Oleh A.Halim R
BEBERAPA tahun silam, di pelampung penyeberangan Jalan Bardan Pontianak, terdapat sebuah reklame unik berbentuk botol besar: botol miyak angin! Botolnya genting di tengah. Tegal reklame ini di kakilima dan pasar Pontianak, timbul pemeo: minyak angin pelampong! Ini menambah jumlah pemeo yang telah ada sebelumnya: angin pokol angin!
Orang Kapuas Hulu yang lalu-lalang dengan motor bandong ke Pontianak, ada yang menyebut minyak angin jenis itu sebagai: minyak gontin! Minyak (berbotol ) genting! Dan ini pun telah menambah pemeo lama yang sudah ada: tin-tin telinga tikus, biar gontin anang putus! Ting-ting telinga tikus biar genting jangan putus!
Dan pemeo “minyak angin pelampong” serta “angin pokol angin” sering benar diucapkan Mat Belatong ketika mematikan tivinya bila menyaksikan segala macam dialog yang ditayangkan di layar pesawat tivi! Dan masih ditambahnya lagi dengan kalimat,“Membuat kepalak pening jak!”
Sikap Mat Belatong yang demikian ini mungkin mewakili sebagian masyarakat Indonesia yang sudah jemu “makan omongan dan pidato”! Sudah jemu menyaksikan adegan “silat lidah”, yang buntut-buntutnya: angin pukul angin juga! Dan celakanya orang lain disuruh untuk mendengar!
Kini, meskipun reklame “minyak angin pelampong” telah roboh, namun budaya yang ditinggalkannya makin marak! Budaya “minyak angin pelampong”: botol besak, isik tadak! Bahkan tampaknya dijadikan oleh sebagian orang sebagai modal untuk meraih kursi merek “Sengkumang”*
Tak salah bila ada orang luar negeri berkata,”Bangsa Indonesia sekarang ini baru belajar ngomong, baru belajar berpikir!”
Lho, usia 60-an tahun kok baru belajar ngomong dan berpikir!? Ada yang beralasan: karena lidahnya dikunci, mulutnya diplester, otaknya dibekukan dengan cairan indoktrinasi (barangkali sejenis: formalin!) pada masa “kekaisaran” Soekarno dan Soeharto!
Kalau dilihat dari usia, bangsa Indonesia memang sudah terbilang tua. Mereka yang lahir tahun 1945 saja sudah pada beruban rambutnya, kecuali yang mengamalkan ilmu “pembohongan publik”. Yang disebut terakhir ini rambutnya tetap hitam-legam: disemir!
Kalau rambut saja sudah dimanipulasi dan dijadikan sebagai salah satu atribut topeng untuk melakukan pembohongan, apalagi dalam perbuatan dan tindakan lain! Setiap penggunaan topeng niscaya punya tendensi! Tanya diri sendiri, Allah mengetahui diri lebih daripada diri sendiri!
Dan kini tampaknya, di pelampung penyeberangan itu perlu dibangun sebuah botol baru, mungkin juga berbentuk kaleng atau jeriken, sesuai dengan isu terbaru yang tengah menderu-deru bertiup sekarang ini, yaitu: biodisel!
Orang-orang ahli pertanian, ekonomi, politikus, perdagangan, perbankan dan lain-lain, dengan gegap-gempita menyatakan keyakinannya bahwa Kalimantan Barat bisa menjadi: tambang biodisel! Bahan bakar masa depan pengganti BBM solar!
Untuk merealisir hal itu, lima juta hektar lahan kritis di daerah ini akan ditanami: jarak pagar!
Entah siapa yang berhasil “ngipas wal ngibau” para “ahli” ini wallahu alam bissawab! Mudah-mudahan bukan karena masih mengidap penyakit lama “ABS”. Atau, karena melihat “pancuran duit” yang bersedia diarahkan Pemerintah Pusat ke daerah ini lewat proyek jarak pagar!? Kalau fokusnya cuma itu, maka bisa terjadi: pagar makan jarak!
Hasil rapat para “ahli” tanggal 5 Januari 2006 lalu yang melibatkan HA Aspar SE, Ir Idwar Hanis, H Ali Nasrun SE,MEc, Dr Saeri Sagiman, Falal, Toni, Memet Agustiar SE dan lain-lain itu, telah menelurkan: Tim Pengembangan Jarak Pagar Kalbar (Tim PJPK). Selaku Ketua Tim PJPK, adalah Ir Idwar Hanis Kepala Dinas Perkebunan Kalbar. Tim ini akan mempersiapkan terbentuknya Badan Pengembangan Energi Alternatif yang akan disahkan oleh Gubernur Kalbar! Hebat!
Jarak (Ricinus communis) atau jarak pagar (Jatropha curcas) sebenarnya bukan barang baru bagi masyarakat Kalbar. Nama lokalnya: melekian (Mempawah), atau kemandah (Sanggau ke hulu). Zaman penjajahan Jepang, rakyat membuat minyak dari buahnya untuk menyalakan pelita di samping menggunakan minyak kelapa. Pernah melihat pelita bersumbu tiga dari bahan tembikar? Itulah pelita minyak kelapa! Sebab minyak tanah sama sekali tak ada! Dan masyarakat yang bodo-bale sekali pun tahu (tak perlu hasil penelitian para ahli!) bahwa buah kemandah (minyak kastroli) boleh dipakai sebagai pencahar! Merangsang binatang maupun manusia untuk (maaf): berak-berak! Bisa dehidrasi, muka pucat-pasi, mata cekung-raung orang dibuatnya!
Selain jarak pagar, beberapa waktu sebelumnya, telah digaungkan juga ke kuping rakyat, di Kalbar ini – termasuk daerah perbatasan – akan ditanam sejuta hektar kebun sawit. Juga untuk keperluan bahan bakar mesin disel!
Monumen Botol Biodisel itu perlu diwujudkan untuk menandai “kebulatan tekad” para ahli di daerah ini untuk menjadikan Kalbar sebagai “tambang biodisel”! Sebab hal ini bukan hal yang boleh dianggap kecil, melainkan suatu terobosan teknologi besar, kalau bukan angan-angan dan kebohongan besar!
Sebab hal serupa tapi tak sama, pernah terjadi di Kab Sintang. Proyek reboisasi dan budidaya pinus pernah dikumandangkan di daerah tersebut, dilaksanakan di daerah Kebebu Nanga Pinoh.
Para ahli ekonomi, pejabat daerah, politikus dan lain-lain berkata: lima-enam tahun lagi di Sintang akan berdiri sebuah pabrik korek api dan potlot! Bahan bakunya, yakni itu tadi: pohon pinus! Sintang akan berperan besar untuk memenuhi kebutuhan korek api, potlot, dan tusuk gigi di Indonesia!
Lebih dua puluh tahun telah berlalu, sebatang korek api pun tak pernah diproduksi Sintang! Jangan kan korek api, korek kuping saja masih ada yang menggunakan bulu ayam!
Nyatanya bukan korek api yang diproduksi, tetapi lautan api (kebakaran!) yang sering benar terjadi di proyek reboisasi itu. Arang habis besi binasa, pengelola proyek makin kaya saja!
Coba waktu program itu digegap-gempitakan, dibuat monumen atau tugu “korek api” di Sintang untuk memperingatinya. Niscaya masyarakat memiliki sebuah “catatan sejarah” untuk generasi berikutnya, pun tercatat pula nama besar personel Tim Pengembangan Pinus Kab Sintang (TPPKS).
Sehingga tugu itu bisa dilihat dan diingat sampai kini sebagai: Tugu Pengampor! Tugu Pembulak, Tugu Pembual, Tugu “Angin Pokol Angin”!
Mat Belatong jadi timbul mual kalau mencium sesuatu yang beraroma “minyak angin pelampong”.
Dan tampaknya ada pula yang berhasil menjual “minyak angin pelampong” kepada Presiden SBY. Sampai Presiden berharap sangat, Kalbar bisa menjadi tambang biodisel. Sebab persediaan minyak angin, eh minyak bumi Indonesia diprediksikan hanya cukup untuk 15 tahun mendatang.
Yang Mat Belatong tak habis heran, kenapa orang-orang pintar di daerah ini bisanya cuma menjadi: Pak Turut, Pak Panut, Mr Yesman!
Akasia kata orang, akasia juga kata kita. Pinus kata orang, pinus juga kata kita. Sawit kata orang, sawit juga kata kita. Jarak kata orang, “jjj…jjaarak” juga kata kita bersemangat walau mungkin sedikit tergagap!
“Ngape ndak: jarak pagar kate orang, karet kate kite!” omel Mat Belatong. Menurut alur pikiran Mat Belatong yang “nyleneh”, biar daerah lain saja yang memproduksi biodisel, kita bertanam karet untuk memproduksi ban mobil! Kenapa!? Apakah mobil bisa berjalan tanpa ban, kendati berminyak!? Pernah terjadi – bukan mustahil masih berlangsung hingga kini – perusahaaan crumb rubber di daerah ini sampai membeli karet dari luar negeri untuk memenuhi quota yang diminta rekanan dari luar negeri!
Lebih dari itu sebuah penyakit yang diidap Mat Belatong adalah: sudah jemu, jenuh, sudah berapa puluh tahun masyarakat di daerah ini didikte dan ditekan terus dari Pusat? Sudah berapa generasi pemimpin dan pejabat di daerah ini yang cuma bisa jadi Pak Turut, jadi pejabat carmuk!
Dan terus terang saja, tatkala beberapa waktu lalu Gubernur Kalbar Usman Djafar “memproklamasikan“ daerah Kalbar sudah surplus beras dan bisa menjual beras ke daerah lain, orang-orang di pasar pada tertawa seperti menonton ketoprak humor!
“Bagos! Beras petani, kite jual ke daerah laen, sebab beras impor kite belonggok, murah agik!“ ucap mereka tertawa. Aneh, rahasia umum, kok Gebernur tak tahu. Mengisi seluruh gudang Dolog pun para tauke di Kalbar mampu, baik dengan beras impor ilegal maupun legal! Kok bisa-bisanya ada yang “jual kibul” kepada Gubernur dalam keadaan seperti ini! Dan “gayung kibul” itu “disambut” pula oleh Gubernur!
Suatu ketika, seorang rekan dari Surabaya berucap,”Bawang putih Kalbar bagus-bagus dan murah, begitu juga langsat, rambutan, manggis, durian. Buah-buahan melimpah di sini. Dan istri saya wanti-wanti pesan: Ke Pontianak jangan lupa bawang putih, Mas!“
Terjemahkan sendiri sajalah: bawang putih hasil petani Kalbar berkat keberhasilan pembinaan Dinas Pertaniankah itu?
Tak setelempap kebun bawang putih ada di Kalbar. Asalnya, nun jauh di sana: Argentina! Masuk ke pasaran Kalbar, lewat Sarawak!
Dan bukan mustahil 15 – 20 tahun mendatang, lakon ketoprak humor paling konyol bermain lagi di Indonesia: orang sudah memproduksi kendaraan energi surya, kita baru bertanam pohon jarak! Orang sudah mengelola bendungan dan PLTA, kita masih berkutat ria dengan PLTD kuno yang biarpet! Alasannya bukan lagi “tali kelayang”, tapi: kebun jarak disikat belalang! Nengok ke zaman Jepang, matehari tak terpandang! Ndakke lebeh mudah bertanam rumpot daripade bertanam jarak: lepaskan sapi bali! ***
* Gila pangkat, gila pujian.
( Pontianak, 7 Januari 2006 )
Friday, November 2, 2007
Minyak Angin Pelampong
Posted by MAT BELATONG at 8:04 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment