Selamat Datang di portal Mat Belatong

Friday, November 2, 2007

Untan Rasulullah dan Keledai Nasruddin

Oleh A.Halim R.

SEKITAR 1400 tahun yang lalu, ketika rombongan hijrah Nabi Muhammad SAW pertama kali tiba di Yastrib (Madinah), beliau dielu-elukan oleh hampir semua warga Madinah. Semua mata menatapnya dengan penuh kerinduan, semua pintu rumah terbuka, berharap nabi yang mulia itu sudi menginap di tempat mereka.


Tapi ternyata Rasulullah tinggal di sebuah desa berjarak sekitar dua mil dari Madinah, yaitu di Desa Qubak. Di sinilah beliau mendirikan masjid pertama, yang hingga kini dikenal sebagai Masjid Qubak.
Kemudian beliau menunggang untanya keluar. Para pemimpin kota Yastrib berusaha agar beliau mau berhenti, dan masing-masing mereka memohon dan menawarkan agar Rasulullah sudi menginap di rumahnya.
Rasulullah menjawab permohonan mereka dengan berkata,”Biarkanlah unta ini berjalan sekehendaknya, karena ia diperintah oleh Allah.”
Unta tersebut terus berjalan diikuti tatapan mata para penyambut. Semuanya berharap agar unta itu berhenti di depan rumahnya. Orang-orang itu mengikuti dengan rasa penasaran.
Akhirnya sampailah unta itu di sebuah tanah kosong di rumah Abu Ayyub Al-Anshari. Di situlah ia berhenti dan duduk. Tapi Rasulullah tidak segera turun.
Tak lama kemudian unta itu memang bangkit lagi dan terus berjalan. Beliau melepas tali kendalinya. Belum jauh berjalan, ternyata unta itu balik lagi dan duduk di tempat semula.
Tak terkirakan kebahagiaan Abu Ayyub Al-Anshari, dia segera mendekati Rasulullah dan menurunkan barang-barang beliau, membawa masuk ke rumahnya.
Sekitar 600 tahun yang lalu, seorang tokoh legendaris Turki – Mullah Nasruddin Affandi – bepergian naik keledai. Ia menunggang keledainya dengan punggungnya menghadap ke depan. Orang-orang yang menyaksikan hal itu berkata,”Mullah, cara Anda duduk menunggangi keledai Anda salah!”
“Tidak,” bantah Mullah Nasruddin,”ini posisi keledainya yang salah!”
Awal tahun 2006, tokoh kontroversial dari Kampung Paret Kalot Ribot Pontianak – Mat Belatong – naik sepeda motor bertiga dengan istri dan cucunya. Cucunya yang berusia 4 tahun duduk di depan, Mat Belatong duduk paling belakang. Dan Mat Belatong bukannya menghadap ke depan, tetapi menghadap ke belakang, seperti yang dilakukan oleh Mullah Nasruddin!
Di sepanjang jalan, orang berteriak,”Oii Belatong, nak mampos ke ape!? Kalau awak jatok, orang laen jadi kalot ngangkot awak ke romah saket!”
Sampai di Mall Mataso (mataso: matahari, bahasa Dayak Taman Kapuas Hulu! Orang Bugis tak perlu heran), mereka parkir.
Si Toing tukang parkir bertanya,”Bang Mat, ngape pulak Bang Mat beragam macam ini? Pantaslah orang tepekek-kaong!”
Sambil menggantungkan helem kerupuknya di stang motor, Mat Belatong menjawab,”Ing, kalau semue kamek ngadap ke depan, siape yang nengok ke belakang kalau ade jambret, atau ade yang khianat meradak dari belakang!? Aku ni membawak cucuk, budak kecik!”
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan tukang parkir itu, Mat Belatong meninggalkan Toing, mengejar istri dan cucunya yang dah bedebu masuk ke Mall Mataso. Ini tentu karena ulah cucu Mat Belatong. Sebab budak itu kalau dah ke mall, dibuatnya macam rumah sendiri, dijadikannya tempat bermain. Di dalam mall, Mat Belatong kehilangan jejak karena orang begitu ramai. Ia naik eskalator ke lantai dua, tapi tak dapat menemukan cucu dan istrinya. Lalu naik ke lantai tiga, begitu juga keadaannya. Kemudian ia balik lagi ke lantai dasar, juga batang hidung istrinya tak ditemukan.
Akhirnya, begitulah ia turun-naik berkali-kali lewat eskalator di Mall Mataso.
Beberapa pria yang berdiri di pangkal eskalator itu berkata,” Bapak ini macam anak saye gak, suke turon-naek eskalator. Tanggak bejalan ni dibuatnye jadi maenan ! Kalau tadak diturotkan die nanges!”
Di tangga itu memang terlihat beberapa anak usia 4-5 tahun yang turun-naik di eskalator tersebut. Di bawahnya tampak menunggu beberapa pria, yang sudah pasti ayah bocah tersebut. Ibunya mungkin sedang berbelanja.
Seorang dari pria itu berkata,”Benarlah kata Al-Quran, orang kalau sudah tua kelakuannya bakal kembali lagi menjadi budak kecik, kekanak-kanakan, naif ! Contohnya Bapak ini, suke turon-naek eskalator macam budak kecik!”
Mat Belatong menahan rasa mendengar perkataan itu. Di dalam hatinya ia berkata: Inilah contoh manusia yang berkata seenaknya, berdasarkan apa yang dilihatnya, berdasarkan apa yang tersurat di matanya! Ia berani mengeluarkan komentar, bahkan dengan dalil Kitab Suci, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi!”
Mat Belatong yang sudah banyak makan garam tanpa yodium dan beragam zat pengawet makanan seperti formalin dalam hidupnya, diam saja.
Seandainya saja, pada cerita Rasulullah di atas, Nabi Muhammad SAW hanya berkata,”Biarkanlah unta ini berjalan sekehendaknya,” bukan mustahil orang seperti itu akan berkata,”Mengapa pula Nabi mengikuti kehendak unta!? Kalau begitu kita pun mengikuti unta sajalah!?”
Padahal, walau cuma sepotong kata itu yang diucapkan Rasulullah, tak terlihatkah ada kebijaksanaan yang indah di dalamnya? Betapa Rasulullah tak ingin memilih sebuah rumah pun untuk beliau menginap atas kehendak beliau sendiri. Beliau tak ingin melukai hati semua orang-orang Anshar yang mencintai dan mengelu-elukannya. Biarlah unta saja yang memilih, di mana ia mau ditambatkan. Apakah itu di sebuah rumah bagus atau gubuk reyot.
Betapa pula komentarnya terhadap cerita Mullah Nasruddin Affandi di atas!? Bukan mustahil cap “bodo-bale” langsung dilontarkannya kepada tokoh arif yang jenaka itu.
Tak tahu dia, kalau apa yang dianggapnya “bodo-bale” itu oleh UNESCO – sebuah lembaga di bawah naungan PBB – diberikan perhatian secara khusus. Perhatian yang diberikan UNESCO terhadap tokoh legendaris yang fenomenal itu sesungguhnya perhatian yang cukup langka, terutama bagi tradisi sufisme. Ini menandakan Mullah Nasruddin sudah menjadi milik berbagai bangsa, melintasi batas kultur dan agama!
Capek naik-turun eskalator, akhirnya Mat Belatong memilih menunggu di pintu keluar mall, duduk di pinggir tangga. Melihat beragam model manusia, busana, tingkah orang yang keluar-masuk mall tersebut, kepalanya jadi pening!
Akhirnya ia memilih berjalan ke Kompleks Pasar Sudirman. Kepada Toing tukang parkir ia berpesan,”Ing, kalau mbok kau nak balek, suroh tunggu jak sebentar!”
Tengah berjalan di pasar tersebut, tiba-tiba ada yang menimpukkan barang ke pundak Mat Belatong. Entah ditimpuk orang dari lantai atas ruko, entah ditimpuk orang dari atas truk yang banyak lalu-lalang di situ, ia tak tahu. Atau memang ada orang yang mengikuti dari belakang, menimpakan barang tersebut ke pundaknya? Bukan mustahil.
Barang itu berupa karung plastik, bekas karung beras merek “SMS”, jatuh dan betenggek di belakangnya. Agak terbungkuk Mat Belatong “memikul”-nya.
Ia meminggir ke trotoar, dan menurunkannya dari pundaknya. Beberapa orang yang menyaksikan perbuatan Mat Belatong itu bertanya, “ Ape bende tu Pak?”
”Itulah, aku pon tak tahu. Inilah aku nak nengok, ape bende yang dilemparkan orang ke pundak aku ni!” jawab Mat Belatong.
Setelah dibuka, ternyata isinya: naif, dosa dan bejat! Semua yang menyaksikan tertawa, termasuk Mat Belatong sendiri.
“Ape pasal orang melempar bapak dengan bende macam ini?” tanya orang-orang itu.
“Aku pon tak tahu, mungkin gak orangnye tak kuase agik nyimpan bende macam ini di romahnye, ataupon die dah leteh mikolnye! Lalu dilemparkannye ke aku, disurohnye aku mikol!” jawab Mat Belatong. Orang kembali ngelakak tertawa.
Kemudian karung itu diikat kembali oleh Mat Belatong, lalu dipikulnya. Kalau dibiarkan di trotoar tentu akan mengotori tempat tersebut.
Tiba-tiba melintas Bujang Kambeng kawan Mat Belatong, naik sepeda motor. Melihat Mat Belatong terbungkuk-bungkuk memikul karung tersebut, Bujang Kambeng berteriak,”Ape ente pikol tu Jon!?“
Tak kalah nyaringnya Mat Belatong menjawab,”Naif, dosa dan bejat!”
Bujang Kambeng yang PNS itu terus berlalu karena lalu-lintas cukup ramai, dan orang-orang yang mendengar jadi tertawa. Mat Belatong tak peduli.
Sampai di sebuah bak sampah, Mat Belatong menurunkan karung tersebut dan memasukkannya ke dalam bak tersebut.
Beberapa orang pemulung, menyaksikan perbuatan Mat Belatong itu. Beberapa langkah Mat Belatong beranjak meninggalkan tempat tersebut, para pemulung langsung “menyerbu“ dan berebut membuka karung itu. Setelah dibuka, mereka ketawa terpingkal-pingkal sampai telior-lior sambil berkata,”Celake, rupenye orang itu membuang naif, dosa dan bejatnya!”
Mat Belatong mendengar, tapi ia diam saja.
Kembali ke Mall Mataso, ternyata istri dan cucunya nongol di pintu keluar.
Pulang ke rumah, Mat Belatong yang memegang stir, sedangkan istrinya duduk di belakang. Kepada Toing yang memandang heran, ia berkata,”Ing, tadik aku dudok ngadap ke belakang, sekarang kamek semue ngadap ke depan. Sebab waktu pegi tadik aku dah tahu bahwa jalan ini aman, balek pon tentu aman gak!” ***

( Pontianak, 20 Januari 2005 ).

No comments: