Selamat Datang di portal Mat Belatong

Thursday, November 1, 2007

Mat Belatong dan Cerita Bini

Oleh A. Halim R

RA NURUL Handayani SH MM Kepala Kejaksaan Negeri Singkawang bertutur mengutip cerita pewayangan Jawa, yang ringkasnya sebagai berikut:
Arjuna memiliki empat istri yaitu Subadra, Srikandi, Sulastri dan Larasati. Subadra sebagai pengasuh anak, untuk mendidiknya menjadi anak yang salih. Srikandi sebagai pengaman keselamatan suami, Larasati sebagai pengontrol keuangan rumah tangga, dan Sulastri mampu menjadi pelayan bagi suami.


Seorang perempuan harus bisa memiliki keempat karakter tersebut baru sah sebagai yang diper-empu-kan. Sedangkan pria yang merupakan singkatan dari Pemimpin Raja Istri dan Anak, jangan sampai kehilangan status PRIA-nya sehingga menjadi STI (Suami Takut Istri). Kalau lelaki kehilangan PRIA-nya di rumah, jangan heran bila ia lalu menegakkan statusnya di luar rumah dengan cara mencari WIL (Wanita Intim Lain).
Begitu kata RA Nurul.
Tapi lain pula pendapat Mullah Nasruddin Affandi tokoh legendaris asal Turki.
Diriwayatkan, pada suatu hari seorang lelaki teman Mullah berkata,”Wanita yang akan saya nikahi: kaya, cantik, gadis, berkelakuan baik dan pandai!”
Mullah menjawab,”Aku takut Anda tidak akan memperoleh semua kualitas tersebut pada satu istri, kecuali kalau Anda akan menikahi lima wanita!”
Di kalangan berang-berang (Lutra cinerea) lebih parah lagi. Meskipun binatang, ia memiliki lebih banyak persyaratan yang dikehendakinya dari si betina. Namun buntut-buntutnya, sama saja dengan Arjuna maupun pendapat Mullah Nasruddin. Bukan lagi berbini empat seperti Arjuna, atau lima seperti kata Mullah Nasruddin, melainkan belasan atau konon sampai dua puluh ekor betina!
Menurut pengamatan Mat Belatong, lebih gila lagi kucing! Satu betina kalau musim kawin, bisa sampai empat-lima ekor jantannya!
Mengenai lelaki yang tergolong STI (Suami Takut Istri), menurut pemantauan Mat Belatong tak semuanya bisa menegakkan ke-PRIA-annya pada WIL, tapi tak jarang: mencari WIL pun dia takut! Akhirnya ia stres, lalu rungguk, lalu gem!
Sejumlah anak tumbuh besar tanpa ayah, tapi untung saja ibunya gagah perkasa, punya karir dan mandiri!
Isa putra Maryam Alaihis-Salam, ditanya: Mengapa engkau tidak membuat sebuah rumah?
Beliau menjawab,”Buatkanlah rumah bagiku di atas air yang mengalir!”
Kemudian ia ditanya lagi: Mengapa engkau tidak mengambil seorang istri?
Beliau menjawab,”Apa yang dapat kuperbuat terhadap seorang istri yang dapat meninggal?”
Dari sekian kalimat yang berbicara tentang bini dan istri di atas, tak ada sama sekali menyentuh kata “cinta”!
Setelah berpikir sampai urat kepalanya timbul, Mat Belatong berkesimpulan: cinta hanya marak di kalangan pedangdut!
Tegal cinta, ada penyanyi dangdut yang mampu menanggung resiko: baju satu kering di badan, tak kan luntur cintaku padamu!
Lebih nekat lagi ada yang berani: makan sepiring berdua!
Padahal, Khalil Gibran (1883 – 1931) penyair dan filosof Libanon sudah berpesan: Saling isilah piala minumanmu, tapi jangan minum dari satu piala. Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari pinggan yang sama!
Petuah ini tak berlaku di komunitas dangdut. Mungkin mereka berpendapat: Owalah Gibran, ente cume pandai ngomong jak – tentang anak, tentang bini – padahal ente sorang tak pernah beranak-bebini!
Akhirnya Mat Belatong berkesimpulan, kalau mau bergelimang cinta, berkelindanlah dengan orang-orang dangdut! Belajarlah cinta dari mereka!
Tapi celakanya kesimpulan ini disanggah oleh Mat Ketumbi,”Merampot Jon, Raje Dangdut jak berape bininye, berape kali kawen-cerainye!“
Mat Belatong tekanjat, dan berkata,”Eh Ketuk, diam-diam ente ni jadi pengamat gak rupenye!”
Selembe Mat Ketumbi menjawab,”Biase, zaman reformasi. Balek belakang, putar lidah, bukan masalah. Macam oknum personel legislatif asal Singkawang tu! Die gak ngomong berpedoman dengan Ten Commandment dari Nabi Musa. Tapi begitu masok Ketapang laen cerite. Timbol masalah, bebar lapor ke polisi tegal nak dihalap preman! Tak kan ade asap, kalau tadak api! Padahal ape kurangnye Singkawang? Tak ade masalah bagi orang berzina dan berselingkuh. Firman Allah dah dianggap macam: kerupok mamang! Kenak aek: benyek! Sampai dah macam itu toleransi – kalau bukan kerapuhan akhlak – sebagian masyarakat Sin Kew Jong. Ngape pulak lalu betingkah, sampai timbol kesah di Tanah Kayong!?”
Mat Belatong termangu menatap sahabatnya berbicara. “Bijak cakap awak tu Ketuk! Ilmu awak makin betambah, biar pon penampilan belom berobah,” ucap Mat Belatong.
“Lalu macam mane pendapat awak tentang petuah RA Nurul Handayani Kajari Singkawang tu?” balik Mat Belatong pula yang bertanya.
“Gampang Jon, petuah itu harus disosialisasikan dengan cara: memasyarakatkan wayang, mewayangkan masyarakat!” jawab Mat Ketumbi.
Kening Mat Belatong tampak berkerut mendengar kalimat yang diucapkan rekannya. “Ketuk, cakap awak ni dah macam cakap pejabat. Mudah ngucapkannye, tapi rumet mikerkannye! Jadi susah aku nak ngerti! Cobe jelaskan gak, macam mane arti kate mewayangkan masyarakat tu!” pinta Mat Belatong.
Mat Ketumbi menjawab sambil tertawa,”Ente purak-purak Jon, padahal ente lebeh pendekar!”
“Tadak Ketuk, tolong cakapkan ape maksod kalimat awak tu!” ucap Mat Belatong.
“Mewayangkan masyarakat, ndak ke artinye: menjadikan masyarakat itu sebagai wayang!? Setiap maen wayang tentulah ade dalangnye! Dalang zaman sekarang tak mesti pakai belangkon, tak mesti bekaen batek dan bebaju surjan. Disurohnye masyarakat besampok, dimaenkannye lakon saling curige, diskenarionye: manajemen konflik! Lalu die pulak tepekek-jeret: ada provokator, suasana tidak kondusif! Ndak ke gitu Jon!?” jelas Mat Ketumbi.
Mat Belatong berdecak kagum mendengar omongan sahabatnya.
“Ketuk, dari cakap awak ni, tampaknye dah ade nurul hidayah – bukan RA Nurul – yang masok ke kalbu awak tu! Alhamdulillah, ana bangge dengan kemajuan awak ni Ketuk! “ puji Mat Belatong.
Lebih lanjut Mat Belatong bertanya,”Macam mane pulak kalau program memasyarakat wayang digalakkan, lalu banyak lelaki ngambek kesempatan: untok pembenaran bebini empat macam Pak Raden Arjuna tu!?”
Mat Ketumbi langsung menjawab,”Penjabaran program memasyarakatkan wayang itu terbatas hanya bagi kaum wanita jak. Boleh dipelopori oleh ibu-ibu dari Kejaksaan Negeri Singkawang. Kemudian lebeh diperluas agik ke seluroh organisasi wanita, termasuk ibu-ibu majelis taklim Singkawang. Harapannye tak laen agar kaum wanita menjadi sadar bahwa mereka harus memiliki empat karakter istri Arjuna macam yang diungkapkan oleh RA Nurul itu! Sebagai pilot proyek boleh kota Singkawang, kalau berhasel boleh diusolkan jadi program kaum wanita di seluroh Provinsi Kalbar!”
Kembali Mat Belatong berdecak kagum. Omongan Mat Ketumbi dah macam omongan pejabat, bertabur istilah-istilah asing, tak peduli masyarakat mengerti atau ndak.
Setelah berpikir sejenak, Mat Belatong berkata,”Tapi bukan mustahel Ketuk, tegal wayang itu lalu banyak pula ibu-ibu yang luluh hatinya, dan menjadi sadar bahwa ia tak mungkin memiliki empat karakter itu sekaligus. Dan mereka rela kalau suaminya melengkapi empat karakter itu dari wanita lain. Singkat kata: mereka rela suaminya kawin lagi! Ibu kita RA Kartini jak bukan istri pertama!”
Mat Ketumbi langsung menjawab,”Alhamdulillah, keikhlasan yang seperti itulah yang dimiliki oleh perempuan-perempuan mulia istri Rasulullah SAW!”
Mat Belatong ternganga, dan tak mengira sama sekali omong-omong soal bini lalu sampai pula kepada nabi akhir zaman Muhammad SAW. Yang mengagumkan, ternyata kalbu Mat Ketumbi benar-benar telah mengalami reformasi pencerahan! Bukan reformasi yang kebablasan!
Kemudian Mat Belatong berkata,”Tapi celaka wahai Ketuk, kalau peluang yang demikian ini dimanfaatkan oleh pria yang tidak bertanggung jawab, yang tidak berpedoman kepada ajaran Rasulullah SAW: tidak adil, zalim lagi aniaya!”
Jawaban Mat Ketumbi sungguh mengagetkan: Lelaki itu tak lebih baik dari berang-berang, dia bukan umat Muhammad! Di akhirat dia akan berjalan pincang, bukan mustahil menjadi sosok manusia busuk yang lumpuh-layuh!
Mat Belatong tergemam mendengar jawaban sahabatnya itu. Pun ia tak mengira cerita ini bisa mengalir sendiri: dari Singkawang ke akhirat!
Kemudian ia berkata,”Udahlah Ketuk, kite stop cerite kite sampai di sini jak. Bise-bise ade orang yang salah ambek dan memfitnah. Lalu kite beduak dituding: provokator, bejat, jurkam poligami! Sebab tak semue orang pandai ngambek yang tersirat dari yang tersurat!” ***
( Pontianak, 26 Desember 2005 ).

No comments: