Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, November 2, 2007

Negeri yang Disumpah Kera

Oleh A. Halim R

KATA “reformasi” telah menjadi nasi, kalau bukan menjadi bubur. Jadi makanan sehari-hari. Namun apa hasilnya!? Adakah ia menyehatkan fisik, mental & spiritual, memperindah ruhani & jasmani pemimpin maupun rakyat di negeri ini!? Di Irian, ada yang mati kelaparan karena “makan reformasi”!


Senyatanya, reformasi membuat banyak orang ingin menjadi Pak Dewan dan Sengkumang!* Ramai-ramai orang berebut: naik pahar! Tempurung pun ingin naik pahar. Tak dapat pahar besar, pahar kecil pun jadilah! Ini baru iya!
Reformasi yang membuahkan otonomi daerah itu telah menciptakan raja-raja kecil di daerah, terutama di tingkat kota dan kabupaten!
Celakanya yang di kabupaten – mentang-mentang punya wilayah yang luas – setelah naik pahar lalu menjadikan dirinya sebagai: tuan tanah, tuan rimba! Tak sanggup melahirkan ide brilian dan program jitu yang mendasar, lalu menempuh jalan pintas yang instan: tebang hutan!
Bumi dipetak-petak, rimba dibagi-bagi, hutan ditebang dengan dalih: untuk kesejahteraan masyarakat! Tauke oportunis diajak sebahat, rimba dibabat untuk kepentingan sesaat, berpedoman kepada ayat pamungkas: aji mumpung! Tak peduli hal itu akan mewariskan kemiskinan dan malapetaka untuk generasi mendatang!
Mat Belatong berdiri di atas cadas puncak Bukit Kelam di Sintang. Tiada lagi pepohonan di situ, tinggal batu hitam keras, seperti tempurung kepala kering yang disalai! Telah sirna mata air, telah punah kantong semar (Nepenthes) dari jenis spesial: berbentuk botol!
Mat Belatong memandang berkeliling, hingga ke tapal batas wilayah Kabupaten Sintang (kini sebagian telah menjadi Kab Melawi).
Hatinya bagai teriris sembilu menyaksikan pemandangan yang dilihatnya. Sangat memilukan.
Sebuah gelora hati membuncah dari dadanya, melahirkan teriakan:
Aku Mendengar dan Akulah Saksi!
Aku mendengar tangis rimba, aku mendengar tangis bumi, aku mendengar tangis sungai dan danau. Aku mendengar lengkingan terakhir dari banyak satwa tatkala mengakhiri hidupnya!
Akulah Bumi Kalimantan, yang kini harum rimbanya telah berganti dengan bau bensin dan solar. Yang kini bisikan anginnya telah berganti dengan deru chainsaw dan logging truck. Yang kini kemurnian airnya telah tercemari lumpur dan merkuri.
Yang kini buminya hancur sia-sia.
Akulah Bumi Kalimantan yang teraniaya, demi kerakusan dan kehausan harta sebagian manusia!
Kusaksikan!
Kini negeriku berbenteng tembok kebohongan, bermahligai ketamakan dan keserakahan, bermenara dengan kezaliman dan aniaya, berhiaskan lampu warna-warni cinta dunia!
Telah roboh pilar-pilar ketauhidan yang dibangun oleh datuk-moyangku. Telah hancur kampung halaman yang dibangun dengan rasa cinta, telah sirna tembawang kebersamaan, telah tiada lagi ladang kasih sayang.
Kini.
Tiada lagi kicau murai dan cucakrawa, tiada lagi nyanyian kelempiyau pagi hari.
Kicau munafik dan maksiat ada di mana-mana, nyanyian tipu muslihat merasuk anak negeri!
Inilah bumiku, inilah negeriku, inilah tanah tumpah darahku!
Mat Belatong terduduk, kemudian terkapar telentang setelah melepaskan kekecewaan yang membuncah dan menggelegak di dadanya.
Air matanya meleleh, seperti air mata kera yang akan disembelih, seperti air mata monyet yang batok kepalanya akan dibuka untuk diambil otaknya guna memenuhi kerakusan orang-orang kaya di restoran-restoran terkenal di Hongkong dan lain tempat di dunia!
Air mata seperti itu pula yang meleleh dari mata banyak satwa yang habitatnya dimusnahkan, yang rumah dan gudang makanannya diroboh dan digusur oleh nafsu angkara manusia!
Pemusnahan rimba, pemusnahan habitat margasatwa, pemusnahan gen (ciri kehidupan),
pemiskinan sumber daya alam, telah dan terus berlangsung tanpa kendali dan pedoman. Semua ingin menjadi pencuri bilamana ada kesempatan. Baik dia aparat pemerintah, aparat keamanan, aparat penegak hukum, serta tauke-tauke kere maupun kaya!
Larangan Allah, agar manusia tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi, dikalahkan oleh ketajaman mata gergaji mesin, dikalahkan oleh berkarung-karung duit, dan kehausan agar rekening bank terus terisi dengan transfer duit dari segenap penjuru!
Tatkala sebuah pohon tumbang, beratus anakan bibit tumbuhan luluh dan remuk tertimpa, beratus satwa baik serangga sampai pukang, trenggiling dan lain-lain mati terhempas dan terhimpit karenanya.
Adakah kenikmatan, kekayaan, dan kemuliaan yang diperoleh dari perbuatan aniaya bakal kekal selamanya!? Niscaya tidak!
Ada Tuhan kan? Dia ada bukan karena Anda percaya, dan mengadakan-Nya! Dia bukan penaka patung Lata dan Uzza yang dibuat dan disembah oleh kafir Quraisy masa lampau! Dia Maha Zat Yang Niscaya Ada (Zat Wajibul Wujud), meski Anda tak mempercayai dan meniadakan-Nya. Dia Maha Besar bukan karena Anda membesarkan-Nya, Dia tidak kecil walaupun Anda mengecilkan dan menyepelekan-Nya! Dia Al-Muhayimin: Maha Pengamat yang selalu menyaksikan!
Dia: Al Haq – Maha Kebenaran – Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya.
Pun Dia Ar-Rahman: Yang Maha Pengasih kepada sekalian makhluk-Nya. Namun Dia juga Al-Muntaqim: Sang Pembalas dosa dengan siksaan!
Bukan Allah tak menyaksikan tangis kera, bukan Allah tak merasa getaran kepedihan dari satwa yang teraniaya.
Air mata kera menetes ke “hadirat” Allah, duka nestapa seekor kera niscaya menyentuh Arasy Tuhan!
Saksikan!
Sumpah kera telah datang, menghunjam para pejabat, aparat, tauke durjana! Tak tampakkah, bahwa para “orang mulia” pembabat hutan telah gemetaran ketakutan, telah jantungan, sementara yang lain telah masuk kerangkeng bagaikan kera di kandang binatang!
Saksikan wahai insan: harimau mati meninggalkan belangnya, manusia mati meninggalkan curriculum vitae : riwayat hidup-nya!
Orang bijaksana, ingin “mati berkafan cindai”: mati dengan nama baik penuh kehormatan. Orang durjana niscaya: mati berkafan kenistaan, meninggalkan nama dan sejarah busuk!
Namun itu, belumlah seberapa. Menolong seekor lalat, Al-Ghazali diganjar surga. Betapa pula menganiaya, membunuh, memusnahkan flora & fauna makhluk Allah, menimbulkan kerusakan di muka bumi!?
Dia ada – dipercayai atau tidak – Dia Al-Muntaqim: Sang Pembalas dosa dengan siksaan! Di dunia bisa berupa peringatan, cobaan bahkan azab, di akhirat sebuah keniscayaan: lebih dahsyat!
Sumpah kera telah menimpa sebuah negeri: berhuma langkar, di romah kenak sampar, turon ke aik ditangkap boyak, ke rimbak dipantok ular!
Makna sumpah kera dalam bahasa Sintang itu adalah: berladang gersang, di rumah kena penyakit sampar, turun ke air ditangkap buaya, ke rimba dipatuk ular!
Tatkala sumpah duka naik ke langit, Allah menumpahkannya ke bumi, mengenai seluruh penghuni negeri itu kalau tak ada lagi orang alim di situ yang dikasihi Allah.
Saksikanlah, berhuma langkar : telah mulai terjadi, dengan serangan hama belalang kembara! Di romah kenak sampar : api dan virus pelbagai penyakit bakal bersimaharajalela! Turon ke aik ditangkap boyak : karena buaya telah punah, tunggu saja bencana lewat merkuri! Ke rimbak dipantok ular : karena rimba dan ular telah langka, lihat saja kebohongan, hasad, iri-dengki, fitnah dan perkataan berbisa ada di mana-mana!
Inilah negeriku, tanah tumpah darahku! ***

* Gila pangkat, gila pujian.
Pontianak, 13 April 2004 – 29 Desember 2005 ).

No comments: