: Perbedaan yang terlarang adalah sikap bermusuhan dan mencari-cari kesalahan. Sedangkan perbedaan pendapat mengenai suatu teori tidak dipermasalahkan. Oleh karena itu Rasulullah berkata,”Kalian berdua baik,” kepada Ibnu Mas’ud dan si lelaki pembaca Al-Quran, padahal keduanya berselisih paham dalam bacaan.<br /> Mat Belatong dan Ketuk (sapaan akrab: Mat Ketumbi) bingung. Apakah penetapan akhir Ramadan (permulaan Syawal) yang berbeda itu termasuk: berselisih paham mengenai sebuah teori, berselisih paham dalam bacaan, yang dibolehkan?<br /> Mereka tak mau ambil resiko, karena memang tak punya ilmu tentang hal itu. Rukyat tak mudah, hisab pun payah. Ada lembaga yang sangat berkompeten dalam hal ini yaitu: Departemen Agama RI, dan MUI. Mereka punya ahli yang cakap di bidangnya, sengaja dibentuk oleh Pemerintah RI, sengaja ditunjuk oleh kalangan ulama Islam di Indonesia. Depag dan MUI seyogianya yang paling pantas mengeluarkan fatwa untuk kalangan muslim di Indonesia, sehingga umat muslim tidak terombang-ambing di antara pendapat yang berbeda, tidak salat Id di dua, tiga atau empat masa. Umat Islam pun seyogianya tidak lebih fanatik kepada aliran atau organisasi massa daripada Departemen Agama dan Majelis Ulama! Begitulah kira-kira “impian” Mat Belatong dan Ketuk yang: pintar belom sampai, bodo dah lepas. Meski dengan kadar otak pas-pasan, bukan mereka tak berpikir tatkala melihat kenyataan: satu akidah, bersepakat payah! <br /> Kalau sekadar Rahmat yang berbeda pendapat: lumrah. Ada Rahmad Sugandi, ada Rahmat Kalifah, ada Rahmat Barzanji, ada si Amat yang dah balik ke rahmatullah. Ada fardu ain, ada fardu kifayah, pemimpin berpilah, rakyat susah. Katak di bawah tempurung, ulama tak kompak umat bingung! ***<br /><br /> (Pontianak, 19 Oktober 2007).<br /><br />versi cetak dimuat Borneo Tribune (21/10)<br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-90009433581063318892007-10-10T01:33:00.000-07:002007-10-10T01:35:07.685-07:00Ketuk Sudah Diakui MelayuOleh A.Halim R<br /><br /> PAGI hari itu, dalam acara coffee morning Mat Belatong dan Ketuk (sapaan akrab: Mat Ketumbi), si Ketuk menyatakan kegembiraannya, bahwa ia diundang dan hadir dalam acara Halal Bihalal MABM (Majelis Adat Budaya Melayu) Kalbar yang diselenggarakan Sabtu 25 November 2006, pukul 14.00 WIB di Balairungsari Rumah Melayu, Kota Baru Pontianak.<br /><span class="fullpost"><br />“Bagos gak acara tu diadekan tengah hari bedengkang, dah lepas jam makan. Tak perlu ngasik orang makan, dan ana pon ade gak waktu untok besalen oplet berape kali dari Paret Kalot Ribot ni ke Kota Baru,” ucap Ketuk.<br /> “Dengan adenye undangan itu, awak udah sah diakuek sebagai warga Melayu Ketuk, bukan agik golongan salamander: ikan bukan, katak pon bukan!” jawab Mat Belatong.<br /> “Iye Jon, kalau ana tinggal di Paret Wak Katak, tentulah ana ni katak. Kalau tinggal di Pulau Nyamok, tentulah ana ni bangse agas!” jawab Ketuk agak tersungging.<br /> Mat Belatong tertawa, sambil menghembuskan asap rokok, berbentuk kue donat atau 0. Ketuk makin ngesak. Ditepaunya bulatan-bulatan asap itu hingga berantakan!<br /> “Jon, soal identitas dan jati diri penting Jon! Ana paling tak maok jadi iyuk kiye-kiye. Dipandang ekok macam iyuk, dipandang depan macam ikan parik!” ucap Ketuk.<br /> “ Iye Ketuk, awak memang bukan golongan iyuk, tapi golongan parik. Cobe gak awak becermen, muke awak kasap macam kulet parik,” jawab Mat Belatong sambil tertawa.<br /> Setelah berpikir sejenak, Ketuk berkata,”Mule-mule, ana ni ragu gak. Apeke ana ni diundang sebagai warga Melayu, atau warga ape. Sebab ana tengok, yang hader di Balairong Melayu tu ade gak orang Cine, Mendure, Buges, Sundak, entah ape agik. Ade gak Acui Simanjaya dari Forum Lintas Etnis.”<br /> “Waktu organisasi-organisasi tu disebot oleh Abang Imien Thaha, semue ketue-ketuenye bediri. Ana pon dah siap-siap gak nak bediri, kalau disebot dari Forum Lintas Batas, atau Lintas Kapuas, kalau tak ade yang maok bediri! Barangkali di situk letak ana! Sebab yang namenye forum sekarang ni, bukan agik betepek, dah belampar macam orang jual buah jering (jengkol). Bau dan rupe dah macam-macam!” tambah Ketuk.<br /> Mat Belatong tertawa.<br /> “Lalu ana tengok undangan ana,” lanjut Ketuk,” yang ditules cume name ana tanpa embel-embel organisasi. Aa, udahlah piker ana, tentulah ana ni digolongkan ke dalam grup Melayu, walaupon baju telok belangak dan kaen corak insang ana tak nyimpan!”<br /> “Hebat awak Ketuk, dah masok majeles! Lalu ape jak cerite hari itu yang menarek?” ucap Mat Belatong. <br /> Si Ketuk tertawa. Kemudian ia berkata,”Hadirin ngelakak ketawak Jon, waktu MC kesasol ngomong: Kepada Bapak Datok Haji Abang Imien Thaha kami persilahkan! Sampai ade undangan yang tekeruk-keruk ketawak sambel ngomong: Ini bapaknye atauke datoknye yang dipersilahkan!? Ade pulak yang bekate: Udah disebot Datok, Datok jaklah, jangan agik disebot Bapak. Sadar dengan kesalahannye, MC perempuan yang poreh tu tak agik nyebot Bapak, tapi Datok jak!”<br /> Mat Belatong tekial-kial tertawa, dan berucap,”Inilah Ketuk, salah satu contoh, macam mane susahnye orang Melayu nak menunjokkan identitas diriknye Melayu. Ngomong pon dah salah-salah -- sampai sangsot -- tak ingat agik dengan bahase awak sorang! Hilang kepribadian terseret arus globalisasi!”<br /> Lebih lanjut Mat Belatong berkata,”Kite beduak Ketuk, diakuek Melayu ataupon bukan, tapi lewat halaman ini udah melakukan sikit upaya – kalau tak layak disebot perjuangan kecik -- bagi kemaslahatan Melayu. Kite cobe memasokkan dialek Melayu ke halaman koran, cobe ngasik identitas bagi sebuah koran yang terbet di daerah ini. Cobe mengetengahkan kembali susonan atau ragam kalimat Melayu yang asli, bukan sekadar mengaleh kalimat bahasa Indonesia ke ‘bahasa Melayu’ dengan care mengganti huruf a menjadi e. Pon kite cobe menimbolkan kembali, memperkenalkan kembali khazanah kosa kata Melayu lamak yang udah terpendam, terlupakan, terkikis oleh zaman. Mudah-mudahan ape yang kite buat ade maknenye, walaupon oleh cerdik-cendekia daerah ini dipandang sebelah mate pon tadak! Tak perlu kecik ati, sebab kite berkomunikasi dengan masyarakat Kalbar, sekaligus memperkenalkan dialek Melayu kepada masyarakat luar!”<br /> Ketuk terdiam. Benarkah ia telah berjuang untuk Melayu? Ngomong setiap pagi sambil minum kopi, bisakah menjadi pahlawan? Pahlawan atau bukan, yang penting: semoga saja ia bukan tergolong orang yang mengatasnamakan Melayu, menunggangi masyarakat Melayu untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. <br /> Melihat Ketuk diam, Mat Belatong berkata,”Ape agik Ketuk yang lucu-lucu hari itu!?”<br /> Setelah menghela napas panjang, Ketuk berucap,”Gubernur Usman Jafar memberikan ‘pemaparan’ tentang keberhasilan yang telah dicapai Kalbar selama masa jabatannya dalam kurun waktu sekitar empat setengah tahun terakhir ini. Termasoklah keberhasilan memperoleh penghargaan dari Presiden SBY dalam hal: ketahanan pangan! Kalbar udah swasembada pangan, udah tak perlu agik mendatangkan beras dari luar! Di buntot ‘pemaparan’ itu Pak Gubernur sempat pulak ngomong: Ini bukan kampanye!” <br /> Mendengar cerita Ketuk itu, Mat Belatong berucap,”Ndakke awak ade cerite Ketuk, enam ribu masyarakat Kecamatan Serawai dan Embalau di Kabupaten Sintang terancam lapar tegal gagal panen akibat serangan belalang!?”<br /> Tertawa, Ketuk menjawab,”Aa, iye Jon! Di tengah kecukupan pangan, ade sekelompok rakyat yang lapar! Di sebelah rumah orang yang makan kenyang, ade tetangga yang kebuloran dan busong lapar!”<br /> “Ituke yang namenye ketahanan pangan, sementara menghadapi serangan Tuanku Buntak dan laskar hama tak berdaya!? Belum lagi terhadap kondisi alam dan perubahan cuaca yang sukar dibaca!” tambah Mat Belatong. “Itu ketahanan pangan yang rentan, sebab sewaktu-waktu bise tebalek jadi kelaparan! Mestikah kita tak perlu impor beras untuk berjaga-jaga? Jangan berjudi dan bermain-main dengan perut rakyat!” lanjutnya.<br /> Kemudian Mat Belatong bercerita,”Di Jawe, Ketuk, saking takotnye petani terhadap hama tikus, sampai tak berani nyebot tikos tu tikos. Sampai-sampai tikos disebot: Den Bagus! Same dengan awan panas yang meluncor dari kepundan Merapi, lalu disebot: wedhus gembel atau kambing miskin! Jadi kalau si Parto Japon tu ngomong dengan awak: Monggo Den Bagus, jangan nak bangge! Mungkin awak perlu balas dengan kalimat: Inje celurut! Awak tikos, die celurut!” <br /> “Jon, jadi-jadilah ngolok tu,” jawab Ketuk,”ape hubongannye segale macam hama tu dengan ana!? Ape ente nak ngamalkan ilmu sakat ala Nu’aiman bin Amru al-Anshari itu!? Sampai kawan pon dijualnye, ditukar dengan onte!? Untong jak ade Abu Bakar ngambek balek!”<br /> Mat Belatong tertawa. Kemudian ia berkata,”Ketuk, sayang kawan dicanda-canda, sayang anak ditimang-timang. Dan kite yang tak punye ni Ketuk, kadang-kadang dianggap hama oleh mereka yang kaya dan mapan. Nengok kite jak die nyingker, dikirenye kite ni nak mintak, nak merampok jak! Padahal tak semua orang miskin bersedia meletakkan tangan di bawah. Rasulullah jak tak mau makan sedekah, kecuali sedikit dari barang hadiah, selebihnya disedekahkan lagi!”<br /> Ketuk diam, tampak berpikir. Setelah itu ia berkata,”Malah para pejabat dan aparat yang ana tengok banyak mengamalkan prinsip ‘kecik telapak tangan, parabola ditadahkan’ terhadap pemberian sopoi dan sogok dari para bos dan tauke curang. Duet dari bos peternak babi, agen miras, bandar judi pon dilantak. Tak peduli haram dan subhat! Padahal Rasulullah berkata: Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu pada suatu kaum, maka Allah juga mengharamkan hasil penjualannya.”<br /> Mat Belatong balik terdiam. Dalil yang dicari-carinya dari sejumlah kitab -- namun tak bertemu -- ternyata dengan ringan meluncur dari mulut Ketuk!<br /> Ketuk yang dikatakannya bermuka kasap seperti kulit pari, ternyata bermulut bagaikan mata air sumber hikmah!<br /> Melihat rekannya diam, Ketuk mengeluarkan pitutur,”Melayu dan adat budayanya, hanyalah sebuah pigmen dari warna-warni pelangi dunia. Dia perlu ada, demikian juga pigmen warna lainnya, agar tercipta pelangi dunia yang indah. Lewat warna-warni pelangi dunia itu, insan disuruh membaca tentang: sebuah maha kreativitas dari Sang Maha Pencipta, Sang Maha Maestro! Tak satu berhak menyingkirkan yang lainnya, tak satu berhak merasa mulia dari yang lainnya. Tatkala kincir pelangi berputar di tangan Allah, yang ada hanya satu warna: putih! Sirna warna, sirna rupa, sirna beda! Capailah itu, masuklah ke dalam kalbu masing-masing. Tatkala telah diketahui hakikat warna-warni dunia -- hakikat diri -- niscaya semua makhluk bisa ditatap dengan rasa cinta dan kasih-sayang!” <br /> Mat Belatong ternganga. Tampak di matanya, muka Ketuk tidak lagi kasap, tapi bercahaya! ***<br /> <br /> ( Pontianak, 03 Desember 2006 )<br />Versi cetak dimuat di harian Borneo Tribune, tanggal 7 Oktober 2007<br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-56178867165180488432007-09-29T09:39:00.000-07:002007-09-29T09:40:28.728-07:00Cerita Naik HajiOleh A.Halim R<br /><br /> QUOTA yang ditetapkan oleh Depag RI bagi jamaah haji Kalbar tahun 2007 (1428 H) ini adalah sebanyak 2.314 orang. Sementara yang mendaftar untuk naik haji sudah belonggok. <span class="fullpost">Apa boleh buat bila 6.800 jamaah terpaksa menunggu: antre! Kalau dihitung-hitung, menurut Kakandepag Kalbar Drs H Rasmi Satar, yang antre naik haji baru tuntas pemberangkatannya pada tahun 2010. Entah berapa ribu lagi yang bakal antre berikutnya. Mungkin karena “penggemar” naik haji terlalu besar, maka Depag RI mengeluarkan kebijaksanaan: yang sudah pernah naik haji jangan mendaftar lagi! Beri kesempatan kepada yang belum pernah melaksanakannya.<br /> Seorang teman Mat Belatong yang biasa ngengkol sepeda tiap Jumat dari kawasan Kota Baru ke Masjid Mujahiddin Pontianak, beberapa waktu menghilang. Tahu-tahu muncul lagi di masjid mengenakan gamis! Rupanya dia ikut naik haji pada musim haji tahun 2006 (1427 H) lalu! Rupanya naik haji bukan tergantung orang bermobil atau bersepeda, bukan mesti pejabat dan orang kaya. Yang berkelindan becek di pasar ikan bisa naik haji juga!<br /> “Ade gak ente merase kelaparan di padang Arafah, seperti yang diberitekan di tivi dan dikelohkan banyak jamaah haji tu?” tanya Mat Belatong menggamit lutut kawan yang bergamis. Ternyata jawabannya enteng,”Ah, itulah orang kite. Kalau tak makan nasik tetap bekabar belom makan. Sehingge, dah makan barang laen pon maseh terase lapar!” Nyaris Mat Belatong ngelakak tertawa di dalam masjid.<br /> Tatkala mengantar mayat seorang rekan ke kuburan, Mat Belatong berkata kepada temannya yang biasa disapa Yos Dolly. Nama sebenarnya Yusof Dolek, tetapi karena punya grup orkes dangdut, namanya di-selebritis-kannya menjadi: Yos Dolly. <br /> “Jon, ente dah cukop, pegilah!” ucap Mat Belatong. Sang rekan menjawab,”Pegi kemane?” Mat Belatong menjawab,”Mekah!”<br /> Yos Dolly menjawab,”Aa, iyelah nantiklah ana mendaftar untok berangkat tahon depan.”<br /> “Merampot jak nak berangkat tahon depan. Naek haji sekarang ni antre. Mendaftar sekarang bise-bise baru berangkat 2 – 3 tahon agik! Bagosnye ente umrah jak dolok laki-bini, ongkosnye sekitar 10 – 12 juta satu orang. Ade pemberangkatan umrah tiap bulan sekarang ni!” ujar Mat Belatong. <br /> Yos Dolly tampak berpikir. ”Aa, iye. Kalau dah macam itu, bile agik nak berangkat,” ucapnya sembari menunjuk ke kuburan teman yang tengah ditimbus tanah. Sebab usia yang dikubur, Yos Dolly dan Mat Belatong hampir sebaya. <br /> Percakapan di kuburan ini diceritakan kembali oleh Mat Belatong kepada Boy, anaknya. Kebetulan habis Jumatan, Mat Belatong mampir ke rumah anaknya yang telah berumah-tangga sendiri: rindu kepada cucu.<br /> Anaknya tampak berpikir, setelah mendengar cerita tersebut. Kemudian anaknya berkata,”Kalau begitu Boy berangkatkan jaklah mak mertue Boy untok umrah. Kalau ndak, bise-bise jadi penyesalan. Sebab orang tue tu malar jak becakap: Anak aku yang mane jak yang bise memberangkatkan aku pegi haji. Bagos diumrahkan jak dolok.” <br /> Ketika ibu mertuanya diberi tahu, berangkat umrah minggu depan, betapa kagetnya perempuan yang usianya telah kepala enam itu. “Aku kepengen naek haji bukan umrah!” ucap orang tua itu. “Udah, ibu berangkat umrah dolok. Soal naek haji belakangan, kalau ade duet baru naek haji,” balas Boy.<br /> Tekacal-ganyahlah orang tua itu, karena tiba-tiba saja harus ke Tanah Suci yang diidamkan.<br /> Belum pulang ibu mertuanya dari Tanah Suci, Boy sudah bermimpi: dirinya mengenakan pakaian ihram, melakukan tawaf mengelilingi kakbah! <br /> Abdullah ibn Mubarak (lahir: 736 M – ayahnya Turki, ibunya Persia) dalam tidurnya di Mekah setelah menunaikan ibadah haji, bermimpi didatangi dua orang malaikat. Ia bertanya kepada malaikat itu,”Berapa orang yang diterima hajinya kali ini?” Malaikat menjawab,”Tak seorang pun, kecuali seorang kuli di Damaskus yang bernama Ali ibn Mawaffaq yang tak jadi berangkat haji!”<br /> Pulang dari Mekah, Abdullah ibn Mubarak langsung ke Damaskus mencari Ali ibn Muwaffaq. Ketika bertemu, Abdullah menceritakan tentang mimpinya. Dan ia bertanya, apa “keistimewaan” yang telah diperbuat oleh Ali ibn Mawaffaq.<br /> Ali ibn Mawaffaq bercerita: Sudah 30 tahun aku ingin menunaikan ibadah haji. Aku menabung 350 dirham dari setiap hasil kerjaku. Tahun ini aku berniat berangkat menunaikan ibadah haji. Pada suatu hari ada seorang wanita baik-baik yang sedang hamil mencium bau masakan dari rumah tetangganya. Ia berkata kepadaku,”Pergilah ke sana dan mintakan sedikit makanan tetangga itu untukku.” Aku mendatangi rumah tetangganya itu, dan menerangkan maksud kedatanganku. Tetangganya itu justru meneteskan air mata. Ia berkata,”Semua anakku tidak makan selama tiga hari. Dan tadi aku melihat seekor keledai mati, lalu kuambil, kupotong dan kumasak. Makanan itu tidak halal untukmu!” Aku jadi gelisah mendengar ucapan ini. Kemudian aku mengeluarkan 350 dirham yang rencananya untuk ongkos ke Mekah. Saya memberikan uang itu kepadanya sembari berkata: Belanjakanlah uang ini untuk anak-anakmu. Inilah hajiku!<br /> Syaikh Abu Yazid Al-Busthami (wafat: 877 M) suatu ketika dalam perjalanannya berpapasan dengan seorang lelaki miskin. “Kemana engkau mau pergi?” tanya lelaki itu. “Mau menunaikan ibadah haji,” jawab Abu Yazid. “Berapa bekal yang engkau bawa?” tanya lelaki itu. “Dua ratus dirham,” jawab Abu Yazid. “Berikan uang itu kepadaku,” pinta lelaki itu,”aku seorang lelaki miskin yang menanggung satu keluarga. Kelilingilah aku tujuh kali, itulah hajimu!”<br /> Abu Yazid melakukan apa yang diminta oleh lelaki miskin itu. Ia sadar, menolong sesama yang sedang memerlukan sekali lebih berarti di mata Allah dibandingkan menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia lalu balik ke rumahnya, mengurungkan niat berhaji.<br /> Sufyan Al-Tsauri (lahir: 715 M di Kufah) telah 40 kali naik haji. Pada suatu hari ia bertemu dengan seorang pemuda yang mengeluh karena tak mampu melaksanakan ibadah haji. Melihat keadaan tersebut, Sufyan berkata,”Aku telah 40 kali melaksanakan ibadah haji. Aku akan melimpahkan semua ibadah hajiku kepadamu. Maukah engkau melimpahkan keluhan itu kepadaku?”<br /> “Ya, aku bersedia,” jawab pemuda itu.<br /> Pada suatu malam Sufyan bermimpi, ada suara yang berkata: Engkau telah beruntung dalam transaksi itu. Bila keuntungan itu dibagi-bagikan kepada semua jamaah haji yang hadir di padang Arafah, maka mereka akan menjadi kaya!” *** <br /><br />Tegur-sapa: telp (0561) 771770 – HP 085252000995 <br /><br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-74872277551497036682007-09-22T09:48:00.001-07:002007-09-27T09:19:40.280-07:00Mat Belatong dan SMS Ramadan<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirJDmsfH0DbMn4oLif9rFl6wiMiKLLBhJGdRva3Ui9vSj66tLJeb3VrtQ_bxa-ueflfRvt8Awqsr-EqNavRpm7LVCdDQKEN4rPWvmnDKEiL7pR1ARaIz-AyT0Eut56S33r5xoHNaCEjUl2/s1600-h/Matbelatong.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirJDmsfH0DbMn4oLif9rFl6wiMiKLLBhJGdRva3Ui9vSj66tLJeb3VrtQ_bxa-ueflfRvt8Awqsr-EqNavRpm7LVCdDQKEN4rPWvmnDKEiL7pR1ARaIz-AyT0Eut56S33r5xoHNaCEjUl2/s200/Matbelatong.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5113803977303223858" /></a><br />Oleh A. Halim R<br /><br />SEBUAH kegembiraan lain dirasakan Mat Belatong tatkala menyambut bulan Ramadan 1428 H. Di HP-nya betepek ucapan: Marhaban ya Ramadan dst. Di dunia maya – angkasa – bertaburan getaran elekronik yang dikirim oleh para tukang pantun, tukang syair dan pujangga dadakan. Pesan-pesan tersebut di antaranya ada yang tertuju ke telefon genggam milik Mat Belatong. Ia yang belum lama keluar dari “bawah tempurung” untuk memasuki “era ponsel” membenarkan ucapan Mat Ketumbi alias Ketuk sahabat kentalnya. “HP banyak gunenye Jon! Kalau ente sesat mudah orang ncarik, kalau ente kemane-mane ana gampang monitor,” ucap Ketuk.<span class="fullpost"><br />Awal-awal ber-HP ia mendapat SMS dari Ketuk,”Posisi ente di mane Jon?” Mat Belatong menjawab,”Di depan tivi, mendengar berite gempa!” Ketuk ngesak, sebab “posisi” maksudnya: berada di mana, di pasar, di warung kopi si Ameng atau di rumah!<br />Untuk membalas kekesalan hatinya Ketuk SMS lagi,”Tivi ente merek ape, berape inci, antene model ape?!” Mendapat pertanyaan seperti itu, Mat Belatong “naik spaning”, langsung ngebel dan ngomong,”Celake ape awak betanyak soal tivi, soal antenna. Memangnye awak tak pernah masok ke romah aku, nengok tivi aku?! Butakke ape!?” Ketuk tekeruk-keruk ketawa di depan HP-nya. Mat Belatong makin ngesak dan mematikan HP-nya ketimbang membuang-buang pulsa.<br />Menyambut awal Ramadan, Mat Belatong iseng-iseng mengirim SMS kepada Ketuk. Isinya sama dengan SMS untuk dikirim atau untuk membalas SMS Ramadan yang masuk ke HP-nya: Marhaban ya Ramadan – bulan yang penuh berkah. Kami sekeluarga mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa, semoga kita dilimpahi rahmat, rida, taufik, hidayah, maghfirah dan kesehatan ruhani-jasmani yang prima. Mohon maaf lahir-batin. Wass wr wb.<br />Kalimat SMS itu bukan orisinil buah pikirannya, melainkan di-edit dari salah satu SMS yang masuk ke HP-nya.<br />Ketuk langsung membalas: Maaf, Anda salah sambung. Nama saya bukan Marhaban atau Ramadan.<br />Mendapat jawaban seperti itu, Mat Belatong ngesak. “Ketuk celake nak mampos! Orang ngirem SMS bagos-bagos, dijawabnye macam celake! Nempah budak tu!” omel Mat Belatong.<br />Mendengar suaminya beleter, Laila istri Mat Belatong coba menyabarkannya. Ia merunut kembali pokok-pangkal persoalan. Akhirnya ia berkata,”Mungkin nomor itu bukan nomor Ketuk agik Bang. Mungkin gak Ketuk dah menjual HP sekalian kartunye dengan kawan-kawan si Ameng yang nonmuslim!”<br />“Ketuk tu memang celake. Kalau HP dah dijual, kasik tahulah aku, ndakke die tiap ari ke sinik!” ucap Mat Belatong masih ngangat.<br />Belum hilang cerita manas-nya, tiba-tiba Ketuk muncul di muka pintu, mengucap salam,”Assalamu alaikum!” Walaupun masih manas, Mat Belatong terpaksa menjawab salam tersebut: karena menjawab salam hukumnya wajib, memberi salam hukumnya sunat. “Ketuk celake, dah kau jualke ape HP burok kau tu!” sambungnya.<br />Ketuk ngelakak tertawa. “Kalau ade yang nak beli mahal, boleh ana jual. Barang antik tu Jon!” jawab Ketuk sambil tertawa.<br />“Kalau belom dijual, ngape pulak awak jawab SMS aku macam itu!?” sambar Mat Belatong. Ketuk kembali tekeruk-keruk ketawa. Sambil memegang perutnya menahan tawa, Ketuk berkata,”Ente ni yang beragam, ngirem SMS macam itu ke ana! Ndakke kite ni tiap ari betemu. Ucapkan sekarang kalimat itu ke ana, tak osah pakai SMS.”<br />Mat Belatong terdiam. Kemudian ia berpikir: mengucap “marhaban ya Ramadan” kepada orang yang jauh, kepada yang dekat tak terucapkan! Tidakkah ini sebuah kelalaian: baru kunjung-mengunjungi dan bermaaf-maafan setelah lebaran! Waktu bersempit-sempitan di tengah arena dan gaung takbir salat Id orang tak mau berkenalan dan bersalaman sesama ikhwan. Usai khutbah: bedebu balek! Pertanda apa ini?<br />Kini, beragam pesan singkat berupa ucapan selamat menyambut Marhaban, eh Ramadan bisa dikirim kepada saudara, handai-tolan lewat SMS. Ada yang berupa pantun, syair maupun kalimat-kalimat puitis. Ternyata pantun dan syair – karya sastra zaman Tok Adam – bisa berjalan seiring dengan kemajuan teknologi, tidak mati tergilas globalisasi! Termasuk “ikan sepat, ikan gabos”-pun bisa masuk HP! Celakanya, karena belum mahir memencet tombol HP, yang dialami Mat Belatong: nak cepat, jadi terapos!<br />Dari seorang pelukis wanita di Bali, Mat Belatong menerima SMS berbunyi: Ikrar penyelamat adalah “sahadat”, senam paling menyehatkan “salat”, hadiah paling baik “zakat”, diet paling sempurna “puasa”, perjalanan paling indah “haji”, media paling mulia “Al-Quran, lagu paling indah “azan”, mandi paling bersih “wudu”, khayalan paling baik “zikir dan taubat”, doa paling bermanfaat “salawat”, hati paling bersih tanpa “prasangka buruk”, insan terpuji “mutaki”.<br />Mendapat SMS itu Mat Belatong termenung. Pelukis wanita yang kesehariannya itu seperti tak ambil pusing soal agama – dan biasa dicandainya – kini menasihatinya! Mulia dan berat harapannya kepada Mat Belatong. Ternyata secara diam-diam ia berharap Mat Belatong menjadi seorang muslim yang “kaffah” – totalitas! Ia tak ingin sahabatnya: masok nerake!<br />Tergagap-gagap Mat Belatong balas menulis: Makkaseh Lia atas petunjok dan siraman ruhaninye. Semoge semuenye itu dapat saye lakukan satu demi satu, tahap demi tahap. Selamat menjalankan ibadah puase, mohon maaf laher-baten, wass wr wb.<br />Dari sekian banyak SMS karya pujangga dadakan – kalau bukan musiman – yang masuk ke HP Mat Belatong, yang paling mengesankan adalah SMS dari Sultan Sintang. Bunyinya begini: Ass wr wb. Ya Allah muliakanlah Saudaraku ini, bahagiakan keluarganya, berkahi rezekinya & kesehatannya, kuatkan imannya, tinggikan derajatnya, eratkan tali persaudaraan kami & kabulkan doanya. Dalam menyambut bulan suci Ramadan, mohon dibukakan pintu maaf buat kami & keluarga. Amin ya Rabbal alamin. Wassalam Sultan Sintang.<br />Ketuk juga mendapat SMS yang sama. “Jon,” ucap Ketuk,”Tuanku Sultan mendoekan kite, mintak kepada Allah agar kite beduak dimuliakan, ditinggikan derajat!” Mat Belatong menjawab,”Amin, mudah-mudahan dikabolkan Allah. Sebab selamak ini tak pernah ade pejabat tinggi yang mendoekan kite, malar kite jak diajak khatib nadahkan tangan untok mendoekan para pemimpin dan pembesar.”<br />Ketuk ngelakak tertawa, kemudian berkata,”Kalau kite beduak dah menjadi orang mulia dan berderajat tinggi, lalu ape kerje kite Jon?” Mat Belatong langsung menjawab,”Tinggal bekipas jak, tesandar di korsi burok!”<br />Ketuk protes,”Kalau maseh bekipas, maseh dudok di korsi burok, ape gak bedenye dengan sekarang?” Mendengar ucapan Ketuk, Mat Belatong langsung menukas,”Udah Ketuk, Tuanku Sultan bukan bedoe atau mintak kepada gubernur, tapi kepada Allah. Kalau mintak dengan gubernur, boleh awak berharap kipas berganti AC, kursi burok berganti sofa. Mintak kepada Allah tentu laen maknanye. Mane yang awak pileh, bekipas dengan AC, dudok di korsi legislatif, atau mulia dan berderajat tinggi di sisi Allah!?”<br />Sambil tertunduk dan mengangguk-angguk Ketuk menjawab,”Iyelah kalau begitu. Rasulullah jak tak bekorsi, tak bekipas. Di romah, kalau kepanasan, paling bukak baju.”<br />Seorang wartawan muda mengirim SMA, eh SMS: Si Hamdan kerje di media massa, Cek Mat kerje di Malaysia, bulan Ramadan telah tiba, selamat menjalankan ibadah puasa.<br />Mat Belatong tekeruk-keruk tertawa. Sempat-sempatnya ia memasukkan si Hamdan dan Cek Mat yang sudah innalillah itu ke dalam HP-nya. Tapi mungkin Hamdan dan Cek Mat yang lain.<br />Ade jak ide budak-budak tu mbuat “joke” menyambut Ramadan, pikir Mat Belatong. Namun dari kesemua SMS yang masuk itu – dari yang serius hingga yang lucu, dari yang bagus hingga yang rancu (macam: pantun si Tukul – pen) – Mat Belatong menyimpulkan, bahwa kesemuanya berharap: Mat Belatong puasa, jangan tak puasa! Semuanya berharap ia selamat dalam menjalankan ibadah puasa, bukan mendapat musibah karena puasa. Tak ada yang mengharapkan rumahnya roboh kena gempa ketika berpuasa. ***<br /><br />(Pontianak, 15 September 2007 ).<br />Tegur-sapa: Telf (0561) 771770 – HP 085252000995.<br /><br />Versi cetak muat di Borneo Tribune, Minggu 23 September 2007<br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-28926454843512545042007-09-22T09:42:00.000-07:002007-09-27T09:18:50.291-07:00Mat Belatong dan Kurma<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZjsljNfTAI9KDqo7pdwrPCElMd8CAacEXbBq65VeVRolzzOKx3iEkQz1mKhTUm3h4Edq1S3kVqnVqHBfLxfzUwA_yufHWZpPfmVY43KjH0g94nSe-h37TMPS-y1M6zuXOUFtPSg8mCu9e/s1600-h/Matbelatong.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZjsljNfTAI9KDqo7pdwrPCElMd8CAacEXbBq65VeVRolzzOKx3iEkQz1mKhTUm3h4Edq1S3kVqnVqHBfLxfzUwA_yufHWZpPfmVY43KjH0g94nSe-h37TMPS-y1M6zuXOUFtPSg8mCu9e/s200/Matbelatong.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5113804999505440338" /></a><br />Oleh A.Halim R<br /><br />KARENA hidupnya bersahaja, Mat Belatong tak pernah berkeinginan yang “neka-neka”. Bahkan untuk makan sehari-hari saja, ia tidak ingin mengatur istrinya untuk membeli ini dan itu untuk lauk-pauk mereka. Tatkala ada sesuatu keinginan yang berkenaan dengan makanan yang terbit dari seleranya, ia segera membunuhnya dan melupakannya. Kendati bukan orang Arab, ia menyenangi buah kurma – tanpa pernah mengatakannya kepada seseorang pun – melainkan hanyalah setelah tulisan ini.<span class="fullpost"><br />Suatu hari, ia mendapat dua kotak (kemasan) buah kurma dari Bujang Rambo. Bagus, empuk dan tidak lengket. <br />Setelah memakan beberapa butir kurma itu, ia berkata kepada istrinya,”Korme ni bagos.Tengok mereknye, tengok di mane Bujang tu beli.”<br />Nurlaila istrinya mengamati kemasan kurma itu. Ada tertera harga Rp 6.000,- ada merek Mall Mataso!<br />Cerita kurma yang satu ini selesai tak berbuntut, sampai kurma itu pesai dimakan Mat Belatong 4 – 5 butir sehari. Hari-hari selanjutnya tak ada kurma yang muncul! Ada sesuatu yang tak koneks: tak nyambung. Padahal tatkala mengatakan kalimat tersebut kepada istrinya, di hati Mat Belatong: ada “udang di balik batu”. Maksudnya: Cobe gak beli korme macam ini untok aku! <br />Ia “menyembunyikan” kehendaknya, keinginannya, dengan kalimat seperti itu. Tidak berkata langsung: Beli korme yang macam ini untok aku!<br />Bahwa kemudian ternyata tak sebutir kurma pun yang dibelikan istrinya, bahwa “kalimat terselubung”-nya tak nyambung: tak ada urusannya lagi. Itu urusan Allah! Biarlah ia “terliur-liur”, itu pun Allah yang mengatur!<br />Beberapa hari sebelum tanggal 1 Ramadan 1428 H, Mat Belatong kedatangan tamu H Amrannurrahim Al-Ayyubi, abang sepupunya. Pembaca jangan panik, kalau mendengar Mat Belatong bersepupu dengan seorang zuriat Al-Ayyubi yang seakan masih bernasab dengan seorang panglima perang Islam masa lampau: Salahuddin Al-Ayyubi. Sebab Mat Belatong sendiri kalau ditelusur-galur bernama:Ahmad ibnu Ramli Al-Rasyid! Seakan masih punya alur kekeluargaan dengan Sultan Harun Al-Rasyid – Khalifah Baghdad – yang sering “dialoi” oleh Abu Nawas! Masalah ini tak perlu dipusingkan, sebab nasab dan nasib orang memang bermacam-ragam. Dan bukankah semua manusia itu tergolong: Bani Adam!? Termasuk Bani Israil, yang tukang bunuh orang Palestina itu.<br />Kembali ke kurma, gesah punya gesah akhirnya pembicaraan antara Al-Ayyubi dan Al-Rasyid sampai ke soal puasa, pasar juadah, dan berbuka puasa. Mat Belatong Al-Rasyid menyinggung, betapa dalam kehidupan sehari-harinya ia selalu berperang melawan hawa nafsu. Sehingga tak aneh bila selalu: tutup pintu! Takut nafsu nyelonong masuk! Si nafsu itu memang benar: musuh manusia nomor satu! Sampai-sampai ia sendiri tak ingin memasukkan “keinginan”-nya ke dalam daftar menu sehari-hari di rumah mereka, apalagi menu untuk berbuka puasa.<br />“Aek puteh…pon jadilah,” ucapnya. Padahal tatkala mengucapkan kalimat ini, ada keinginannya untuk menambah pula dengan: 2 – 3 butir kurma. Tapi “kurma” tak dilisankannya, cuma ada di dalam hati. Ia membunuh keinginannya, karena tak ingin memperturutkan “nafsu”-nya berbuka puasa dengan buah kurma.<br />Tak sampai satu jam setelah Al-Ayyubi pulang, Mat Belatong kedatangan tamu: Jamil Al-Beting (dari: Kampung Beting!). Kedatangannya hanya sekadar mengantar sebuah kotak yang berisi: kurma!<br />Mat Belatong terperangah menyaksikan “kerja Allah”. Berkali-kali terbukti, bila ia membunuh kehendak seleranya untuk memakan sesuatu: Allah “mengupah”-nya dengan sesuatu itu! Sesuatu mendatanginya tanpa perlu dicari dan dibeli!<br />Usai salat isyak, Mat Belatong membuka kotak kurma tersebut dan memakan beberapa butir. Alamak, kurma yang sangat bagus: lunak dan lemak! Daging buahnya tebal dan tidak lengket. Serasa kurma Madinah!<br />Mat Belatong mengamati kotak kurma yang berukuran sekitar 23 x 10 x 4,5 cm itu. Di kemasannya tertulis besar: Bamdates. Di salah satu sisinya tertulis: No Preservatives, No Additives, Packed & Exported by Badr Day Co – Tehran, Iran! Wow, ia telah mendapat kurma dari negeri para Mullah dan Ayatollah!<br />Mat Belatong segera menghubungi Jamil Al-Beting lewat telepon. “Mel, di mane awak beli korme tu Mel!?” tanyanya. Jamil bertanya,”Ngape Bang Mat?” Mat Belatong menjawab,”Korme tu bagos, lemak sekali. Di mane aku bise beli, berape hargenye?”<br />Dari seberang Jamil menjawab,”Bang Mat perlu berape banyak? Korme tu sengaje didatangkan oleh Abdurrahman.”<br />“Abdurrahman Faloga yang ngajar tasawuf tuke?” tanya Mat Belatong. “Iye Bang Mat,” jawab Jamil. <br />Kemudian, seperti enggan menyebutkan harga barang pemberiannya, Jamil berucap,”Hargenye Rp 40 ribu sekotak. Bang Mat perlu berape kotak, biar saye belikan.”<br />Mendengar jawaban demikian dari Jamil, Mat Belatong berucap,”Sekotak agiklah untok aku bebukak puase.” Jamil membalas,”Aa, nantik saye antarkan.”<br />Setelah dialog dengan Jamil Al-Beting itu usai, beberapa saat kemudian Mat Belatong berpikir keras. Hatinya gelisah: ternyata ia telah merancang tentang sesuatu yang hendak dimakannya tatkala berbuka puasa. Itu tidak boleh terjadi! Ia khawatir, puasanya hanya membuahkan: lapar, dahaga dan letih belaka!<br />Daripada berlarut-larut diliputi kebimbangan, ia kembali menghubungi Jamil. “Mel, soal korme tu lupakkan jak. Jangan beli agik!” ucap Mat Belatong. Agak kaget Jamil menjawab,”Ngape pulak Bang Mat?”<br />Mat Belatong berucap,”Sekotak yang tadik hadiah dari Allah lewat perantaraan awak. Sedangkan pesanan aku, berasal dari nafsu! Aku tak akan memperturotkan nafsu. Cukoplah sekotak itu bagiku.” Jamil yang paham dengan tabiat Mat Belatong menjawab,”Iyelah kalau begitu.” <br />Setelah itu Mat Belatong merasa lega, tiada beban dalam menjalani Ramadan. Ia serahkan semua persoalannya kepada Allah. ***<br /><br />Pontianak, 15 September 2007 ).<br />Tegur-sapa: Telf (0561) 771770 – HP 085252000995<br /><br />Versi cetak muat di Borneo Tribune, Minggu 16 September 2007<br /></span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-92136929889039934442007-07-27T10:57:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.339-07:00MAT BELATONG DAN 300 MELAYUOleh A. Halim R<br /><br /> SUATU pagi, Mat Ketumbi datang ke rumah Mat Belatong. Kebetulan Mat Belatong tengah nyerongkong di kursi menghadapi kopi.<br /> Sebuah tas kresek hitam diletakkan Mat Ketumbi di meja, di hadapan rekannya. Setengah berteriak ia berkata kepada istri Mat Belatong yang berada di ruang belakang,”Gud moning selamat pagi, kepalak pening mintak kopi!”<span class="fullpost"><br /> Tas kresek dibuka, isinya lepat lau! Mat Ketumbi tahu benar traditional breakfast – sarapan pagi – kesukaan rekannya itu. Kalau bukan lepat lau, lopes telanjang: tak pakai kelapa parut!<br /> “Ini tentulah lepat lau Mak Long Lijah!“ komentar Mat Belatong. <br /> “Iyelah, siape agik. Kalau lepat lau orang laen, nantik ente bekate tak nyaman pulak!” jawab Mat Ketumbi.<br /> Setelah kopi yang ditunggu-tunggunya datang, Mat Ketumbi buka cerita,”Jon, ente tahu ndak, yang datang halal bihalal ke Balairung Sari Rumah Melayu di Kote Baru Pontianak tu, Sabtu 3 Desember 2005 lalu, sekitar 300-an orang! Sedangkan yang datang waktu silaturrahmi dan halal bihalal Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan di GOR Pangsuma, Minggu 4 Desember 2005 lalu, sekitar 5000-an orang! Terakher ni, Minggu 11 Desember 2005, halal bihalal masyarakat Madura di gedong PCC (Pontianak Convention Center – pen) dihadiri sekitar 1000 undangan! Ana piker banyaklah Melayu di Pontianak ni, rupenye dah tinggal sikit!”<br /> Mat Belatong yang tengah mengunyah lepat lau, agak tekanjat. Setelah menelan lepat lau, disulor aek kopi ia bertanya,”Awak hader ke sanak ke Ketuk!?”<br /> Mat Ketumbi menjawab,”Tadak, ana cume bace di koran!“ <br /> Kemudian Mat Ketumbi melanjutkan,”Padahal hari Jumat 2 Desember 2005, MABM – Majelis Adat Budaya Melayu – ade memuat undangan di suratkabar, yang diteken H Abang Imien Thaha dan Dr H Chairil Effendi MS, masing-masing selaku Ketue Umum dan Sekretaris Umum MABM Kalbar! Isiknye: Demikian informasi ini kami sampaikan sebagai undangan, atas kehadiran Bapak/Ibu/Sdr(i) dengan nilai semangat kebersamaan dalam persaudaraan kami ucapkan banyak terim kasih.” <br /> Mat Belatong tampak menyimak baik-baik kalimat yang diucapkan sahabatnya.<br /> Setelah berpikir sejenak sampai keningnya berkerut, Mat Belatong berkata,”Kalau begitu bunyinye, undangan itu memang tadak ditujukan untok masyarakat Melayu, tapi buat personel pengurus MABM jak! Die kan cume bilang atas kehadiran Bapak/Ibu/Sdr(i). Kalau die mengundang masyarakat Melayu, tentu kalimatnye laen, mungkin bunyinye begini: atas kehadiran Bapak/Ibu/Sdr(i) warga Melayu, atau atas kehadiran Bapak/Ibu/Sdr(i) zuriat Melayu.”<br /> Lebih lanjut Mat Belatong berkata,”Dan orang pon same maklom, yang namenye majelis, itu kan pemahamannye atau maknanye: sekelompok orang yang ade di dalam suatu majelis. Contohnye: MUI – Majelis Ulama Islam – atau Majelis Taklim Masjid Al-Mursalat Perumnas I Pontianak. Ibaratnye, orang-orang yang dudok di majelis itu fardu kifayah, bukan fardu ain. MUI bukan berarti semue orang Islam. Kalau MUI ngadekan rapat, tentu muslim laen tak perlu ikot. Begitu pulak kalau MUI ngadekan halal bihalal, bukan mustahel hanye untok kalangan personel MUI, baek MUI tingkat provinsi maupun MUI tingkat kabupaten dan kota. Pon begitu ugak kalau Majelis Taklim Masjid Al-Mursalat nak ngundang seluroh warga Perumnas I Pontianak, die haros bekate: Mengharapkan kehadiran Bapak/Ibu/Sdr(i) warga Perumnas I Pontianak!”<br /> “Begitu pulak dengan Majelis Adat Budaya Melayu. Menurot pikeran ana yang bodo ni, yang diuros oleh majelis ini, ye cume adat budaya. Sebenarnye kedudokan MABM ini – karena die memakai istilah majelis – hanyelah macam majelis yang ade di tuboh NU itu! Die cume sebuah organ. Perlu ade satu organisasi induk, lalu dilengkapi dengan berbagai macam majelis. Ade Majelis Perekonomian dan Pemberdayaan Zuriah Melayu, ade Majelis Peningkatan SDM Zuriah Melayu dan laen-laen agik. Tapi aku pon dah tak tahu agik Ketuk e, mane yang benar mane yang sangsot. Sebab zaman ini memang dah zaman sangsot. Sampai-sampai kabinet pon macam sangsot gak. Kabinet cucok-cabot, kabinet tukar-taker. Boleh terjadi, setiap setengah tahon ganti menteri, setiap tahon ganti kabinet! Macam orang nyobe sepatu di mall. Belom agik aset negara, aset Pemprov, aset Pemkab, aset Pemkot, boleh ditukar-taker dengan pengusaha dan swasta, boleh ditukar guling!” tambah Mat Belatong. <br /> Sambil mengunyah lepat lau dan menggaruk-garuk lehernya, Mat Ketumbi berkata,”Iyelah, semule ana piker undangan MABM tu buat seluroh zuriat Melayu. Rupenye untok die-die jak, iyelah kalok begitu.” <br /> Kemudian Mat Belatong berucap,”Sebuah undangan terbuka, tanpa menyebutkan warga, niscaya membingungkan orang. Bukan mustahil undangan tersebut terbatas untuk personel majelis, yang tidak diketahui alamat jelasnya.”<br /> Mendengar “kuliah” Mat Belatong itu, Mat Ketumbi bertanya,”Macam mane pulak dengan care ngundang orang sampai melimpah ruah di GOR Pangsuma tu!“<br /> Sambil menghembuskan asap rokoknya Mat Belatong menjawab,”Itu laen Ketuk, itu: Silaturrahmi Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan. Judulnye jak dah mengundang: keluarga! Siapa yang masih merasa sebagai keluarga, merasa bertanggung jawab untuk datang! Kecuali yang tak mau lagi dianggap keluarga ataupun zuriat!”<br /> Sambil mengangguk-anggukkan kepala, Mat Ketumbi berucap,”O, kalau begitu si iyelah! Mule-mule ana piker, ngape pulak halal bihalal Melayu orangye cume 300-an orang, sedangkan halal bihalal Sulawesi Selatan sampai 5000-an orang. Madura jak sampai 1000-an orang. Memangnye Melayu dah sikit di Pontianak ni!? Kalau cume tinggal 300-an ditambah kite beduak, kalau sebulan mati sekok, udah dapat dihitong tinggal berape tahon agik Melayu ni habes! Kalau memang begitu keadaannye perlu diusolkan ke WWF, biar masok daftar Appendix I CITES. Perlu ade terobosan, agar dilakukan penangkaran secepatnye terhadap Melayu! Macam ikan silok tu, biar tak punah-ranah. Sebab kalau Melayu sampai hilang di Bumi Pontianak, kasihan Datok Hang Tuah. Sebab beliau tu dah pesan: Tak Melayu hilang di bumi!“<br /> Mendengar omongan sahabatnya, mata Mat Belatong terbelalak. Kemudian ia berkata,”Celake! Ngape pulak Melayu awak samekan dengan silok, nak dilaporkan ke WWF segale!? Makai istilah tu haros ngerti, becakap tu jangan merampot Ketuk! Yang diuros WWF itu binatang! Ape Melayu nak awak anggap orang utan!?”<br /> Mat Ketumbi langsung menjawab,”Ente gak bekate kalau Melayu tu bukan mustahel ade yang menjadikannye sebagai komoditas! Silok, kan komoditas gak!?“ <br /> Mat Belatong geleng-geleng kepala, kemudian berucap,“Iye, iye, ngomong dengan awak ni memang gampang-gampang susah. Dikatekan pintar belom nyampai, dikatekan bodo dah lepas. Sebab kutengok maseh ade agik yang lebeh bodo-bale: siang puase, malam berzina!” <br /> Mat Belatong kemudian terdiam beberapa saat, Mat Ketumbi pun tak ngomong.<br /> Setelah itu, Mat Belatong tersenyum getir dan berkata,“Ketuk, sebetolnye halal bihalal Melayu yang dilaksanakan MABM itu – yang cume dihadiri sekitar 300 orang itu – masalahnye tak sesederhana ape yang ana cakapkan ini. Perlu kajian yang mendalam tentang hal itu kalau ingin menguraikannye. Tapi udahlah Ketuk, untong jak kite sekarang ni maseh bise ketemu lepat lau, lopes. Putu mayang, putu piring, kue merke jak dah payah encariknye! Ade yang peduli dengan Mak Long Lijah, ade yang peduli dengan Kak Ngah Mariam dan laen-laen yang dah terbang dibawak orang ke Brunei, ke Sarawak untok betenun songket di sanak tu!? Nak ngurus ikan paus di laot, ikan gendang-gendis di paret dah punah tak ambek tahu!“ *** <br /> ( Pontianak, 12 Desember 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-35793813141884580942007-07-27T10:56:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.340-07:00MAT BELATONG “LINTAS BANGSA “Oleh A.Halim R<br /><br /> SUATU malam, Mat Belatong tengah duduk-duduk santai di dalam rumah bersama anak dan istrinya. Pintu rumah memang terbuka.<br /> Tiba-tiba, tanpa diketahui kapan masuknya, tanpa memberi salam, tanpa permisi, telah berdiri di dalam rumahnya seorang lelaki bertopi jungle dan bersepatu cowboy, hidung mancung berkulit putih!<span class="fullpost"><br /> Mat Belatong tertegun menatap sosok orang aneh itu, tapi kemudian setengah berteriak ia berkata,“Fausstooo!“<br /> Dan orang itupun berkata,“Oh, Mettt!“<br /> Mat Belatong berangkulan erat beberapa saat dengan pria kulit putih itu. Kemudian lelaki kulit putih itu bersalaman juga dengan anak-istri Mat Belatong.<br /> Tanpa disadari air mata berlinang di pelupuk mata Mat Belatong, demikian juga dengan orang kulit putih itu.<br /> Sedikit pun tak terbayangkan oleh Mat Belatong, ia bisa bertemu lagi dengan pria Itali yang pernah menjadi sahabat kentalnya itu.<br /> Betapa tidak, keduanya telah lama sekali berpisah. Fausto, pada zaman Orde Baru, karena sesuatu dan lain masalah (mungkin sengaja dibuat-buat oleh sesuatu pihak), diusir pergi dari bumi Indonesia sebagai manusia: persona non grata – orang yang tidak disukai! <br /> Tatkala akan berangkat meninggalkan Pontianak, Fausto ingin menyalami Mat Belatong terakhir kali sebelum meninggalkan Bumi Khatulistiwa ini. Namun Mat Belatong menolak salam tersebut. Mat Belatong berkata,“No Fausto, aku tak ingin bersalaman sekarang. Tapi nanti, bila kita bertemu kembali! You harus kembali!“<br /> Perasaan keduanya luluh. Air mata merebak di mata masing-masing.<br /> Tatkala itu, di dada Mat Belatong bergemuruh sebuah protes! Kenapa Fausto diusir, kenapa ia tidak boleh tinggal di Indonesia, kenapa di muka bumi ini ada batas negara, kenapa manusia tidak boleh tinggal di mana ia suka. Bukankah ini bumi Allah yang memang diperuntukkan bagi makhluknya!? Manusia berkelakuan zalim dan egois sehingga bumi Tuhan dibagi-bagi dan diberi berbatas-batas!<br /> “Antaraku dan Fausto, tiada batas etnik, tiada batas bangsa dan negara! Kami dua anak manusia yang bersahabat, punya hati dan rasa: yang telah lepas bebas dari warna kulit dan etnik!“ jerit Mat Belatong di hatinya.<br /> Ketika itu, sebuah kenyataan pahit harus ditelan. Sebuah persahabatan murni terasa mengiris hati tatkala harus berpisah! <br /> Keduanya memang bersahabat kental, punya hobi yang sama, punya karakter yang tak jauh berbeda, walau berlainan etnik dan kebangsaan.<br /> Bila tiga hari saja Fausto tak melihat dan berbicara dengan Mat Belatong, ia merasa rindu dan pasti berkunjung ke rumah Mat Belatong. Demikian pula dengan Mat Belatong.<br /> Pria Itali itu tinggal di Villa Itali, di Jalan Suhada Pontianak. Di situ ia membeli berbagai binatang yang dibawa orang, sehingga tak terasa, di sekeliling rumahnya telah hadir kandang-kandang binatang, mirip kebun binatang kecil – min zoo!<br /> “Saya terpaksa beli binatang-binatang ini Met, sebab saya kasihan. Bukan pada orangnya, tapi pada binatangnya. Saya takut kalau binatang itu sampai jatuh ke tangan orang yang tidak menyayangi binatang. Bisa tersiksa dan teraniaya dia!” ucap Fausto.<br /> Di tangan Fausto, bila ada satwa yang sakit, ia bersedia memanggil dokter hewan untuk mengobatinya. Dan ia mempelajari, mencatat berbagai sifat dan makanan yang diberikan kepada satwa tersebut. Tengah malam buta pun ia bersedia turun, dan memberi makan satwa peliharaannya, bila diketahuinya satwa tersebut tergolong jenis binatang malam.<br /> Pernah suatu hari, Fausto datang ke rumah Mat Belatong tergesa-gesa dengan sepeda motor besarnya.<br /> “Met, kita ke villa sekarang juga! Ada tamu istimewa yang luar biasa!“ ucapnya.<br /> Tergesa-gesa Mat Belatong berpakaian, kemudian keduanya berangkat ke Jalan Suhada.<br /> Tak ada seorang pun tamu di Villa Itali itu, selain keluarga Fausto dan para pembantunya. Fausto masuk ke kamar berganti pakaian. Kini ia bertelanjang dada, berkain sarung yang digulung di perutnya hingga pertengahan betis. <br /> Kemudian ia mengajak Mat Belatong keluar, menuju ke salah satu kandang binatang. <br /> “Luar biasa Met dia! Dia sangat jinak dan manis!” ucap Fausto menunjuk kepada seekor biawak besar yang telah dimasukkannya ke dalam kandang. <br /> Tak cukup dengan bicara, kemudian pria Itali itu masuk ke kandang biawak dan mengelus-elus kepalanya. Mat Belatong jadi mengerti kenapa Fausto berkain sarung. Rupanya ingin bermain dengan binatangnya! Memang begitulah “adat” Fausto, bila ia bergaul dengan satwa kesayangannya! <br /> Namun tiba-tiba saja sang biawak mengibaskan ekornya menghantam Fausto yang lagi jongkok di sisinya. Fausto memekik, sembari berdiri dan memegang alat vitalnya! <br /> Setelah keluar dari kandang, sambil tertawa ia berkata,”Ia tidak menggigit, tapi memukul! Saya jadi tahu sekarang, berhati-hatilah terhadap ekor biawak! Dan ia pasti tidak sengaja memukul bagian yang terlarang!”<br /> Mat Belatong sempat terkejut juga, tapi akhirnya sama-sama ketawa, sebab pukulan sang biawak tidak terlalu fatal akibatnya!<br /> Binatang-binatang peliharaan Fausto itulah yang “dihibahkan” kepada Gubernur Kalbar Soedjiman, yang kemudian melahirkan Bunbin di Sungai Raya Pontianak itu. Termasuk Sunaryo, satu keluarga pembantu rumah tangga Fausto ikut hijrah dari Villa Itali ke Bunbin tersebut, sebagai pemelihara binatang!<br /> Kini Fausto Oriccio, secara mengejutkan dan tanpa dinyana sama sekali telah hadir di rumah Mat Belatong. Masih tetap dengan gaya lama, masih tetap fasih berbahasa Indonesia! Ia menepati janjinya, ia memenuhi harapan Mat Belatong!<br /> Belasan tahun ia telah meninggalkan Indonesia, pulang ke negaranya. Dan ia memboyong istrinya – Linda, wanita Pontianak – dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibano Valerio Oriccio.<br /> “You keterlaluan Fausto, datang ngejot-ngejotkan tak bekabar! You masih Fausto yang dulu juga, tak berubah-ubah!“ ucap Mat Belatong.<br /> “You juga tidak berubah Met. Saya sengaja ingin bikin kejutan. Dan topi ini sengaja saya pakai, biar kelihatan seperti waktu kita masih sering masuk hutan dulu!“ jawab Fausto.<br /> Fausto, seperti biasa, kalau bertemu langsung nyerocos bercerita. Seakan-akan, tak ada yang tak menarik di dunia ini untuk diceritakan. Barang kecik pon kalau diceritakan oleh Fausto jadi besar, jadi menarik!<br /> Dan ternyata ia bukan baru datang dari Itali, tetapi dari Kapuas Hulu!<br /> Ternyata, setiba di Jakarta dari Itali ia tidak langsung ke Pontianak, tetapi ngelayap dulu ke Samarinda, memudiki Sungai Mahakam, lalu berjalan kaki dari Kaltim tembus ke hulu Kapuas! Fausto memang “petualang sejati”.<br /> Ternyata ia juga pernah bertualang ke hutan Brazilia, di wilayah Sungai Amazone!<br /> “Di Brazil saya bertemu dengan orang Indian, yang prototip wajah maupun postur tubuhnya sangat mirip dengan orang Dayak,“ cerita Fausto.<br /> Fausto, memang “tergila-gila“ dengan budaya Dayak, sampai-sampai anaknya pun diberi nama Ibano, yang berasal dari kata: Iban!<br /> Dalam sebuah kesempatan menyela, Mat Belatong bertanya,”Bagaimana kabar Linda sekarang!“<br /> “Wow Met, Linda sekarang sudah berbulu!“ jawab Fausto.<br /> ”Itulah ente, tegile-gile miare orangutan, sampai bini awak sorang tumboh bulu!“ ucap Mat Belatong.<br /> “Oh no Met! Bukan berbulu seperti orangutan, tapi berbulu seperti umumnya orang Itali. Dia beradaptasi dengan cuaca di Itali yang ada musim dingin!“ jawab Fausto.<br /> “Tadak! Ini pasti salah you Fausto, bini tak dikasik kumbuk, tak diberek selimot tebal! Pasti Linda tu kesejukan, sementara awak ngander keliling dunie!“ bantah Mat Belatong.<br /> “Iya Met, mengenal dunia memang menarik. Di hulu Sungai Mahakam saya bertemu dengan orang-orang Dayak Penihing. Dan mereka yang mengantar saya berjalan sampai ke hulu Kapuas melewati perbatasan Kalbar – Kaltim. Dan orang-orang Penihing itu ikut saya turun sampai ke Putussibau,” ungkap Fausto. <br /> “Met, orang-orang Penihing itu waktu mengantar saya membawa pukat dan jala! Kalau sampai waktu istirahat, dan perlu masak, mereka menangkap ikan. Untuk tempat kami bermalam, mereka cepat sekali membuat pondok. You tahu Met, orang-orang Dayak itu kalau memerlukan sesuatu selalu masuk hutan! Perlu tali, perlu sayuran, perlu api, perlu obat, mereka masuk hutan sebentar. Hutan itu seperti super market bagi mereka!” cerita Fausto. <br /> “Fausto, apa yang you ceritakan telah you nikmati sendiri! You keterlaluan Fausto, kenapa you tidak ajak saya!?“ tukas Mat Belatong.<br /> “Sorry Met, saya tidak sengaja. Saya hanya coba-coba untuk ke Pontianak lewat Kaltim!” jawab Fausto tertawa.<br /> “Berjalan dengan orang-orang Penihing, menyenangkan. Mereka periang, pandai berpantun dan bercerita, suka humor,” tambah Fausto.<br /> “Iya, saya cuma jadi pendengar, telior-lior! Saya tahu orang Penihing, dan saya pastikan jalan yang you lewati itu adalah jalan yang pernah dilewati oleh Dr Anton W Nieuwenhuis pada tahun 1894. Tapi ekspedisi orang-orang Belanda itu, dari Kalbar ke Kaltim. Saya punya bukunya!” ucap Mat Belatong.<br /> “Oh ya, berarti you juga sudah berjalan walaupun lewat sebuah buku!“ jawab Fausto sambil tertawa.<br /> “Ah Fausto, apalah artinya membaca sebuah buku dibandingkan dengan makrifat, atau pengenalan seperti yang you saksikan dan rasakan! Buku hanya membuat saya pandai berdalil, sedangkan you telah melakukan perjalanan (thariqah) dan perjuangan keras (mujahadah), untuk mencapai pengenalan yang sesungguhnya (makrifat). You telah mengambil ilmu dari telaganya, sedangkan saya cuma menciduknya dari ember ‘Syaikh’ Dr Nieuwenhuis! Ini baru makrifat dunia, betapa susahnya. Belum lagi makrifat Ketuhanan,” ucap Mat Belatong. ***<br /> ( Pontianak, 17 November 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-39038724644184805642007-07-27T10:53:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.340-07:00MUSANG MATI DIPATUK AYAMOleh A. Halim R<br /><br /> SUATU hari Mat Belatong ditanya rekannya: Untuk flash back – kilas balik – tahun 2005 ini, cerita apa yang paling menonjol? <br /> Tanpa berpikir panjang Mat Belatong langsung menjawab,”Musang mati dipetok ayam!“<span class="fullpost"> <br /> “Eh, benar sikitlah Bang Mat, ana ni betanyak benar, bukan begurau. Mungkin sepanjang sejarah pers di dunie belom pernah ade wartawan yang menemukan kasus macam itu. Pon setahu ana belom pernah ade suratkabar yang melansir berite macam itu!“ jawab sang rekan.<br /> “Aa, itulah kitak. Kalau negeri ini pernah dihebohkan oleh cerite Ikan Gabos Telok Pak Kedai, Kucing Beranak Tupai, Waria Bunting di Putussibau, Pokok Kayu Bise Ngasik Sinjie, Wak Latuk Nangkap Jin, dan selonggok kabar aneh laennye, ngape pulak kitak tak tahu dengan cerite Musang Mati Dipetok Ayam?“ ucap Mat Belatong. <br /> “Macam mane pulak ceritenye tu Bang Mat. Kalau kesah Musang Bejanggot, pernah pulak ana bace dalam cerite Abu Nawas,” jawab sang rekan.<br /> “Aa, kalau awak dah bace kesah Musang Bejanggot yang nak ngincar bini Abu Nawas tu, cerite Musang Mati Dipetok Ayam pon hamper-hamper same gak! Rupenye cerite musang ni, dah ade sejak zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad, sampailah ke zaman kite ni. Hanye sajak, model musangnye macam-macam. Figur musangnye, die cobe kamuflase dengan berbagai ragam atribut yang dipakainye. Ade yang bejanggot, ade yang bejubah, ade yang bedasi, ade yang bersafari, ade yang besongkok, ade pulak yang makai baju koko!” ucap Mat Belatong.<br /> Sang rekan ngelakak tertawa, kemudian berkata,“Aa, teros Bang Mat, tampaknye cerite Bang Mat ni menarek. Dan ana dah mulai nyambong rasenye. Itu kan musang yang makan daging illegal?!“<br /> Mat Belatong sembari mengunyah lepat lau, berucap,”Alah, yang namenye musang tu dah pastilah makan daging ilegal, daging haram! Memangnye binatang musang tu pernah miare ayam sorang? Kecuali musang piaraan ana di rumah, yang ana piare dari bayi. Semue makanannye halal, baek susu vitalac, daging, ikan ataupon pisang nipah!”<br /> Setelah menghirup kopi Mat Belatong berkata,”Dan karene kitak pon dah tahu dengan cerite ini, ana rase tak perlulah agik ana cerite panjang lebar!“<br /> “Mane pulak boleh begitu Bang Mat! Bang Mat udah buat judul yang orisinal: Musang Mati Dipetok Ayam. Kesah mesti dilanjotkan Bang Mat, kalau tadak kempunan ana ni!“ jawab sang rekan. “Kempunannye tak seberape, tapi ngesaknye tu yang tak abes-abes!“ lanjut sang rekan. <br /> “Ah, awak ni pandai jak mancing-mancing aku. Kalau kesahnye sangsot macam mane!?” jawab Mat Belatong. <br /> “Udahlah Bang Mat, yang namenye kesah musang, dari zaman dolok sampai kini, pasti kesah sangsot. Justru tegal sangsotnye tu, jadi kesah! Dan cerite Bang Mat ni bakal memperkaye khazanah kesah musang di dunie!“ bujuk sang rekan.<br /> Akhirnya, setelah menelan tukuk terakher lepat lau di tangannya, dan disulor dengan aek kopi, Mat Belatong pun bukak cerite: <br /> Sahdan, di sebuah negeri antah lebih banyak daripade berasnye, berkuasalah seekor musang. Sang musang bertahta di atas pahar kebesarannya yang bertatahkan tahayul dan kemunafikan. Di sekelilingnya duduk delapan bomoh (dukun – pen) yang menempati delapan penjuru mata angin!<br /> Tiada berlaku di negeri itu: adat bersendikan syarak, syarak berpayung Kitabullah. Dan tiada berlaku di negeri itu, keputusan diambil dari butir-butir kebijaksanaan, musyawarah dan mufakat, melainkan dari “wangsit”, petunjuk dukun yang konon berasal dari bisikan gaib! <br /> Begitu berkelindannya sang musang dengan bomoh, jin, dan tahayul, sehingga ilmu yang diamalkannya benar-benar “jadi”. Sehingga “nyawa”-nya sendiri bisa ia simpan di sebuah cembul (kotak kecil – pen). <br /> Dengan menaruh nyawa di cembul wasiat yang diberikan “jin Funky” yang rambutnya mirip model rambut Indian Comanche dalam cerita Karl May itu, keamanan jiwanya tak akan terusik. Hidupnya akan menongkat langit, tiada bahaya kematian mengancam dirinya, selama cembul itu tersimpan di tempat yang aman. <br /> Lebih daripada itu, ke dalam cembul itu pula ia menyimpan alat vitalnya, yang sangat ia sayangi dan banggakan. <br /> Si musang penguasa ini seperti juga halnya dengan raja-raja di India masa lampau, suka berburu. Kalau raja-raja zaman dahulu berburu naik gajah, yang diburu binatang buas seperti harimau, macan dan lain-lain, si musang spesialisasinya: berburu ayam!<br /> Kalau berburu, dia naik kereta besi mulus mengkilap! <br /> Orang ribut karena sudah banyak yang mati karena flu burung, sang musang bagaikan tak terusik. Jangankan terhadap virus avian influensa dan anthrax, dengan malaikat Izrail pun ia tak takut!<br /> Kalau sudah bertemu ayam rupawan, baik ayam kampung, ayam bangkok, ayam ras, ayam arab, ayam jepang, ayam cina, ayam belanda, semua ingin dirasanya. Kalaupon dah ketadak-tadakan, burong puyuh pon jadilah disempal-sempalkan! <br /> Sampailah pada suatu hari, si musang bertemu dengan seekor ayam yang berpenampilan bagaikan Chinese monal pheasant (Lophophorus lhuysii) yaitu sejenis merak! Di belantika unggas, ayam yang satu ini memang terbilang cantik, tapi liar dan ganas. Kehidupannya memang di belantara.<br /> Si musang bukan lagi telior-lior, bahkan liornye sampai netes dengan lidah tejolor-jolor. Si ayam, karena masih temasuk bangsa unggas juga, pandai pula meniru tingkah burung dara: jinak-jinak merpati! <br /> Si musang sambil terliur-liur melantunkan lagu dangdut: Lebih baik kau bunuh aku dengan pedangmu, daripada kau bunuh aku dengan cintamu!<br /> Pandai dia merayu, nak mintak bunoh segale macam, padahal UUD gak! Ujong-ujongnye daging!<br /> Dan yang ditemukan musang kali ini, memang bukan sebarang ayam. Selain jam terbangnya sudah tinggi, pun sudah berpengalaman malang-melintang di dunia kang ow: dunia persilatan! <br /> Jadi seluruh sepak terjangnya, sudah penuh perhitungan, penuh taktik dan perencanaan matang! Lebih daripada itu, ayam yang satu ini pun punya ilmu, tak kalah dari ilmu musang!<br /> Dalam perburuan ayam kali ini, si musang memang babak-belur juga. Ayam yang satu ini tak mau mendekat kalau cuma diberi makan beras. Ia tak mau makan padi atau jagung, tapi butir-butiran permata, emas dan bekebat-kebat duit! <br /> Dalam perburuan yang semakin intens, akhirnya dapat juga si musang menikmati daging ayam itu. Namun ayam tersebut pandai akal, tak maok dibunoh mentah-mentah macam ayam laen. Pon, die memang punye ilmu sengkelet!<br /> Setiap kali si musang ingin menerkamnya, diberinya sekerat daging dari tubuhnya. Begitulah berlangsung sejumlah kali, sekian lama. Namun bagian tubuh yang dikerat itu dagingnya bisa tumbuh kembali! Kabarnya si ayam memperoleh ilmu ini dari seekor cecak! Sebab ayam tersebut melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana cecak mengelabui kucing. Ekornya diputuskannya, dibiarkan melentet-lentet, untuk menarik perhatian kucing. Sementara sang cecak dah bedebu lari. <br /> Ekor yang diberikan kepada kucing, tak ada masalah, bisa tumbuh lagi! <br /> Karena tingkah ayam yang demikian ini, si musang sampai menyanyikan lagu dangdut lagi: Sungguh mati aku jadi penasaran, sampai mati akan terus kuperjuangkan!<br /> Karena kenyamanan, akhirnya si musang sampai kepada stadium ketergantungan terhadap daging ayam tersebut. Macam pemadat narkoba!<br /> Namun demikian ia pun menyadari – setelah koceknye tebebas dan tebengkas – bahwa ia harus lepas dari ketergantungan itu. Sebab untuk umpan ayam itu, ongkosnya mahal amat! <br /> Biar gak tegegar-gegar ia coba menahan rasa ketagihan itu. Tapi tentu saja sang ayam tak ingin dicampakkan begitu saja. Tak ingin ia melepaskan musang tersebut, sebab di matanya musang itu tak lebih dari: keponjen duit! <br /> Sampailah pada suatu bulan Ramadan, si musang tegegar-gegar ketagihan. Celakanya lagi bak orang ngidam, ia ingin berbuka puasa dengan daging ayam! Buah kurma tak ditoleh sama sekali! Ditambah pula dengan sang ayam yang “ngoling” teros, ngirem sinyal: daging dah siap saji! <br /> Namun dalam perjamuan daging kali ini, sang ayam merengek-rengek manja, minta agar cembul wasiat milik musang itu, diserahkan kepadanya. Biar ia saja yang menyimpannya. Selain lebih aman, agar ia tak pernah lagi merasa jauh dari musangnya.<br /> Sang musang tak banyak cakap, dengan mate tekejam-kejam, cembul itu pun dilepaskannya dari pinggangnya yang selama ini dijadikan kendit bersama setepek azimat lainnya! Musang itu menurut saja tatkala cembul nyawanya diminta ayam.<br /> Sejak itu, sebagai upah durhakanya kepada Allah, ia takluk di bawah ceker ayam! <br /> Ia ingin lari – karena tak mampu lagi menghadiahkan butiran permata, emas dan berkebat-kebat duit kepada sang ayam – namun ayam tak ingin melepaskannya. Hubungan mereka menjadi tegang, kemesraan menjadi bara api. Ucapan “cinta” menjadi dendam!<br /> Dan kini, dengan modal cembul wasiat di tangannya, sang ayam bisa berbuat sekehendaknya terhadap si musang.<br /> Sebuah tragedi dan ironi pun terjadi: ayam mematuk dan nyesah musang itu sampai mati! Sampai tak bermuka lagi musang itu!<br /> “Demikianlah kesah musang mati dipetok ayam. Ana kesahkan cerite ini bukan untok ape-ape, tapi untok diambek pelajaran darinye. Sebab dari sebuah fabel – cerita binatang – seperti kesah ‘Kalilah wa Dimnah’, pon orang dapat mengambek pelajaran!” ucap Mat Belatong mengakhiri ceritanya. ***<br /> ( Pontianak, 30 November 2005)</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-7576160819984451652007-07-27T10:50:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.340-07:00MAT BELATONG DAN MELAYUOleh A. Halim R<br /><br /> SUATU hari Mat Belatong dan Mat Ketumbi sama-sama menyimak sebuah lagu Melayu berjudul “Hang Tuah” yang dilantunkan oleh penyanyi cantik asal Riau, Iyeth Bustami. <br /> Yang namanya Mat Ketumbi, kalau sudah mendengar suara Iyeth yang merdu dan manja itu, bisa sampai telior-lior. Iyeth Bustami memang penyanyi favoritnya!<br /> Iyeth melantunkan syairnya:<font class="fullpost"><br /> <br /><em>Tersebut sudah dalam hikayat<br />Laksamana Hang Tuah setia amanah<br />Menjunjung harkat juga martabat<br />Jangan Melayu buang zuriat<br /><br />Dang Merdu bunda berjasa<br />Melahirkan putra perkasa<br />Hang Tuah laksamana satria<br />Teladan negeri dan bangsa<br /><br />Dari Bintan Kepulauan Riau<br />Gaung baktimu ke segenap rantau<br />Walau kini kau telah tiada<br />Fatwamu tiada kan punah<br /><br />Tuah sakti hamba negeri<br />Esa hilang dua terbilang<br />Patah tumbuh hilang kan berganti<br />Tak kan Melayu hilang di bumi<br /><br />Engkau susun jari sepuluh<br />Menghatur sembah duduk bersimpuh<br />Halus budi resam Melayu<br />Hang Tuah, oh Hang Tuah</em><br /><br /> Usai mendengar lagu tersebut, Mat Ketumbi menarik napas panjang. Kemudian ia berkata,”Mendengar lagu ini Jon, ana jadi sadar kalau ana ni anak Melayu. Kalau jak ana ni laher jaman Hang Tuah, tentulah ana ikot begabong dengan die, biar gak naek kapal kayu dari Pemangkat pegi ke sanak!“<br /> Mat Belatong yang masih tercenung meresapi kalimat-kalimat syair tersebut tersentak mendengar ucapan Mat Ketumbi.<br /> “Benar sikit cakap awak tu Ketuk! Jangan nak sebarang ngakuk Melayu sekarang ni!“ ucap Mat Belatong.<br /> Balik Mat Ketumbi tekanjat, kemudian berkata,”Eh, ape pulak pasal Melayu sekarang ni!?“<br /> Kemudian Mat Belatong menjawab,”Ape buktinye awak tu Melayu!? Kenal ndak dengan Abang Imien Thaha Ketue MABM Kalbar, kenal ndak dengan pengurus-pengurus organisasi Melayu yang dah betepek tu!?”<br /> Mat Ketumbi menjawab jujur,”<em>Mane pulak ana kenal. Ente kan tahu ana ni siape!“ <br /> Lebih lanjut Mat Belatong berkata,”Awak ngakuk-ngakuk Melayu, padahal bukan mustahel, dalam daftar zuriat Melayu orang-orang itu, awak tak masok! Boleh jadi, awak ni anak Melayu yang udah dibuang zuriatnye! Melayu sekarang ni pon dah macam-macam. Ade Melayu Arus Atas, ade Melayu Arus Bawah!“ <br /> “Hah, awak cakap ape tu Jon? Kalau tak masok Melayu, ana ni masok ape jak!?“ tanya Mat Ketumbi heran. <br /> “Ketuk, Ketuk. Melayu sekarang ni dah jadi barang elit! Bukan mustahel ade yang menjadikannye sebagai komoditas!“ ucap Mat Belatong.<br /> Kembali Mat Ketumbi tekanjat, lalu berkata,”Melayu jadi komoditas!?”<br /> Setelah berpikir sejenak, Mat Ketumbi melanjutkan omongannya,”Baruk ngerti ana, kalau Melayu tu boleh jadi komoditas ekspor. Pantas jak banyak PJTKI ilegal yang menjual budak-budak kite ke luar negeri!“ <br /> ”Ketuk, Ketuk. Ngomong dengan awak ni gampang-gampang susah. Barang mudah bise jadi rumet!” jawab Mat Belatong.<br /> Tanpa mempedulikan omongan Mat Belatong, si Ketuk bertanya,”Cobe jelaskan dengan ana, ape pulak tu Melayu Arus Atas, Melayu Arus Bawah. Setahu ana, di masjed tak ade Melayu model begitu. Ana bebas masok ke saf atas, kalau ana dolok datang. Pon tak ade yang melarang ana kalau nak dudok di saf bawah!”<br /> “Ketuk, Ketuk,” ucap Mat Belatong geleng-geleng kepala. “Ente ni tadak pekak macam si Bolot, tapi ngomong dengan awak ni same gak ngomong dengan si Bolot. Kemane arah cakap orang, kemane cakap awak!“ lanjutnya.<br /> Kemudian Mat Belatong berkata,“Udahlah, awak tak perlu masok Melayu Arus Atas atau Arus Bawah, awak tak tepakai! Awak bukak jaringan baru: Melayu Arus Mudik jak! Kerje ringan, sekali setahon waktu nak ngadap lebaran. Ente koordinir budak-budak kite, untok mempermudah arus mudik. Ente cari sponsor kaye dermawan, awak hubungi instansi LLAJR, awak hubungi perusahaan bus, lalu awak ator bagaimane semue pemudik memperoleh kemudahan dan kelancaran, dengan harge karcis dapat lebeh murah karena disubsidi orang kaye dermawan!”<br /> Setelah menghirup kopi Mat Belatong berkata,”Tapi udahlah Ketuk, itu tentu membuat kapalak awak lebeh pening agik! Dan yang sebenar-benar Melayu, betol ugak cakap awak tu, macam di masjed! Tak ade arus atas, tak ade arus bawah, sebab adat Melayu bersendikan syarak : hukom Islam!” <br /> Kemudian Mat Belatong berkata,”Tapi awak tak perlu kecik ati, kalau tak diakuek Melayu oleh organisasi-organisasi Melayu itu. Demi untok menunjokkan identitas Melayu awak, kite boleh buat organisasi laen, misalnye MABM Reformasi, atau wadah sendirik misalnye: Zuriat Melayu Bersatu! Sebagai rajenye boleh kite ajak Matse Yakob – yang biase jadi Raje Mendu – itu. Sebagai Perdana Menteri boleh ana, sebagai Datok Laksamane boleh Mat Ketumbi dengan gelar Datok Laksamane Raje di Laot!“<br /> “Tadak Jon, ana tak maok jadi Laksamane Raje di Laot! Ana tak maok mati dibunoh!” ucap Mat Ketumbi. “Ana jadi khadam pon jadilah,” lanjutnya.<br /> “Tadak, itu semue tak perlu terjadi. Melayu tak perlu banyak organisasi. Diakuek atau tadak, ente tetap Melayu. Biarpon MABM misalnye telah buang zuriat terhadap kite. Sebab kite lebeh tue dari semue organisasi Melayu itu. Mat Ketumbi lebeh tue dari MABM. Kalau tadak Mat Ketumbi-Mat Ketumbi yang Melayu ini di Kalbar, tak kan ade orang-orang tu dapat melaherkan organisasi Melayu! Hanye kite berharap, jangan Mat Ketumbi-Mat Ketumbi yang ade di daerah ini diatasnamekan jak untok kepentingan secupak orang yang ambek kepentingan dengan care mengatasnamekan Melayu! Kalau itu yang terjadi, marwah Melayu akan tepurok, Melayu dipandang mereng, tegal orang-orang yang ngakuk Melayu tapi tak beradab Melayu!“ ucap Mat Belatong.<br /> “Sebagai sebuah organisasi, Lembayu boleh bubar, MABM boleh lebor, organisasi Melayu yang laen pon boleh tekubor. Sebab sebuah negara besar macam Uni Soviet jak bise tinggal name, tembok Berlin pon bise roboh. Namun Mat Ketumbi: patah tumbuh hilang kan berganti, tak kan Melayu hilang di bumi. Yang perlu ditegakkan, citra Melayu seperti halnya akhlak Hang Tuah: Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, halus budi resam Melayu!</em>” ungkap Mat Belatong.<br /> “Itulah die Melayu!“ sambut Mat Ketumbi.<br /> “Iye, itulah Melayu,” ucap Mat Belatong,”tecermin dalam akhlak, adat dan budaya! Tak sekadar sebuah organisasi bermerek Melayu! Belanda pun dia, Dayak pun dia, Batak pun dia, Jawa pun dia, Sunda pun dia, Padang pun dia, Cina pun dia, tatkala ia ikut menopang akhlak, adat dan budaya Melayu, maka jangan tolak dia! Rasakan dia sebagai dusanak dekat! Adapun wujud dukungan, bisa berupa penggunaan bahasa Melayu, rasa kesetiakawanan, rasa kebersamaan dalam menghadapi sesuatu masalah, keikutsertaan dalam berkesenian, dan lain-lain. Ia telah menerapkan salah satu pedoman kerukunan hidup bersama dalam sebuah masyarakat: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung! Begitu juga sebaliknya tatkala seorang anak Melayu berada di negeri orang, jangan lupa pepatah lama itu. Dan jangan tekanjat bila para ahli bahasa dunia, menggolongkan bahasa Melayu Sanggau, Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu ke dalam grup bahasa Ibanik! Masuk grup bahasa Dayak Iban! Dan inilah: ragam Melayu!” ***<br /> <br />( Pontianak, 12 November 2005 )</font>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-74551283338173114352007-07-27T10:49:00.001-07:002007-07-27T10:59:03.340-07:00MAT BELATONG, AYAM DAN MUSANGOleh A.Halim R<br /><br />SEMBARI termenung menatap layar monitor komputer yang masih kosong, Mat Belatong membuka winamp untuk mendengarkan beberapa lagu yang telah terekam di sana. Mudah-mudahan di antara lagu yang terdengar, ada yang menggugah rasa, bisa melahirkan sebuah ide untuk tulisan.<span class="fullpost"><br />Salah seorang penyanyi yang dikagumi Mat Belatong, adalah Siti Nurhaliza.<br />Siti Nurhaliza, di hati dan rasa Mat Belatong adalah seorang diva Melayu, seorang permata Melayu yang tak hadir di sepanjang kurun waktu. Dia bukan penyanyi hasil didikan manusia yang bisa ditemukan kapan saja. Dia bukan penyanyi biasa, melainkan seorang diva (laksana dewa/dewi – pen) yang sengaja diturunkan secara berkala, mungkin 100 tahun sekali!<br />Sebuah “syair” lama, terlantun dari suara emas Siti Nurhaliza dalam lagu Kaparinyo:<br /><br /><em>Orang berinai berhitam kuku<br />Mandi dijirus si air mawar<br />Jikalau sampai hasrat hatiku<br />Racun kuminum jadi penawar<br /><br />Belum tersurat dalam hikayat<br />Ayam keluar mencari musang<br />Belum tersirat di dalam adat<br />Bunga keluar mencari kumbang<br /><br />Semenjak lembah bertambah dalam<br />Nampaknya gunung tinggi bertuah<br />Semenjak sejarah Hawa dan Adam<br />Alam berkembang berubah-ubah<br /><br />Hasrat nak beli dulang bertepi<br />Barulah molek untuk hidangan<br />Hasrat nak cari yang sama sehati<br />Barulah boleh makan sepinggan<br /><br />Sungguh harum si bunga tanjung<br />Hati nak petik si bunga mawar<br />Rindu dan dendam tidak tertanggung<br />Budi setitik jadi penawar<br /><br />Sungguh melati yang dipetik<br />Harumnya masyhur seluruh alam<br />Sungguh pun budi hanya setitik<br />Langit dan bumi ada di dalam</em> </span><br /><span class="fullpost"><br />Menyimak untaian kalimat indah dan dalam di bait ke dua, Mat Belatong termenung.<br />Betapa di sana, sebuah nasihat untuk anak-cucu telah hadir sejak berabad lampau, dari nenek moyang untuk pemandu para remaja putri.<br />Belum tersurat dalam hikayat, ayam keluar mencari musang! Belum tersirat di dalam adat, bunga keluar mencari kumbang!<br />Tegasnya, tak ada hikayat dan adat di dunia Melayu (bangsa Timur umumnya): wanita mengejar, menjual diri kepada lelaki!<br />Di dunia Timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, tak ada hikayat dan adat: ayam gentayangan minta terkam musang, bunga keluyuran mintak tanjal kumbang!<br />Namun apa yang terpentang di depan mata Mat Belatong sekarang ini, begitu buka pintu pagi hari: sudah melihat aurat! Baik laki-laki, apalagi perempuan.<br />Semahal apa pun pakaian sport yang dipergunakan lelaki muslim untuk olahraga, tatkala ia tidak menutupi pusat hingga lutut, terlarang bagi lelaki tersebut tampil di hadapan orang yang bukan muhrimnya!<br />Mat Belatong menyaksikan sendiri di Mekah, betapa seorang jamaah haji Indonesia yang turun dari hotel tempatnya menginap untuk membeli sesuatu di deretan toko dekat hotel tersebut diteriaki orang-orang Arab: Haram,…haram!!<br />Dia diusir balik ke hotelnya terbirit-birit, karena bercelana pendek, tak menutupi seluruh paha hingga lutut!<br />Seselebor apapun Mat Belatong: tanpa baju, berkain sarung menutupi atas pusat hingga mata kaki, niscaya lebih sopan dan beradab dalam etika Islam – pun di mata Allah – jika dibandingkan pria muslim bercelana pendek merek mahal, namun paha masih terlihat!<br />Betapa pula dengan aurat wanita Islam dalam etika dan hukum Islam. Belonggok buku fikih dari berbagai mazhab di toko buku! Bacalah.<br />Adapun yang yang namanya “ayam” sekarang ini, bukan hanya gentayangan mencari “musang”, malah pamer daging di depan musang. Banyak ayam sekarang ini yang sengaja menanggalkan bulunya agar ia bisa memamerkan kemulusan dan kesintalan dagingnya kepada musang! Para ayam berdalih demi modernisasi, globalisasi, mengikuti mode ataupun fesen!<br />Tingkah ayam yang aneh-aneh, lebih terlihat manakala kita berkunjung ke mall-mall. Aneka rupa ayam ada di sana. Yang hampir-hampir tak berbulu, banyak! Yang berjambul aneh-aneh juga banyak.<br />Sampai-sampai Mat Belatong tercengang dan berkata kepada istrinya,”Tengok tu makhluk ajaib! Korban zaman dan mode! Mereka tergagap sesat di arus dunia, tak tahu mana yang benar atau salah!“<br />Ayam-ayam pedaging yang menyingkap atau mencabuti bulunya agar bisa pamer paha, perut, pantat, punggung maupun dada ini, tentu membuat jakun musang turun naik menelan liur!<br />Akibat melanggar sesuatu yang tak tersurat di dalam hikayat, tak tersirat di dalam adat, meremehkan hukum syariat, tak aneh bila banyak ayam menjadi korban sia-sia.<br />Lebih dari itu, di akhirat kelak akan diperoleh kenyataan: banyak “ayam” yang masuk neraka ketimbang “musang”! Pun di sana, lebih banyak “bunga” dibandingkan “kumbang”!<br />Namun demikian, tak selamanya ayam selalu menjadi korban. Berhati-hatilah terhadap ayam yang berani gentayangan mencari musang, yang berani pamer: menjanjikan daging dan kelezatan itu.<br />Yang demikian ini, mungkin bukan sekadar ayam dara yang baru keluar dari kandang dan masih bloon, tapi bukan mustahil seekor ayam yang sudah “tinggi jam terbang”-nya!<br />Kini, banyak ayam yang sudah lebih pintar daripada musang! Hal ini dikarenakan si musang coba menawar-nawar firman Allah, dan merasa bahwa duit lebih berkuasa dari firman Allah. Akibatnya, tak sedikit musang yang menjadi lengah, lingau dan bodo-bale.<br />Dipikirnya, setiap ayam memang santapan musang, lalu main terkam saja!<br />Terpentang di mata kita betapa banyak ayam keluar dengan jeratnya, untuk mencari musang yang bisa dikadalin dan digombalin.<br />Musang naik pahar, paling empuk jadi sasaran. Karena selain punya jabatan juga banyak duit, tapi belum berpengalaman dalam berburu ayam, baru mulai masuk dunia “gaul”, masih kuat bloon-nya!<br />Akibat kalah dalam permainan “gombal-gombalan”, si musang terjerat, sukar melepaskan diri, bisa tinggal seluar katok (celana pendek/dalam – pen). Keluarga kucar-kacir, jabatan gunjang-ganjing, bahkan bisa tepelongkeng dari paharnya!<br />Bukan pula tak ada terjadi, ayam dan musang yang sudah tinggal sesarang karena diikat tali perkawinan, sudah beranak-pinak, same tak iye jak laki-bini, saling selingkuh, cari guling masing-masing, atau tukar guling!<br />Kemudian, kita simak pula bait terakhir dari pantun Melayu itu, di mana nenek-moyang berpetuah: Sungguh pun budi hanya setitik, langit dan bumi ada di dalam!<br />Budi adalah kesadaran nurani yang terdalam di lubuk hati manusia. Tatkala “budi” telah memancar dari lubuk hati seseorang manusia, niscaya perangai dan akhlaknya menjadi terpuji. Dia insan tertuntun!<br />Budi dalam makna hati nurani, tak lain adalah qalb atau kalbu manusia.<br />Kalbu atau hati dalam makna inilah yang bisa membuktikan kebenaran dari hadis Qudsyi: Tiada luas bumi-Ku dan langit-Ku, melainkan lebih luas Aku pada hati hamba-Ku yang mukmin, yang takut lagi suci.<br />Ke sinilah mungkin kaitan petuah nenek-moyang: Sungguh pun budi hanya setitik, langit dan bumi ada di dalam!<br />Tanpa budi-pekerti, manusia memang tak lebih mulia dari ayam dan musang.<br />Masih untung jadi satwa ayam dan musang yang sesungguhnya. Sebab tiada perhitungan atau hisab yang dikenakan kepadanya di hari akhirat.<br />Apa jadinya kalau manusia ayam, manusia musang, tatkala ajal menjemput belum juga sadar dan berubah? ***<br /><br />( Pontianak, 10 November 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-20783135252393075222007-07-27T10:46:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.340-07:00MAT BELATONG DAN SITUS SEJARAHOleh A. Halim R.<br /><br /> DALAM sebuah kesempatan, Mat Belatong dan sahabat karibnya – Mat Ketumbi – mengadakan perjalanan menyusuri jejak sejarah zaman Tok Adam, mengunjungi peninggalan zaman Hindu dan Budha yang ada di Kalbar ini!<br /> Kota pertama yang didatangi adalah Sanggau, yang bergelar Kota Dara Nante itu.<span class="fullpost"><br /> Dalam kapasitas apa pula Mat Belatong sampai berbuat seperti itu? Sejarawan bukan, orang Dinas Pariwisata bukan, orang Balai Kajian Sejarah bukan, orang Museum pun bukan! Tidak pula sebagai personel dari Perpustakaan Daerah! <br /> Tatkala ditanya oleh Mat Ketumbi tentang kapasitas dirinya dalam menyusuri situs-situs sejarah itu, Mat Belatong langsung menjawab,“Sebagai khalifah di muka bumi! Dan ana mencintai Kalbar, ana mencintai peninggalan nenek-moyang kite bukan tegal digaji sebagai pegawai. Kalok ente maok tahu isik dade ini, lebeh daripade ape yang ade di dade kaom pegawai tu. Orang-orang tu, kalok pon datang nengok situs sejarah dan begerak, tegal proyek! Ade SPJ! Kalau tadak dana mane begerak! Mane ade orang tu begerak demi cinte macam aku ni Ketuk, tahu ndak awak?!“<br /> Mat Ketumbi yang biasa disapa Ketuk itu mengangguk-angguk. Entah paham entah tidak, tapi Mat Ketumbi rela bersakit-sakit, sampai termuntah-muntah naik kendaraan umum demi menemani sahabatnya yang “pening“ Mat Belatong itu!<br /> “Kite bejalan ni Ketuk, memang ngeluarkan duet, tapi memperkaye batin. Ngambek ilmu langsong dari khazanahnye, bukan dari buku atau pengetahuan orang laen!“ ujar Mat Belatong kepada temannya yang udah telepe-lepe muntah kuning!<br /> “Ana paham Jon,“ jawab Mat Ketumbi telior-lior,“memang saket encarik ilmu tu! Maok jadi orang pintar jak telepe-lepe macam ana ni!“<br /> “Tahan Ketuk, tak ape-ape,” hibur Mat Belatong,”itulah tegalnye sekolah tu mahal!“<br /> Singkat cerita, maka sampailah mereka ke kota Sanggau.<br /> “Di sinik ade sebuah peninggalan sejarah yang penting, dan kite perlu bekunjong ke sanak!“ ucap Mat Belatong. <br /> Ketika sampai di Sanggau mereka turun di pangkal jembatan Sungai Sekayam. Lalu berjalan belok ke kiri menuju Kampung Sungai Sengkuang, terus masuk Kampung Setompak! <br /> Di sana kedua sahabat itu minta diantar oleh seorang warga setempat, menyeberang sungai menggunakan sampan kecil menunju Batu Sampai! Di situ, di lokasi pinggir sungai yang berbatu, terdapat sebuah sungau kecil, lebarnya sekitar delapan meter. Ada air terjun kecil, yang airnya jernih mengalir ke Sungai Sekayam. Lokasi ini sesungguhnya masih terbilang di dalam kota Sanggau. Di situlah terdapat sebuah prasasti peninggalan zaman Hindu!<br /> Batu Sampai, dalam bahasa daerah Melayu Sanggau bermakna: Batu Sangkut!<br /> Di bagian atas sungai kecil itu, tampak membelintang sebuah batu besar, seakan “tersangkut” di situ. Air terjun kecil mengucur melewati batu tersebut. Dan di batu itulah tertulis aksara masa lampau, sebuah jejak yang tertinggal dari zaman Hindu! Letaknya dari muara Sungai Sekayam, paling-paling enam kilometer!<br /> Di tempat itulah Mat Belatong terperangah. Harapan untuk bisa mengelus kembali “kaligrafi” hasil pahatan tangan nenek-moyang masa lampau, hancur seketika!<br /> Mat Belatong sontak marah, beleter tak tentu pasal! Mat Ketumbi pun ikut geleng-geleng kepala.<br /> Betapa tidak? Batu bertulis itu telah hilang aksaranya, terpudarkan oleh pahatan-pahatan baru, mungkin menggunakan paku, berganti dengan bermacam-macam nama manusia masa kini! Ini pasti pekerjaan para remaja dan pemuda yang berkunjung ke tempat itu. <br /> “Ngape budak-budak celake tu tak nules di batu di bawah sinik!?“ seranah Mat Belatong sambil menunjuk sebuah batu datar tempatnya berdiri, persis berada sekitar dua meter di bawah batu bertulis itu. Air yang jatuh dari atas memang menimpa batu datar tersebut. Namun karena batu datar itu cukup lebar, sesungguhnya masih banyak tempat bagi si bodo-bale untuk berbuat usil memperturutkan hawa nafsu vandalisme-nya! Dan ternyata, di batu datar itu tak ada tulisan buatan baru. Yang terjadi malah: memahat, menulis nama menimpa aksara kuno yang ada di situ! Ini jelas: penghancuran terhadap sebuah situs sejarah!<br /> “Beginilah ceritenye kalau anak-anak sejak SD sampai SLTP atau SLTA tak diajar oleh gurunya untuk menghargai peninggalan sejarah nenek-moyang! Bahkan gurunye pon mungkin butak-tulik gak, tak tahu kalau sebuah peninggalan sejarah yang sangat beharga ada di dalam kota Sanggau sendiri! Yang dijejalkan kepada anak-anak didik, cerita sejarah dari negeri orang, yang dikenalkan kepada anak didik peninggalan sejarah dari negeri orang, nun jauh di sana! Prasasti sejarah di negeri sendiri “sengaja” diabaikan, atau tak diketahui sama sekali. Berat kaki untuk melangkah, berat kepala untuk menoleh, berat hati untuk membuka pintu pemahaman terhadap negeri sendiri! Kini, sebuah peninggalan sejarah Hindu yang tak ternilai, hancur sia-sia karena kebodohan dan keusilan!“ damprat Mat Belatong manas.<br /> “Hancor Ketuk, hancor hati ana nengok hal macam ini!“ ucap Mat Belatong kepada rekannya Mat Ketumbi.<br /> “Waktu ana maseh malang-melintang di kota Sanggau sebagai pemuda, sebagai guru SPG dan SMA, membina para remaja dalam berkesenian dan berbudaya, tak separah ini perbuatan anak-anak dan remaja di kota ini. Dan ana sendirik pon menamatkan SD dan SMP di kota Sanggau. Tak sebrutal dan sebodoh ini kelakuan kami!” lanjut Mat Belatong. <br /> “Sekitar sepuloh taon yang lalu jak, waktu ana ke sinik, prasasti ini maseh mulus!“ tambahnya.<br /> Padahal, Prasasti Batu Sampai itu bukan sebuah situs sejarah yang bisa dianggap sepele. Ia memiliki keunikan tersendiri. Di batu datar di bawahnya, bisa dipakai untuk duduk, bertafakur, bermeditasi, bersemadi! Dan ia bukan sekadar batu tulis kecil, yang mudah diangkat dan dipindahkan. Ia begitu spesial, aksaranya terpahat di permukaan batu tempat air terjun mengalir! Ia sebuah “lembaran kitab“ yang ukurannya sekitar 2 x 4 meter. Sedangkan ukuran batu yang sesungguhnya sukar diperkirakan kubikasinya, sebab terbenam di dalam tanah. Demikian pula di kiri-kanannya.<br /> Adakah karena ia sebuah peninggalan agama Hindu, lalu boleh diperlakukan dan dirusak sewenang-wenang?<br /> Kita boleh Islam, boleh Nasrani, sekarang ini. Tapi jangan sangkal, nenek-moyang kita beragama Hindu. Prasasti itu jejak langkah, sebuah kabar dari masa lampau dari nenek-moyang kita sendiri, bagi anak-cucunya sepanjang zaman yang datang kemudian!<br /> Sebuah “malapetaka” telah terjadi akibat kejahilan!<br /> Ahli sejarah di dunia, pencinta sejarah di dunia telah kehilangan sebuah Kitab Batu! Dan itu terjadi di Kota Dara Nante: Sanggau! Ada yang peduli!? <br /> Mat Belatong dan sahabatnya lunglai meninggalkan tempat itu. <br /> Apa yang menimpa Batu Sampai ini jangan dianggap enteng: “Sanggau telah menghancurkan sejarahnya sendiri, telah menghapus situs kegemilangan masa lalunya sendiri!” <br /> Hal ini jangan terjadi di tempat lain! ***<br /> <br />( Pontianak, 10 September 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-29382755214146635112007-07-27T10:44:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.340-07:00MAT BELATONG DAN WAJAH DIRIOleh A. Halim R<br /><br /> YOMANDI LOKA, sahabat Mat Belatong, seorang fotografer “nyentrik” dari Kota Amoy Singkawang. Fotografer berusia kepala lima itu, bukan cuma berhasil menempatkan dirinya sebagai seorang pengusaha, yaitu Boss Teknik Foto Singkawang, tetapi juga seorang yang gila memotret, seorang fotografer kawakan yang selalu dahaga untuk hunting – mencari objek-objek foto – yang indah, aneh, bahkan nyeleneh!<span class="fullpost"><br /> Sesuatu yang tak ditoleh oleh fotografer lain untuk dipotret, dibidik olehnya, dan ternyata hasilnya: fantastik!<br /> Seekor keramak, sekuntum bunga putri malu, tetesan embun yang menggelantung di ujung daun, lewat lensa kamera Yomandi, membuat kita terperangah tatkala menyaksikan hasil potretannya. Benda “remeh” itu menjadi sesuatu yang menarik, menampilkan komposisi warna yang luar biasa, yang tak muncul bila dilihat dengan mata telanjang!<br /> Mat Belatong terkagum-kagum menyaksikan foto seekor keramak yang besarnya 10 – 15 kali keramak sesungguhnya! Mat Belatong yang dulunya gemar juga makan asinan keramak, kini telior-lior melihat komposisi warna yang ditampilkan Allah lewat penampakan seekor keramak! Dan itu baru tampak olehnya lewat karya foto “si gila” Yomandi Loka! Iya, Yomandi menjadi “gila” tatkala berada di lapangan, di ladang pemotretan, ketika keluar dari ruangan studio fotonya! <br /> Cocoknya, ia dilepaskan ke arena Perang Vietnam (kalau dulu!), ke rimba belantara Kalbar! Niscaya ia akan menjadi seorang perekam terulung dan terlengkap dalam mengumpulkan perbendaharaan, kekayaan alam, flora, fauna, human interest, seni-budaya, serta berbagai hal yang tak terpikirkan oleh kita! <br /> Kendati ia seorang pengusaha, namun tampak bahwa ia memotret bukan untuk duit! Duit bisa ditunggunya di studio foto – lewat karyawannya – sedangkan memotret untuk pemuasan dan pengayaan ruhaninya! <br /> Terbayang oleh Mat Belatong, betapa sesungguhnya Yomandi Loka, tak kalah dari fotografer profesional seperti Dennis Lau, Lim Poh Chiang, Lucas Chin ataupun Hedda Morrison, yang karya fotonya banyak terekam di buku-buku tebal yang cukup mahal, yang berperan besar dalam mengekspos eksotisme alam dan manusia Borneo bagi kepentingan antropologi maupun pariwisata Malaysia!<br /> Yomandi dengan rambut panjang berkuncir, dengan topi jungle, dengan rompi bersaku banyak, dengan seabrek ambinan berupa bag punggung yang berisi peralatan kamera, dengan kamera sekian buah menggelantung di lehernya, cocok sekali untuk kawan seperjalanan dalam berpetualang merekam wajah bumi Kalimantan!<br /> Suatu hari, Mat Belatong mendapat kiriman sebuah foto dari Yomandi. <br /> Ketika dibuka, foto yang ukurannya sekitar 40 x 60 cm itu ternyata potret wajah Mat Belatong!<br /> Diam-diam, dalam sebuah kesempatan bersama, Yomandi Loka ternyata telah memotret close up, wajah Mat Belatong dari samping! <br /> Dan wajah yang terpampang di foto – yang lebih besar dari wajah aslinya itu – membuat Mat Belatong terperangah!<br /> “Lewat foto ini, Bung Yo mengingatkanku, betapa sesungguhnya aku telah menjadi tua! Dan si tua di foto ini, lebih sering lupa kalau dirinya tua!“ ucap Mat Belatong di dalam hati. <br /> Tatkala bertemu dengan Yomandi Loka, Mat Belatong berkata,”Terimak kaseh Bung Yo, atas kiriman fotonye. Ente telah mengingatkan ana, bahwa ana bukan agik anak mude, tapi seorang lelaki tue! Terimak kaseh banyak atas peringatannye! Ana ni memang banyak tak tahu dirik, Bung Yo!“<br /> Yomandi Loka rada bingung juga mendengar celoteh Mat belatong. “Bukan begitu Bang Mat, itu kan foto buat kenang-kenangan,” jawab Yomandi. <br /> “Iye, foto kenang-kenangan, yang membuat ana berutang duet maokpon budi dengan Bung Yo. Cobe kalau ana nyetak sendirik, dah berape duet tu!“ ucap Mat Belatong.<br /> Yomandi tertawa dan berkata,”Tak osah piker itu Bang Mat! Bang Mat ni ade-ade jak,<br />macam kite tak kawan jak!“<br /> Tak lama setelah itu, kembali Mat Belatong menerima kiriman dari Singkawang, dari Yomandi Loka.<br /> Kiriman itu lewat seorang teman, dikemas dalam packing yang rapi, sehingga terjaga keutuhan barangnya. Ternyata berisi foto lagi, sudah berfigura bagus, lengkap dengan kacanya! <br /> Foto tersebut berukuran sekitar 35 x 60 cm, terdiri dari 4 buah foto yang dicetak di atas satu lembar kertas foto.<br /> Foto pertama, potret seekor ulat yang tengah merayap di sebuah ranting. Ulatnya diperbesar sehingga menjadi lebih panjang dari telunjuk orang dewasa. Seekor ulat dengan warna yang indah, hitam berlurik putih, bertotol kuning-jingga! Ada selembar daun di ranting itu, tinggal pangkal daunnya saja. Bagian lain dari daun itu, tentu telah habis disantap ulat tersebut!<br /> Foto kedua, gambar sebuah kepompong yang ujung bagian atasnya lengket di sebuah ranting. Sepertinya ranting tersebut adalah dari pohon yang sama. Kepompong bewarna putih itu bagus bentuknya, bagian bawah berbentuk bulat memanjang, atasnya seperti kerucut. Kepompong itu dicetak besar sehingga ukurannya lebih besar dari ibu jari kaki orang dewasa!<br /> Dua foto berikutnya adalah gambar kupu-kupu yang hinggap di ranting kayu yang sama. Kulit kepompong tampak masih bergantung di bawahnya, sudah kempis! Kupu-kupu pertama, mengesankan seperti belum lama keluar dari kepompongnya. Karena warna sayapnya belum matang dan belum secemerlang sayap kupu-kupu pada potret berikutnya. <br /> Oleh Yomandi, perubahan warna kupu-kupu tersebut diikutinya dengan sabar, sampai seekor kupu-kupu tampil dengan warna sayap yang sempurna, dan siap terbang!<br /> Foto tersebut oleh Yomandi diberi judul: Terciptalah Daku.<br /> Mat Belatong termenung menatap foto tersebut. <br /> “Yomandi kembali mengajariku, dan mengingatkanku!“ ucap Mat Belatong dalam hati. Betapa tidak. Sebuah proses kejadian, sebuah proses penciptaan yang dilakukan Allah, dipajangkan Yomandi di depan biji mata Mat Belatong!<br /> Dari sebutir “nutfah” (boleh dianggap: sebutir telur), telah hadir seekor ulat. Di sebuah pohon bisa hidup bermacam ulat dari berbagai bentuk serangga. Mereka hidup, dan mereka makan. Kalau perlu mereka bertarung untuk mendapatkan makanan, untuk keamanan dan kenyamanan pribadi! Dan itulah kehidupan yang tengah dijalani oleh Mat Belatong sekarang ini, oleh manusia di muka bumi ini!<br /> Untuk kehidupan di muka bumi, manusia rela berkelahi, bertarung, bersaing, berebut jabatan dan kenyamanan. Bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kenyamanan hidup di “pohon dunia”!<br /> Banyak yang beranggapan, kehidupan dunia adalah kehidupan yang sesungguhnya, sehingga apa-apa yang ada di “pohon dunia” harus diraup, dilahap! Dan tatkala itu yang dilakukan, niscaya ia akan menjadi ulat yang tak habis-habisnya bertarung demi nafsu. Dalam pertarungan di “pohon dunia”, ia bukan mustahil menjadi kotor, menjadi belepotan, bahkan menjadi invalid!<br /> Padahal kehidupan belum selesai. Dan seekor ulat yang salih – yang paham makna kehidupan – tahu, bahwa ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebab ada fase kepompong putih menunggunya. Sedangkan seekor ulat yang pekak-lantak, dengan segenap kecacatannya pun harus melalui fase masuk kepompong putih. Kalau manusia: masuk kain putih (kafan), masuk peti mati, masuk tanah, menjalani kehidupan alam kuburan (barzah).<br /> Kehidupan dalam selimut putih – kepompong – tidak butuh makanan. Kebagusan bentuk kepompong, kemilau warna kepompong, tercipta dari perilakunya tatkala menjadi ulat. Belepotan ulat itu, belepotan pula kepompongnya! Invalid ulat itu, cacat pula ia di kepompongnya.<br /> Dan tatkala fase kepompong mesti ditinggalkan, mereka akan menjadi kupu-kupu! Inilah kehidupan yang sesungguhnya bagi seekor ulat, kehidupan akhirat bagi manusia. <br /> Akankah ia menjadi kupu-kupu yang indah, yang perkasa untuk terbang bebas meninggalkan pohon? Kembali tergantung kepada perilakunya tatkala menjadi ulat, sulit dan mudahnya ketika menjadi kepompong.<br /> Kalau cacat, kalau invalid, mampukah ia terbang dengan perkasa mengarungi jurang dan ngarai yang menganga, di mana beragam predator berkeliaran!? Bukan mustahil ia akan jatuh ke ngarai kesia-siaan, menjadi mangsa predator yang ganas! Kalau manusia: ia akan jatuh ke jurang neraka, menjadi mangsa api yang dipeliharanya sendiri di dunia, dan dinyalakannya sendiri di akhirat! <br /> Ulat yang tenang di ranting – bagaikan bertafakur – dan kupu-kupu yang indah, yang menjadi sasaran kamera Yomandi Loka, mungkin berasal dari ulat yang salih. <br /> Mat Belatong masih tercenung, menatap kepompong putih dan kupu-kupu di hadapannya. “Terima kasih, Bung Yo, Anda masih mengingat dan mengingatkan saya,” ucapnya di batin. ***<br /> ( Pontianak, 4 Oktober 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-61909088972389801402007-07-27T10:43:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.340-07:00MAT BELATONG DAN RASA MALUOleh A. Halim R.<br /><br /> SI POLTAK, bertanya dalam sebuah dialog budaya, yang telah diadakan pada bulan September 2005 lalu: Apakah budaya malu yang ada sekarang ini warisan tradisional nenek-moyang, atau sekadar warisan dari bangsa penjajah?<br /> Sebab si Poltak melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa budaya malu yang dikatakan sebagai salah satu warisan “adiluhung” dari para leluhur telah beralih posisi.<span class="fullpost"><br /> Kini, orang menjadi malu kalau hanya punya rumah sebuah, kalau cuma punya mobil satu. Biar tak malu, perlu rumah bagus beberapa buah, perlu mobil bagus 4-5 buah! Bagaimana cara mendapatkannya, tentu menghalalkan segala cara!<br /> Jalan pikiran si Poltak bagus juga, cerdas dia menyindir! Mungkin hatinya pun pedih, melihat kenyataan: budaya malu telah berubah menjadi budaya tak tahu malu! Budaya malu mencuri telah beralih menjadi malu kalau tak mencuri. <br /> Apa yang disindir Poltak, terlihat nyata pula oleh Mat Belatong. Dan menurut Mat Belatong, dalam hal ini, kita tak perlu menyalahkan penjajah, atau arus globalisasi yang mirip tsunami itu! Keruntuhan akhlak seseorang, suatu bangsa, bukan karena orang lain, melainkan karena diri sendiri. Bisa karena pondasi moral atau akhlaknya memang labil – tidak kuat – bisa pula karena pilar maupun tembok moral memang rapuh.<br /> Contoh nyata, tatkala tsunami meluluh-lantakkan Aceh, sebuah masjid masih tetap berdiri tangguh!<br /> Masjid, rumah ibadah: lambang moral dalam pengertian yang luas dan dalam. Sebuah rumah ibadah – tatkala ia dimaknai sebagai rumah Tuhan – tatkala pondasi dan pilar-pilarnya telah tertancap kokoh di hati, niscaya tiada tsunami mampu menggongcangkan nya, bahkan dunia pun tiada mampu menggetarkannya! Allah hadir di dirinya, petunjuk Allah senantiasa membimbingnya: yang benar dan yang batil menjadi nyata, malu dan tak tahu malu bukan hal yang samar!<br /> Dan kini, menurut Mat Belatong, rasa malu memang telah berubah posisi. Dia tidak lagi ditempatkan di hati, yang marwahnya mengalir ke wajah, ke kening, ke hidung (dua dari delapan titik sujud yang bersentuhan dengan “sajadah”). <br /> Kini, rasa malu tak lagi ditempatkan di muka, tetapi (maaf ): di pantat! <br /> Dan tatkala pantat sudah dijadikan muka, semua orang pasti tahu akibatnya. <br /> Apa yang keluar dari pantat, sudah menjadi najis semua. Anginpun yang keluar, sudah bukan lagi bermakna “nafas” atau “serdawa”, tapi kentut! Batal wudu karenanya!<br /> Dan itulah yang terjadi, bila seseorang telah bermuka dengan pantat, yang keluar dari mulutnya, kalau bukan najis, ya kentut! Yang keluar dari mulutnya tatkala bicara, kalau bukan suatu yang memalukan – yang membuka aib kadar kapasitas dirinya sendiri – iya: angin! Yang namanya angin, pagi-sore, bisa berubah arah! Terkadang membawa bau harum bunga tanjung, tapi paling sering membawa bau busuk hasil pengolahan sampah di dalam perut! <br /> Tatkala investor ingin menanam modal, dan berhadapan dengan manusia bermuka pantat, yang pertama-tama ditanya olehnya: Berapa saham untukku, pembagianku sudah kau hitung belum!? <br /> Dia malu tak punya saham (walau tanpa setor modal sepeser pun!), untuk bekal setelah pensiun. Ia ragu terhadap masa depan Indonesia, sebab dia paham: dia sendiri punya andil untuk membangkrutkan negeri ini! Lebih dari itu: ia termasuk golongan orang-orang yang tak yakin atas janji Allah! <br /> Ini hanya sebuah contoh, perhatikan sendiri di lingkungan kita, di tempat kita bekerja, dan becerminlah. Jangan-jangan yang terlihat di cermin itu bukan wajah!?<br /> Dalih, hasil putar-belit otak, bisa diciptakan untuk pembenaran di hadapan sesama manusia. Bukti hitam di atas putih bisa dibuat, untuk pembenaran di majelis hukum manusia. Bahkan firman dan hadis sering dipakai atau diselewengkan untuk pembenaran kepentingan sepihak. <br /> Namun Allah, Penyaksi yang sangat dekat, punya “hukum kebenaran“ yang tak bisa diatur oleh manusia, yang tak mungkin diputar-belit oleh akal dan kolusi manusia.<br /> Dan tatkala pantat telah dijadikan wajah, tentu kehadiran Allah yang lebih dekat daripada urat batang leher itu tak bakal terpandang. Bagaimana mau merasakan kehadiran Allah, kalau Allah didurhakai dan dilecehkan. <br /> Berbagai ragam “wajah” manusia tampak jelas di sekitar kita.<br /> Orang arif, berkat kerahiman Allah, dianugrahi dapat memandang wujud beragam manusia dalam penampilan sosok binatang sebagai gambaran simbolik kebejatan moral dan nafsu seseorang! Pembohong, penipu, pemutar belit diperlihatkan dalam berbagai bentuk dan jenis ular! Si rakus, tamak, tak membedakan halal-haram, busuk dan baik, niscaya tergambar sebagai sosok: buaya! Demikian pula para penjilat, para penghasut dan pemfitnah, pun punya gambaran masing-masing! <br /> Bagaimana kalau dalam “figur ruhani” serupa itu seseorang harus menghadapi sakaratul maut!? Dan seyogianya semua kita ingat, betapa kematian bisa datang di mana saja dan kapan saja! <br /> Banyak orang kaya, tapi “rendah hati”, tak mau memperlihatkan dirinya kaya dengan cara: enggan berinfak dan bersedekah! Ada orang mampu, yang malu mengaku dirinya mampu, sehingga ikut mendaftar menjadi penerima: raskin dan dana kompensasi BBM. Sedangkan yang miskin, tahan berhutang (ke bank), agar terpandang!<br /> Ada pula orang kaya dan punya kedudukan, tetapi tetap merasa miskin, sehingga membuatnya menjadi pengemis dan peminta-minta! Kalimah “wirid”-nya: duit-duit!<br /> Sampai-sampai ada pula yang bersikokoh mempertahankan status “mualaf”-nya belasan tahun, agar memperoleh simpati dan sumbangan.<br /> Untung saja para sahabat Nabi, seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali, Abu Dzar tak bertingkah seperti itu. Begitu menjadi muslim, mengucap dua kalimah sahadat, langsung mantap, tanpa keraguan! Padahal para sahabat Rasulullah itu seluruhnya berasal dari orang kafir! Mereka tak butuh sedekah untuk peneguh tauhid. Bukan mustahil mereka tak suka kalau disebut mualaf. Sebab predikat mualaf seperti mengandung konotasi: masih baru, masih ragu, masih belum mantap! <br /> Dan Abubakar, begitu menjadi Islam, bersedekah habis-habisan untuk perjuangan Islam! Sampai-sampai Nabi pun heran dan bertanya,“Apa lagi yang tersisa untukmu dan keluargamu?“ <br /> Abubakar menjawab,”Untukku dan keluargaku, cukuplah Allah dan Rasul-Nya!“ ***<br /> ( Pontianak, 30 September 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-16941295708849898702007-07-27T10:42:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.341-07:00HADIRKAN “SENI PUBLIK“ DI SETIAP KOTAOleh A. Halim R<br /><br /> SENI PUBLIK (Public Art) adalah karya seni yang sengaja diciptakan dan dibuat untuk masayarakat, ditempatkan di ruang kehidupan masyarakat suatu kota atau satu wilayah.<span class="fullpost"><br /> Di kota-kota di wilayah Kalbar, seni publik belum mendapat perhatian dan proporsi yang semestinya dari para pemegang kekuasaan dan kebijakan yaitu eksekutif dan legislatif. Memang ada yang telah memulainya, tapi perlu lebih dikembangkan.<br /> Padahal, seni publik sangat dibutuhkan, antara lain untuk memberi identitas lokal, menunjang pariwisata, sarana pendidikan bagi generasi muda, pembudayaan moral manusia, dan sebagai indikasi dari sebuah masyarakat yang telah maju! <br /> Tiadanya seni publik, atau minimnya seni publik di sebuah kota, niscaya membuat kota tersebut terasa “gersang”, suasana hati masyarakat tidak teduh, memicu keberangasan, hilang rasa memiliki, dan timbul keinginan untuk merusak.<br /> Coreng-moreng, coret-moret di dinding dan tembok yang dilakukan sementara generasi muda, sebenarnya sebuah “protes” terhadap kegersangan sebuah kota. Sebuah kota, atau wilayah huni masyarakat, ibaratnya sebuah kanvas lukis. Tatkala yang dihadirkan di kanvas itu adalah bentuk-bentuk kaku, yang monoton dan menjemukan, niscaya timbul rasa kejenuhan dan kejemuan memandangnya. Lukisan di kanvas penaka itu, memang sepertinya tak perlu dipelihara, sebab si pelukisnya saja (pemegang kekuasaan dan kebijakan pembangunan) berbuat seenaknya! Akibatnya, maka timbullah keinginan untuk melecehkannya: Kalau tatanan kote cume macam itu, ape salahnye dicoreng-moreng, di-pylox warne-warni! <br /> Hadirnya seni publik di sebuah kota secara memadai, tentu bisa menjadi benang merah pengikat rasa kebanggaan dan kebersamaan seluruh masyarakat. Kota yang teduh, indah dan nyaman, tentu tak ingin dirusak oleh warganya. Sebuah “pencerahan” telah terjadi karena hadirnya seni publik!<br /> Apakah bentuk seni publik itu? <br /> Seni publik boleh terdiri dari karya seni dua dimensi, tiga dimensi, holografi (foto yang terbuat dari sinar laser-bisa berubah-ubah), lampu hias, air mancur (muncrat), seni pertunjukan kolosal dan lain-lain.<br /> Sifatnya, ada yang permanen, seperti: piramid, candi, museum, bangunan, gedung, taman, lingkungan fisik, jembatan, jalan, patung, pintu gerbang, mural (lukisan dinding atau tembok), relief (gambar timbul), mosaik (lukisan terbuat dari potongan keramik, ubin, kayu), dan lain-lain.<br /> Ada yang bersifat sementara, seperti panggung terbuka (tak tertutup kemungkinan: panggung terbuka permanen), instalasi untuk festival seni budaya, billboard, baliho dan lain-lain.<br /> Lalu ada pula bentuk seni publik yang bergerak, seperti sarana angkutan atau transportasi kota, maupun antar-daerah, baik berupa kendaraan air maupun darat. Terlebih untuk angkutan wisata. <br /> Tatkala semuanya itu dihadirkan dengan memperhatikan aspek artistik dan memiliki ciri-ciri daerah, tentu kota dan daerah Kalbar bisa menjadi sebuah bentangan “kanvas” yang sangat indah. <br /> Bangunan, baik rumah, rumah ibadah, pasar, mall, ruko, kios, kantor serta gedung-gedung bila diberi ciri khas daerah, antara lain ornamen tradisional Dayak dan Melayu, niscaya tak sekadar menjadi “bangunan telanjang” yang gersang. <br /> Bangunan telanjang dan gersang yang telah kita miliki, sesungguhnya bangunan yang bersifat umum, yang bisa ditempatkan di mana saja. Di tempatkan di Australia, di Hongkong pun tak ada masalah. Sebab tak berciri khas daerah, hanya sekadar bangunan “globalisasi” yang bisa ditemukan di mana-mana. <br /> Para arsitek dan pemegang kekuasaan perlu punya visi, bagaimana kita membuat sebuah gedung, sebuah bangunan, sebuah mall, yang hanya cocok untuk ditempatkan di daerah ini. Sebab bangunan tersebut berciri khas daerah Kalbar, tidak cocok bila berada di tempat lain! Hanya dengan cara ini kita membuat daerah kita, kota kita menjadi kota yang punya ciri tersendiri di dunia, kota yang eksotik! <br /> Demikian pula dengan sarana lainnya, semisal sampan tambang, speedboat tambangan,<br />motor klotok, kapal bandong, oplet maupun bus! Termasuk juga dalam membuat jembatan. Jangan hanya faktor fungsinya saja yang diutamakan, tetapi juga nilai-nilai estetisnya. Poleslah, berilah “aksesoris“ yang memiliki unsur-unsur seni. Sehingga sebuah sampan, sebuah jembatanpun bisa menyejukkan perasaan warga, bisa menghanyutkan warga untuk menjadi manusia beradab, punya rasa kemanusiaan yang tinggi, halus budi pekertinya. Demikian juga dengan jalan taman ataupun trotoar. Hiasilah dengan mosaik warna-warni berciri khas daerah. Trotoar dari paving block, tanpa penambahan biaya, bisa dibuat menjadi trotoar yang bagus: trotoar khas daerah Kalbar. Tinggal memasukkan zat pewarna tatkala paving block tersebut dibuat. Kemudian tatalah dengan motif-motif tertentu. <br /> Eksekutif dan legislatif perlu merancang kebijakan, baik berupa saran, himbauan, pedoman, peraturan, keputusan dan prosedur untuk kita mewujudkan hadirnya seni publik di kota-kota di daerah ini. <br /> Patok-patok kilometer di sepanjang jalan antarkota, bisa dibuat berciri khas masing-masing. Bisa berbentuk patung sedernana, balok berukir, atau bentuk lainnya. Sehingga ketika kita memasuki wilayah Kapuas Hulu misalnya, patok kilometernya lain dengan yang ada di wilayah Kabupaten Sintang. Begitu pula dengan patok kilometer yang ada di daerah Kab Sambas dan Bengkayang. Alangkah indahnya. Alangkah uniknya Kalbar. Betapa pula bila pintu gerbang batas wilayah kabupaten dibuat bersama dengan dana bersama, tentu kemegahannya akan menjadi lebih nyata. <br /> Arsitektur bangunan, jembatan, pintu gerbang dan lain-lain, boleh modern, namun poleslah dengan ornamen, atau mural, atau mosaik berciri khas daerah. Demikian juga taman, hadirkan “petak alam daerah”, tambah dengan patung, totem yang ada kaitannya dengan Kalbar. <br /> Sebuah patung ataupun monumen, sangat baik bila menampilkan figur-figur “legendaris” berbentuk manusia, simbol-simbol etnik, maupun keakraban etnik. Sosok binatang-binatang langka khas Kalbar, pun perlu ditampilkan dan tersebar di berbagai penjuru kota, diberi keterangan: nama, nama ilmiah (Latin) ataupun sedikit keterangan lain. Namun, kecuali menampilkan patung atau monumen yang naturalis, juga bagus ditampilkan patung-patung yang ekspresif yang punya ciri khas daerah yang kuat.<br /> Pada FBBK (Festival Budaya Bumi Khatulistiwa) September 2005 lalu di Gedung PCC Pontianak, saya melihat karya-karya patung yang ekspresif muncul di stand pameran Sintang dan Landak! Patung-patung serupa itu, bila dibuat dalam bentuk yang besar – bisa dari bahan semen – sangat original dan kuat untuk menghiasi kota-kota di daerah ini. <br /> Daerah Melawi, artis pemahatnya pun tampak kuat sekali dalam menampilkan ornamen timbul (relief) pada “mandau raksasa”-nya. Ornamen-ornamen penaka itu sesungguhnya mampu tampil untuk monumen berbentuk pilar-pilar tunggal – Dayak Round Pole -- (tiang pantar – tiang sandong) dalam ukuran besar, ataupun sebagai pilar pintu gerbang! <br /> Tatkala kebijakan berseni publik ini dilakukan oleh setiap gubernur, setiap walikota, setiap bupati di daerah ini secara berkesinambungan, tentu wajah Kalbar dalam 10 tahun mendatang akan lain! Tatkala dianggarkan setiap tahun harus hadir sebuah monumen atau sebuah taman, atau sepetak “water front“ di tiap-tiap kota di daerah ini, berarti kita telah beranjak menapaki jalan masyarakat berbudaya! <br /> Anggota masyarakat yang mampu, pengusaha, sangat diperlukan untuk membantu kehadiran seni publik di daerah ini. Tatkala membangun rumah, taman, buatlah yang memiliki ciri khas daerah Kalbar. Setidaknya ada sentuhan seni, bisa berupa ornamen, relief, mosaik, ataupun ukiran kerawang. Begitu pula ketika membangun ruko, kios, bahkan pagar rumah !<br /> Seandainya (mudah-mudahan tidak) terjadi kerusuhan di sebuah kota, niscaya sesuatu yang memiliki unsur seni publik, tak akan gampang dirusak atau dibakar massa. Sebab, ada rasa ikut memiliki, ada simbol-simbol di sana! <br /> Beberapa elemen memang terlibat dalam pembangunan seni publik ini. Antara lain artis (pekerja seni), arsitek, juru desain, warga masyarakat (artisan: penggemar seni), pengusaha, maupun pihak pemerintah.<br /> Roma, Paris, telah menata seni publik-nya sedemikian rupa, sejak berabad lampau, secara berkesinambungan dari satu raja ke raja lainnya. Dan kini seluruh masyarakat dunia mengaguminya, atau bisa menikmatinya!<br /> Di Pontianak, bangunan GOR Pang Suma, Gedung Kartini, Kantor Gubernur, Gedung PCC, terasa sebagai sesuatu yang belum selesai sempurna. Ibarat baju dan celana telok belanga, ia dibiarkan polos. Tentu pakaian adat Melayu itu akan lebih anggun, bila di bagian kaki celana diberi bersulam, pergelangan tangan diberi bersulam, demikian juga leher dan dada! Tanjak di kepala, bukan cuma sekadar kain kosong polos, tentu lebih indah bersulam atau diberi pernak-pernik. Dan kain setengah tiang di pinggang, niscaya terasa hampa, bila hanya kain polos begitu saja. Tentu lebih gemerlap, dan marwah Melayu jadi terangkat kentara manakala menggunakan kain tenun bertabur motif benang emas atau kalengkang.<br /> Sesungguhnya demikian pula yang perlu terjadi pada bangunan dan gedung di daerah ini. Dinding-dinding polos, akan menjadi lebih memikat dan punya identitas, bila diberi sentuhan seni seperti ornamen dan lain-lain. Contoh yang baik antara lain, gedung Kantor PLN di Jalan A.Yani Pontianak. Biarpun sedikit, namun nuansa Kalbarnya terasa menyentuh!<br /> Dalam menggunakan hiasan bermotif burung enggang, seyogianya perlu dimengerti bahwa ada dua jenis enggang yang derajatnya setara dalam mitos tradisional Dayak. <br /> Pertama, Enggang Gading (Rhinoplax vigil, Iban: Tajai) yang menjadi maskot daerah Kalbar. Enggang Gading (Kalbar), mahkota di kepalanya papak macam helm, sehingga disebut pula: Helmeted Hornbill.<br /> Kedua, Enggang Badak (Buceros rhinoceros, Iban: Kenyalang) yang menjadi “Burong Negeri“ atau State Bird of Sarawak: burung Lambang Negeri Sarawak! Kenyalang sangat dilindungi di Sarawak, yang membunuhnya bisa mendapat hukuman.<br /> Enggang Badak (Sarawak), mahkota di kepalanya mencuat ke atas bagaikan cula badak, sehingga disebut pula: Rhinoceros Hornbill. Oleh seniman tradisional Iban yang kreatif, cula itu distilir, bahkan dibuat menjadi “bergulung”.<br /> Dan hiasan enggang yang bertengger di atas atap Kantor Pelni di Jalan Sultan Abdurrahman Pontianak itu, adalah Enggang Badak, Burong Negeri Sarawak! Desain yang diterapkan di situ, pun desain: Lambang Museum Negeri Sarawak! <br /> Dalam menciptakan seni publik di daerah ini, memang diperlukan artis atau pekerja seni yang piawai, dan cukup paham terhadap tradisi seni budaya yang ada di daerah ini.<br /> Mari berbuat, dan wariskanlah berbagai karya seni publik untuk generasi mendatang, sebagai pertanda bahwa kita pernah hidup! ***<br /> ( Pontianak, 3 Oktober 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5508551759236279386.post-73254107777882985552007-07-27T10:40:00.000-07:002007-07-27T10:59:03.341-07:00MAT BELATONG PENYEBAR ISUOleh A.Halim R <br /><br /> CERITA ini anggap saja kejadiannya, berlangsung menjelang peringatan HUT Ke-60 Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2005 lalu.<br /> Suatu hari Mat Ketumbi datang tergopoh-gopoh ke rumah rekannya Mat Belatong. Melihat rekannya datang gopoh-gapah seperti membawa berita kematian dari salah seorang warga kampung, Mat Belatong langsung bertanya,”Siape agik yang kenak jempot Ijrael menghadap Allah, Ketuk!?“<span class="fullpost"><br /> “Sabar lok, bukan soal mati, surohlah ana ni dudok lok, siapkan kopi!“ ucap Mat Ketumbi sambil mengeluarkan rokok Pilkada yang masih tersisa sebungkus.<br /> Setelah sama-sama duduk, Mat Ketumbi langsung melapor,”Jon, ini ibuk-ibuk di kampong kite ni mulai hilang lede! Macam ketadakan kerje jak. Untok memperingati hari tujoh belas Agustus ni nak ngadekan Kontes Long Deres pulak. Ndak ke ini kerje salah, mbuat dose ngolok-ngolok orang tue! Mentang-mentang Long Deres tu ade kelainan lalu nak disamekan dengan bintang felam macam si Tessy, Didik Nini Towok, Dorce jak!“ <br /> “Benar ke ndak cakap awak ni Ketuk!?“ tanya Mat Belatong mulai terprovokasi.<br /> “Eh, ente ni macam tak kenal ana jak. Dari ujong kampong ke ujong kampong jak orang udah nyeritekan ini semue, boleh ke ana bual!? Banyak dah yang mendaftarkan dirik ke panitia!“ jawab Mat Ketumbi meyakinkan.<br /> Pikiran Mat Belatong mulai menerawang, membayangkan sesosok manusia di kampung mereka yang biasa disapa: Long Deres. Bukan Deres anak muda yang pandai membuat patung itu! <br /> Long Deres memang seorang figur yang unik. Namanya yang sebenarnya Idris, tapi kenak lidah Melayu jadi: Deres. Manggel orang dengan name dipleset-plesetkan ini, menurut sinyalemen Mat Belatong bisa pula terjadi karena memang: lidah tak bertulang! Bayangkan, kalau lidah itu bertulang, bisa-bisa bukan lagi Deres yang terucapkan, tapi: Delete! Ini lebeh parah agik, sebab maknanye tak laen: hapus dari layar monitor, lenyap dari muke bumi!<br /> Akan halnya Long Deres, karena ia anak tertua dari enam bersaudara, lalu disapa dengan panggilan: Long, yang bermakna sulong atau sulung. Karena sudah rada berumur juga, jadi disapa: Pak Long.<br /> Long Deres sosok figur yang cukup unik. Lebih banyak berkain panjang, ketimbang bercelana seperti umumnya pria. Dalam bahasa Arab mungkin termasuk golongan “hunsa”, tak boleh jadi imam salat kaum lelaki, boleh menjadi imam salat kaum wanita. Dalam bahasa Indonesia masa kini biasa disebut: waria! (Jangan sebut: wadam, sebab berkaitan dengan nama Nabi Adam Alaihi Salam!) <br /> Seperti tersentak dari lamunannya Mat Belatong bertanya,”Long Deres udah tahu belom pasal ini?“<br /> Mat Ketumbi menjawab,”Ana belom tahu, pon ana belom ade betemu dengan Long Deres.”<br /> “Ini bise celake ibuk-ibuk ni kalau tak ade persetujuan dari Long Deres. Kalau Long Deres tak terimak, ini sebuah bentuk pelecehan terhadap kaum hunsa. Pelecehan terhadap sesame manusia, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia! Long Deres boleh mintak tolong Bang Taheri Noor dari Komnas HAM Pusat untok menjadikan masalah ini sebagai salah satu agenda dalam Sidang Umum PBB!” ucap Mat Belatong. <br /> “Macam mane pikeran ente kalau hal ini kite tanyakkan langsong ke Long Deres?“ usul Mat Ketumbi. <br /> “Benar kate awak tu Ketuk, biar lebeh genah,“ jawab Mat Belatong.<br /> Kemudian kedua sahabat kental itu berjalan menuju ke ujung kampung, untuk menemui orang yang bernama Long Deres itu. Rumahnya memang agak di ujung kampung.<br /> Kehadiran dua sahabat itu diterima Long Deres dengan segala kehangatan dan keramahtamahannya. Ditambah pula dengan gerak dan gaya Long Deres ketika berbicara, tangannya pun ikut bergerak dilemahgemulaikan. Kadang-kadang bibernye sampai teberot-berot kalau ngomong!<br /> Mat Ketumbi rase dilebuk tatkala Long Deres menepuk pundaknya yang tipis itu sambil berkata,”Lamaknye gak kau Ketuk tak suah ke rumah. Dah kaye kali kau ni, tak suah agik mintak belikan rokok. Dah tak nyaman agik kali kopi di rumah aku ni?“<br /> “Bukan begitu Long, saye ni hidop macam ayam! Tekikes-tekaes hari ini buat makan hari ini. Besok ngaes sanak-ngaes sinik buat makan anak-beranak besok!“ jawab Mat Ketumbi. <br /> Adapun Long Deres ini postur body-nya gempal, kalau di sebuah kesebelasan sepakbola, cocok jadi bek ! Dan kehidupan Long Deres, dari segi finansiel, memang lebih makmur dari Mat Ketumbi. Maklum, sebagai waria, ia punya banyak keterampilan. Piawai masak, pintar merias pengantin, pandai menyulam dan lain-lain. <br /> Namun tatkala diceritakan perihal ibu-ibu yang akan menyelenggarakan kontes mengenai dirinya, sontak Long Deres tekanjat. Hilang cerita lemah gemulai, muncul cerita meradang.<br /> “Celake jahanam siape pulak yang punye ide begini. Padahal bukan aku pernah bebuat jahat, khianat dengan ibuk-ibuk tu. Nempah kenak penampar kali! Ini, biasenye yang suke nak ngadekan kegiatan-kegiatan macam ini bininye Wak Man tu! Cobe jak kalau berani ngolok-ngolok aku, pendeknye kuhancorkan acara yang dibuatnye tu!“ damprat Long Deres.<br /> Tiba-tiba Mat Ketumbi mengajukan usul,“Baeknye sekarang kite ngagak Pak Kades, biar Pak Kades jak yang nyelesaikannye. Sebab kalau sampai ade yang beramok di kampong kite, pasti masok koran, polisi ikot campor tangan, berat urusannye!“<br /> “Benar cakap awak tu Ketuk. Bagosnye kite ngagak Pak Kades sekarang ugak Long, biar genah,” ucap Mat Belatong menjawab Mat Ketumbi sekaligus berkata kepada Long Deres.<br /> “Aa, kalau gituk, tunggu sebentar!“ ucap Long Deres beranjak dari kursinya sambil menyingkap kain panjangnya agar mudah bergerak. Ia masuk ke kamarnya sebentar untuk bersisir dan berbedak!<br /> Setelah itu ketiganya lalu berjalan menuju ke kantor Kepala Desa.<br /> Di tengah jalan, tampak anak Mat Ketumbi berlari-lari menemui ayahnya, sembari berkata,”Yah, ayah disuroh Mak balek. Ade datok dari Sungai Kambeng datang!“<br /> Mat Ketumbi menoleh kepada Mat Belatong ingin mengatakan sesuatu. Tapi telah didahului oleh Mat Belatong,”Awak balek jak, uros dolok ayah mertue awak tu. Kali gak beliau tu saket!“<br /> Di kantor Pak Kades, Long Deres langsong beleter, menceritakan hal-ikhwal yang tengah dihadapinya. Pak Kades tampak terkejut juga, tapi berupaya menenangkan Long Deres yang tampak manas benar. “Sabar Long, sabar. Soal kegiatan ibuk-ibuk tu belom ade lapor dengan ana. Tapi tunggu sebentar, ana tanyakkan dolok ke staf ana,” kata Pak Kades. <br /> Pak Kades keluar ruangan kerjanya, menemui salah seorang stafnya. Dan ternyata stafnya yang bernama Dolek Info itu, telah mendengar kabar tersebut. Bahkan ia tahu pula siapa yang menjadi ketua panitia kontes itu, walaupun surat panitia belum masuk.<br /> Alhasil, si Dolek disuruh Pak Kades menjemput penyelenggara kontes.<br /> Ternyata dugaan Long Deres betul, memang istri Wak Man yang menjadi ketua panitia, dan ia datang bersama dua orang ibu lainnya.<br /> Begitu istri Wak Man masuk ruangan Pak Kades, meja Pak Kades meletop ditepok Long Deres, dan ia langsung beleter nyeranah istri Wak Man dan kedua temannya.<br /> Istri Wak Man kaget tak alang-kepalang, seorang rekannya sampai latah berkepanjangan nyebot barang yang tak pantas diucapkan di depan umum!<br /> Untung Pak Kades segera menengahi dan menyabarkan Long Deres. Kemudian Pak Kades menceritakan pangkal sengketa yang diadukan oleh Long Deres kepada istri Wak Man. <br /> Mendengar apa yang diungkapkan oleh Pak Kades, balik istri Wak Man yang meradang. “Ini mulot celake jahanam siape yang nyampaikan isu dan fitnah macam ini kepade Long Deres!“ ucap istri Wak Man.<br /> Kemudian wanita itu berkata,“Maaf Long, ape yang nak kamek kerjekan ni, same sekali tak ade kaet-mengaetnye dengan Long Deres. Same sekali tak ade niat nak ngine ataupon melecehkan Long Deres. Jiwe Long Deres, bagian dari jiwe kamek. Pon selamak ini Long udah banyak membantuk warga kampong kite. Kalaupon Long Deres ade tekaet, tentulah berkenaan dengan rias-merias. Sebab udah pasti, banyak ibuk-ibuk yang mintak tolong Long Deres untok make up, ataupon menjaet pakaian. Sebab yang nak kamek adekan ni Kontes Long Dress atau Kontes Gaun Panjang!”<br /> Lebih lanjut istri Wak Man bertanya,”Ini mulot celake jahanam siape yang nyampaikan isu sesat ini kepade Long Deres?“<br /> Long Deres yang tampak terkesima dan menjadi paham atas persoalan yang sebenarnya lalu menjawab sambil menunjuk Mat Belatong,”Ini, tegal Mat Belatong ni becakap, bahwe ibuk-ibuk nak ngadekan Kontes Long Deres, kontes banci macam Long Deres, mangkenye aku ni meradang!“<br /> “Memang celake sekok ni suke amat mbuat pasal!“ tuding istri Wak Man kepada Mat Belatong. Yang dituding tertunduk, meringkuk seperti orang yang serba salah.<br /> “Kalau tak ngerti betanyak, kalau tak paham bagos diam. Bodo-bale tu dibagi-bagi, jangan dipakai sorang! Kalau bodo dipakai sorang, inilah akibatnye! Nyaketkan orang laen! Tegal bodo, timbol fitnah!“ damprat istri Wak Man geram. Kalau tak ade Pak Kades, barangkali dikeremosnye muke Mat Belatong. <br /> Sambil menunduk Mat Belatong berkata,”Buk, maaf Buk. saye jadi begini pon tegal Mat Ketumbi tu membagikan bodonye ke ana! Pon ibuk jangan cakap begitu. Tak piker ke ibuk akibatnye kalau saye bagikan bodo saye ke orang laen. Ndak ke makin banyak orang bodo-bodo di kampong kite. Akibatnye, name kampong kite pon bise berobah, jadi kampong bodo-bodo! Pak Kades pon bise disebot orang Pak Kades bodo-bodo!“<br /> “Belatong celake,” ucap istri Wak Man,”tegal ngomong dengan awak ni akupon jadi bingong. Dah rase bodo-bodo gak aku sekarang ni!“ ***<br /><br /> ( Pontianak, 21 September 2005 )</span>MAT BELATONGhttp://www.blogger.com/profile/01469450582972997169noreply@blogger.com0