Selamat Datang di portal Mat Belatong

Thursday, November 1, 2007

Mencari Api dalam Sekam

Oleh A. Halim R

MAT BELATONG dan Mat Ketumbi tengah melakukan safari (perjalanan – pen) ke kota Singkawang. Kota ini pernah menyandang berbagai predikat yang diberikan kepadanya setiap kali berganti pemimpin. Banyak orang menyebutnya Sin Kew Jong, ada pula yang menggelarinya Kota Amoy. Pada masa pemerintahan “Khalifah” Syafei Djamil pernah diberi predikat “Kota Gayung Bersambut”. Ketika jabatan “khalifah” berada di tangan Uray Rukiyat, kota ini menjadi “Kota Tasbih”.


Kata “Tasbih” adalah sebuah akronim (singkatan). Namun tentu tak sekadar itu yang mungkin dikehendaki Uray Rukiyat. Ada sebuah nuansa yang ingin ia lekatkan ke kota yang dipimpinnya, sehingga image orang (kalau mungkin) terarah kepada: untaian biji-biji tasbih. Barangkali ia ingin mengajak masyarakatnya, mengajak orang-orang yang datang ke Singkawang untuk selalu bertasbih, berzikir, ingat kepada Allah!
Dan tugu “Tasbih” itu sampai kini belum lagi roboh, masih terpacak pada tempatnya semula. Namun, dengan dalih menyesuaikan diri dengan sikon yang terjadi akhir-akhir ini, tampaknya ada pula pihak-pihak yang berkehendak memberi gelar baru kepada kota Singkawang: Kota Api Dalam Sekam! Kalau diakronimkan mungkin jadi: Kopi Lamse! Untung saja bukan: Kopi Pangse alias Kopi Pangku!
Dalam rangka melacak situs “api dalam sekam” inilah Mat Belatong membawa Mat Ketumbi ke Singkawang. Mat Ketumbi, namanya juga “ketumbi” – yang paling buntut – ikut saja. Ibarat kata orang Jawa, kalau sudah diajak oleh Mat Belatong, Mat Ketumbi ya: swargo nunut, neroko katut! Ke sorge ikot, melabor ke nerake pon terbawa.
Mereka sudah berkeliling di kota Singkawang, nongkrong di setiap warung kopi untuk mendengar apa yang tengah menjadi topik pembicaraan orang. Perut Mat Ketumbi sampai gembung minum teh es di setiap warung. Tapi tak ada sama sekali orang-orang itu membicarakan: api dalam sekam.
Di setiap warung Mat Belatong bertanya,”Di mana saya bisa menemukan api dalam sekam!?”
Jawaban yang diperolehnya hampir sama: Sinun yo, tampat urang enggiling padi! Di sana, di tempat orang menggiling padi!
Mat Ketumbi, kakinya sampai meletop, karena berjalan memakai sepatu. Maklum, kaki jarang kena sepatu. Akhirnya ia membeli sandal jepit, sepatu made in Cibaduyut masuk tas kresek!
Setelah berhari-hari berkeliling kota Singkawang, hampir maghrib mereka kembali ke Hotel Bintang Tujuh, tempat keduanya menginap.
Setelah makan dan salat isyak, Mat Belatong mengajak Mat Ketumbi keluar kamar. Dari lantai dua hotel tersebut terlihat di halaman hotel ada belasan wanita PSK (Penjaja “Sate” Keliling – pembaca yang ahli tentu bisa membetulkan kalau ini salah – pen). Juga tampak ada beberapa orang waria. Mereka lagi bercengkrama riang sesamanya. Jam menunjukkan hampir pukul delapan malam.
Mat Belatong mengajak rekannya menemui orang-orang itu. Namun Mat Ketumbi menolak sembari berkali-kali berucap,”Asytaghfirullah al‘azim, ingat Jon: wala taqrabuz zina! Mintak ampon ya Allah, jangan dekatkan aku kepada zina!”
Mat Belatong memegang tangan sahabatnya dan berkata,”Tenang Ketuk, jangan takot, jangan gentar Allah bersama kita! Ini Singkawang Ketuk! Di Singkawang ini sebagian orang telah menjadikan firman Allah seperti permen karet! Bise ditarek-ulor, bisa digumpal-gumpal berdasarkan kepentingan. Zina dan selingkuh bukan lagi sebuah aib, bukan lagi hal yang haram dan memalukan, tapi: boleh-boleh saja! Ini berarti bahwa virus permisif – salah satu virus sangat berbahaya produk globalisasi, kalau bukan bentuk kemunafikan – telah merebak di Singkawang! Kalau gelombang tsunami sudah meluluh-lantakkan Aceh secara fisik, kini gelombang permisivisme tanpa disadari telah mulai meluluh-lantakkan moral atau akhlak sebagian masyarakat Singkawang. Permisivisme bukan hanya menyerang sebagian masyarakat awam, tapi juga para guru, ulama dan umara, sampai ke pengurus masjid dan kalangan wanita di majelis pengajian!”
“Gile, virus ape tu Jon sampai membuat orang menjadikan firman Allah seperti bombon karet!?“ tanya Mat Ketumbi.
“Permisivisme adalah suatu paham yang membolehkan, mengizinkan dan melonggarkan orang untuk berbuat sesuatu yang menyimpang dari aturan agama, hukum, etika dan kebiasaan masyarakat. Kota Singkawang tampaknya sudah mencapai – kalau bukan terjerumus – ke maqam yang demikian itu! Ini berkat kepemimpinan walikota yang sekarang ini! Jadi kalaupun kita nak buat macam-macam di Singkawang, situasi dan kondisinya sangat kondusif! Apa pun yang akan kita buat boleh-boleh saja, tak akan ada razia polisi, tak ada hujah ulama, tak ada protes majelis pengajian, tak akan dikata-kata dalam khutbah Jumat!” jawab Mat Belatong.
“Tapi Jon, bagosnye ana tak ikot. Ana nunggu di lobi hotel jak. Biar ente jaklah betale dengan budak-budak tu!” ucap Mat Ketumbi.
“Tadak Ketuk, awak harus tetap dengan aku, awak menjadi saksi kalau timbol fitnah!” jawab Mat Belatong.
Entah jalan ke surga atau neraka yang tengah ditapaki Mat Belatong, terpaksalah Mat Ketumbi ikut.
Pendek cerita, maka bergabunglah kedua sahabat itu dengan majelis wanita PSK dan waria itu.
Salah seorang PSK minta dibelikan rokok. Mat Belatong menyodorkan selembar duit Rp 50 ribu, sembari berkata,”Aa, belilah siape yang perlu rokok!”
“Kalau beli semue, tak cukop duet ni bang! Tambah agiklah!” ucap PSK itu.
Mat Belatong merogoh koceknya, dan kebetulan yang terkeluar lembaran Rp 50 ribu. Cepat tangan PSK itu menyambar sambil berucap,”Terima kaseh bang!“
Dalam percakapan lebih lanjut, Mat Belatong bertanya,”Kitak-kitak ni ade organisasi atau semacam perkumpulan ndak?”
“Sik an beh bang, semuenye begarrak sorang-sorang na ang!” jawab seorang PSK dalam dialek Melayu Sambas.
“Kitak tuk urangnye banyak, ibaratnye jadi lampu seri di kota Singkawang: memperindah kota! Tapi mun begarrak sorang-sorang disik kekuatan. Cobelah kitak bantok perkumpolan, misalnye Majelis PSK Kota Singkawang. Bise juak kitak dakkat dangan Pak Walikota, dakkat dangan Pak Kapolres. Bise juak kitak ngeluarkan surat dukungan untok Pak Wali, macam nang dilakukan oleh ibu-ibu majelis pengajian iye!” ucap Mat Belatong coba-coba berdialek Sambas.
Salah seorang PSK nyeletuk,”Abang ni tim sukses Pak Wali atau provokator!?”
“Bukan! Aku ni Nordin Top!” jawab Mat Belatong.
Semua PSK dan waria itu tertawa. Sambil menunjuk Mat Belatong mereka berkata,”Yo, abang tuk endah-endah inyan. Nordin Top urangnye lawa bang, ade cambangnye! Biarpon dah dicukor, bakkas cambangnye maseh nampak!”
“Itulah kau, betanyak yang ndak-ndak,” jawab Mat Belatong.
Kemudian Mat Belatong bercerita, bahwa pada tahun 2009 yang akan datang, kota Singkawang akan menjadi tuan rumah MTQ XXII Tingkat Provinsi Kalbar. Perhelatan besar itu akan didatangi oleh banyak manusia dari berbagai kabupaten, termasuk tamu-tamu dari luar daerah. Sebaiknya para PSK dan waria telah menyiapkan diri, jauh hari sebelumnya. “Jadikan dirimu sebagai penghias dan penyemarak kota, bersikap ramah dan berkunjunglah ke tempat-tempat penginapan kontingen MTQ. Tempat-tempat praktik prostitusi, seperti di belakang terminal bus Bengkayang, perlu dibenahi dan mulai berhias diri!”ucap Mat Belatong.
“Iye ke bang!? Ndakke kalau MTQ kamek-kamek ni dirazia dan diuser polisi!?“ tanya seorang PSK.
“Tadak! Singkawang telah menjadi kota yang paling kondusif di Indonesia. Anggota polisi berzina, polisi menista orang, pejabat berselingkuh, orang aborsi, semuanya boleh-boleh saja. Berbahagialah kalian, dipimpin oleh para umara dan ulama yang permisif, yang berhasil menciptakan sikon yang sangat kondusif di Singkawang ini,” jawab Mat Belatong.
Setelah berbincang lebih lanjut – termasuk tentang sejumlah hal yang off the record – akhirnya Mat Belatong berkata,”Takot cerite kite kepanjangan, sekarang saye beduak permisi dolok nak balek ke kamar. Lamak-lamak ngobrol di sinik pon bise-bise ngabeskan waktu kitak, sebab kitak pon nak bekerje gak. Lalu aku pulak kenak sumpah- seranah tamu yang memerlukan kitak!”
“Terimak kaseh bang ye, tak perlu kawan ke?“ tanya para PSK itu.
“Udahlah, terimak kaseh jak. Saye pon dah ade gak kawan. Ini si Ketuk ni!” ucap Mat Belatong.
Tatkala sudah berbaring di kamar, sambil matanya terkelip-kelip menatap langit-langit kamar, Mat Ketumbi bertanya,”Macam mane jak ye kabar Nek Aki dan Pak Udak yang naek haji tu sekarang?”
“Pak Udak, Nek Aki yang mane?” tanya Mat Belatong.
“Itu duak orang pejabat Singkawang yang sering masok koran tu!” jawab Mat Ketumbi.
Setelah mengingat sejenak, Mat Belatong menjawab,”O, yang itu! Berdoalah Ketuk, agar yang satu tidak selalu menyingkap kain sarungnya di sana. Dan semoga yang satu lagi, kalau bertemu dengan wanita-wanita yang menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian hitam dan bercadar hitam di mukanya, tidak berkata: wanita korengan! Kalau sampai terjadi yang demikian Ketuk, beramak muke seluruh jamaah haji Indonesia, terutama Kalbar!”
Masih terkelip-kelip, Mat Ketumbi bertanya lagi,”Kalau kite balek ke Pontianak besok, tak ketemulah api dalam sekam tu Jon!?”
“Tenang Ketuk, perjalanan kite tak sie-sie. Ana dah menemukannye!” jawab Mat Belatong.
Berdasarkan survai dan metode manthiq (ilmu logika) versi Hoja Nasruddin Affandi, Mat Belatong telah menemukan “api dalam sekam” itu.
Sebuah korelasi yang jelas terlihat, kota Singkawang sangat kondusif bagi “api dalam sekam”. Api dalam sekam itu bukan lain adalah: sikap permisif pejabat dan sebagian masyarakat Singkawang! Sikap yang demikian itu bagaikan api dalam sekam membakar moral dan akhlak mereka sendiri!
Singkawang sangat kondusif untuk kehidupan permisif! Dan itu telah dipelopori oleh tokoh puncak eksekutif! Sebuah keniscayaan: lahar atau kotoran yang mengalir dari puncak gunung, akan mengalir dan merembes ke bawahnya! ***

( Pontianak, 21 Desember 2005 ).

Versi cetak dimuat Borneo Tribune (4/11)

No comments: