Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, November 2, 2007

Babi Makan Ikut Kera


Oleh A.Halim R

ADA SEBUAH pepatah lama Cina, yang kalau diterjemahkan secara bebas, artinya kurang lebih berbunyi: babi makan ikut kera!
Kisahnya, nun di dalam hutan sana serombongan kera – bisa sampai 50-60 ekor – sedang merambah hutan mencari makanan berupa daun-daunan ataupun buah-buahan. Mereka berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Sejumlah induk kera tentu ada pula yang menggendong bayi yang bergantung di dadanya.


Di bawahnya – di tanah – berjalan pula rombongan babi mengikuti kera-kera di atasnya. Mereka mengharapkan buah-buahan sisa makanan kera yang dijatuhkan ke tanah! Kalau nasib untung, didapat pula buah-buah yang masih bagus dan masak, yang gugur sendiri tatkala si kera meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Rombongan babi ini pun ada pula yang anak-beranak. Kepada babi-babi muda sudah mulai diajar: bagaimana salah satu alternatif mencari makan! Kalau susah mencari makanan sendiri, ikut kera pun jadilah!
Hidup dan mencari makan seperti ini, apakah tergolong kolusi, simbiosis, pemulung, tak perlu dipikirkan.
Sebagai sebuah pepatah, tentu saja pepatah Cina di atas bukan untuk menyindir bangsa babi, melainkan menyindir bangsa manusia!
Kalau kita mau mencermati kehidupan di muka bumi ini, maka ada manusia yang berperan seperti kera, ada pula yang berperan sebagai babi!
Yang berperan menjadi kera antara lain mereka yang mencari makan pada jalur-jalur yang bertentangan dengan hukum, kaidah agama, etika, susila dan adat kebiasaan manusia beradab! Contohnya, membuka lapak judi, permainan biliar-ketangkasan terselubung, tempat prostitusi, kopi pangku, diskotek-karaoke plus, panti pijat terselubung, penyelundupan, illegal logging, PETI, penjualan miras, dan lain sebagainya.
Di tempat-tempat seperti itulah banyak babi-babi menumpang mencari makan! Mereka bukan karyawan perusahaan tersebut, sebab para karyawan hanya tergolong monyet-monyet kecil peserta rombongan kera!
Yang jadi babi – yang menumpang mencari makan di tempat-tempat serupa itu – bukan lain adalah sementara oknum aparat dan pejabat, baik ABRI, Polri, penegak hukum, PNS, preman dan lain-lain!
Si kera pun termasuk “arif”, sadar bahwa pekerjaannya salah. Oleh karena itu, cincai-lah, bagi-bagi rezeki tak masalah. Setiap akhir bulan ia mengantar “ang pao” atau “sopui” kepada para petinggi. Setiap malam sedekah Rp 5 atau Rp 10 ribu kepada petugas patroli, tak masalah!
Itulah budaya kera dan babi, yang telah merasuk ke hati hingga tulang sum-sum banyak orang di daerah ini, bahkan negara ini. Dan tentu masih ada beragam macam pekerjaan yang dilakukan babi di luar itu. Namanya juga babi – makhluk omnivora: pemakan segala – selain mencari makan ikut kera, tentu semua cara halal baginya untuk memperoleh makanan, terlebih untuk memperkaya diri sendiri. Apakah yang dilakukannya itu menyebabkan sendi-sendi hukum, ekonomi, sosial-budaya di daerah dan negara ini menjadi kropos, ia tak peduli! Karena banyaknya “babi” itulah Indonesia merupakan salah satu negara di muka bumi ini, yang menempati peringkat atas dalam hal korupsi, pun termasuk ranking dalam hal keberantakan akhlak!
Seorang Brigjen Polisi bernama Nanan Sukarna – Kapolda Kalbar – telah menggumpalkan tekad Anti KKN ke hatinya, dan ia menyematkan Pin Anti KKN ke dada kanan pakaian seragam setiap anggota polisi di daerah ini. Ia ingin memberantas kelakuan babi!
Ragukah kita kepada tekad Nanan yang demikian itu?
Nanan tak perlu diragukan. Ia seorang lekaki yang keras dalam prinsip, lembut dalam berbicara, tegas dalam tindakan.
Ia bertekad untuk membawa jajaran kepolisian di Kalbar keluar dari “zaman jahiliah”, seperti yang diungkapkannya pada Peringatan Ulang Tahun PWI Cabang Kalbar belum lama ini.
Di tengah-tengah “budaya babi” inilah Nanan ingin berbuat. Tak bisa “memanusiakan babi” di seluruh strata sosial di daerah ini, di lingkungan kepolisian dulu pun jadilah.
Ini pasti bukan pekerjaan ringan. Sebuah kebenaran mutlak dari Allah yang dipikulkan ke pundak Muhammad SAW saja, mendapat tantangan berat dari kalangannya sendiri: kaum jahiliah kafir Quraisy!
Nanan tentu akan berhadapan dengan para Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sikat., Abu Sembat, Abu Belanat, Abu Peras, Abu Pungli, sampai Abu Gosok, baik dari kelas prajurit maupun kelas perwira di lingkungannya.
Bukan hal yang gampang bagi seseorang untuk keluar dari “kebabiannya” untuk menjadi manusia baik-baik, orang yang berakhlak mulia. Tentu tak mudah untuk meninggalkan kebiasaan nyaman – tanpa merasa bersalah dan berdosa – melakukan pekerjaan menyimpang, memakan barang haram dan subhat!
Namun sebuah tekad mulia yang dilakukan dengan segenap upaya, tanpa pernah putus asa, niscaya telah memperoleh ganjaran kebaikan dari Allah. Terlepas dari berhasil atau tidak.
Jalan yang ingin ditempuh Nanan adalah: shirathal mustaqim – jalan yang lurus!
Alangkah indahnya, bila dari hari ke hari barisan Nanan makin banyak pengikutnya, makin panjang shaf-nya. Barisan ini niscaya akan membuat risih, kian mempersempit gerakan dan sepak terjang “polisi Abu Jahal Cs” itu.
Dengan pasukan takwa yang bersahaja, namun bertekad baja itulah pasukan Muhammad SAW bisa meruntuhkan kekaisaran Romawi di Konstantinopel di sebelah barat, dan menundukkan Persia di sebelah timur!
Dengan pasukan yang ber-pin “Allah” di keningnya,”Muhammad” di dadanya, atau ber-pin rosario di dadanya, kita berharap barisan Nanan bisa membersihkan sifat “kebabian” di lingkungannya, dan memberangus “babi” yang berkeliaran di rimba kebiadaban!
Sehingga tak ada lagi pemeo di tengah masyarakat: lapor kehilangan kambing, kerbau pun jadi hilang! Sehingga tak ada lagi ucapan meremehkan: selama ayam masih makan beras, gampang urusannya!
Dalam sejarah pergantian pemimpin teras penegak hukum di daerah ini bukan rakyat tak bisa “membaca”, banyak di antaranya: pada awal masa jabatannya menggertak dan seperti benar-benar ingin menegakkan hukum. Namun setelah berkenalan dengan sikon Kalbar, ternyata semangatnya menjadi tapai!
Sehingga karenanya, masyarakat sudah jemu mengucapkan pemeo lama: maklumlah sapu baru, belum kenal Kalbar dia!
Dan bukan mustahil, gertak sambal demikian itu: ada udang di balik cabek! Maksudnya sekadar memproklamirkan diri kepada tauke-tauke kera, agar menoleh kepada dirinya. Agar datang kepadanya, berkenalan! Buntut-buntutnya: BMIK juga – babi makan ikut kera – ber-cincai ria, berkelindan menguras Kalbar! Sampai ada cerita: Pajero bodong (tanpa surat) asal Sarawak masuk container nyelonong ke Jakarta!
Itu yang ketahuan, yang tak ketahuan tentu jumlahnya seperti pengidap virus HIV! Itu yang berbentuk mobil atau sepeda motor besar. Yang berbentuk duit wallahu alam bissawab.
Sehingga di Nanga Pinoh ada perenggoh (pepatah) pelesetan: Tut wuri handayani, datang maik putut, pulang maik goni! Tut wuri handayani, datang membawa putut (bungkusan kecil), pulang membawa karung goni!
Semoga saja yang demikian ini telah menjadi cerita lama dari sebuah negeri antah-berantah yang “jahiliah”.
Dan semoga saja, Nanan tidak pernah menjadi “tapai” dalam hidupnya, melainkan seorang Bayangkara tulen, pengemban setia Tri Brata! Ia perlu didukung oleh seluruh jajarannya, sehingga kolom SMS suratkabar di daerah ini tak didominasi oleh SMS kepada Kapolda Kalbar!
Rakyat mendambakan polisi yang memancarkan aura indah dari tubuhnya, menempuh jalan kebajikan dalam tingkah-polah hidupnya! Tugasnya menjadi ibadah, berbuah husnul khatimah di akhir hayatnya, jannah di hari akhiratnya! ***

( Pontianak 26 Januari 2006 ).

No comments: