Oleh: A.Halim R
DI NEGERI ini sangat banyak orang pintar dan ahli, payah dipungkiri. Bukan hanya yang duduk di kursi eksekutif dan legislatif, bahkan sampai kepada yang numpang duduk di kursi warung kopi! Demikian juga dalam hal mengeluarkan statemen dan fatwa.
Banyak pihak yang merasa paling berkompeten dan berkuasa dalam mengeluarkan fatwa. Sampai-sampai terjadi sesuatu pada Ramadan! Sepakat di awal, tak sepakat di akhir! Untuk menetapkan akhir Ramadan, dan bermulanya tanggal 1 Syawal, satu kaum memberikan fatwa berdasarkan “mata” (rukyat), satu kaum berdasarkan “otak” (hisab – hitungan kalender falakiyah). Semacam lagi: inkamur rukyat, yaitu metode rukyat dengan beberapa kriteria dan syarat yang berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Agama Indon eh INA, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.
Di antara ahli rukyat dan hisab itulah terdapat: rakyat dan tukang isap (rokok!). Bingung, mau ikut yang mana!?
Padahal untuk penetapan tanggal 1 Syawal (Idulfitri) ini: halal dan haram taruhannya! Tatkala satu pihak menetapkan hari Jumat tanggal 12 Oktober 2007 sebagai 1 Syawal 1428 H, maka pastilah “haram” orang berpuasa pada tanggal 12 Oktober itu.
Tatkala pihak lain menetapkan hari Sabtu tanggal 13 Oktober 2007 sebagai Hari Raya Idulfitri, niscaya “tidak benar” mereka yang sudah berbuka puasa pada tanggal 12 Oktober 2007 itu! Mereka harus membayar “utang” puasanya! Orang lain masih berpuasa, mereka sudah salat Id dan makan-minum.
Inkamur rukyat pun ternyata “kesepakatan” yang tak harus disepakati. Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam ternyata salat Idulfitri hari Jumat 12 Oktober 2007, sementara Menteri Agama RI dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) menetapkan Sabtu 13 Oktober 2007. Jauh hari sebelumnya Ketua Pengurus Pusat Muhammadiah – berdasarkan hisab – sudah mengumumkan tanggal 1 Syawal 1428 H jatuh pada hari Jumat 12 Oktober 2007.
Ada pula kabar, ada kaum di Indonesia yang melaksanakan salat Idulfitri hari Kamis tanggal 11 Oktober 2007. Islam juga, yaitu antara lain: penganut Tarikat Naqsyabandiah di Padang (Sumbar) dan jamaah Majelis An-Nadzir di Gowa (Sulsel). Yang disebut terakhir ini berciri: jubah hitam, peci runcing dan rambut dipacar pirang! Penetapan Idulfitri dua kaum ini acuannya bukan rukyat bukan hisab, tetapi: kondisi alam!
Lebih seru lagi, penganut Tarikat Naqsyabandiah di Blitar dan Jombang (Jatim) salat Id pada hari Minggu 14 Oktober 2007. Patokannya terbilang “hisab” juga, yaitu memadukan kalender Islam dengan kalender Jawa! Entah kapan pula puasanya bermula! Nama tarikat boleh sama, isi kepala boleh berbeda!
Melihat gelagatnya bukan tak mungkin suatu ketika di Indonesia orang bisa menemukan Idulfitri berlangsung Senin – Minggu, atau Senin ketemu Senin. Yang sudah terjadi tahun 2007 M (1428 H) ini: Kamis – Minggu! Tinggal: Senin, Selasa, Rabu. Banyak paham, banyak ragam – banyak aliran, banyak penampilan! Adakah umat Islam Indonesia telah menjadi “artis” dengan prinsip: yang penting “different”, tampil beda!?
Untung saja masalah ini tidak sampai menimbulkan huru-hara!
Untuk menengahi, agar tak menimbulkan sengketa, entah siapa meluncurkan fatwa: beda pendapat adalah rahmat. Ungkapan lengkapnya: Perbedaan (pendapat) di antara umatku adalah rahmat.
Kalimat yang terakhir ini dinisbahkan sebagai: perkataan Nabi Muhammad Rasul Allah. Namun apa kata DR Muhammad Fuad Syakir dalam kitabnya “Laisa min Qaulin Nabi”. Mengutip berbagai pendapat dari sejumlah ulama ternama masa lampau, Fuad Syakir mengingatkan, kalimat tersebut bukanlah perkataan Nabi Muhammad, melainkan ucapan Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Al-Qasim lahir pada masa kekhalifahan Imam Ali bin Abu Thalib, meninggal pada tahun 107 H. (Bukan mustahil, ucapan Al-Qasim itupun telah “dipelintir” oleh entah siapa, sehingga bernada sebagai ucapan Nabi Muhammad. Lihat kata: di antara umatku – pen).
DR Muhammad Fuad Syakir mngutip pendapat Ibnu Hazam (kitab: Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam) sebagai berikut: Pendapat ini termasuk ucapan yang berpotensi paling merusak. Sebab, jika saja berbeda adalah rahmat, maka kesepakatan adalah murka. Sungguh ini tidak boleh diucapkan oleh seorang muslim. Pasalnya, hanya ada dua term (istilah, batasan): bersepakat atau berbeda, rahmat atau murka.
Al-Albani (kitab: Silsilah Al-Hadis Ad-Daifah Al-Mauduah) berkata mengenai masalah ini,”Perbedaan adalah perilaku tercela dalam syariat Islam. Yang wajib dilakukan adalah sebisa mungkin berupaya untuk terbebas dari kondisi tersebut. Sebab kondisi ini merupakan faktor lemahnya umat.
Adapun hadis sahih yang berkaitan dengan konteks masalah di atas, adalah hadis Al-Bukhari yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,”Aku pernah mendengar bacaan ayat (Al-Quran) seorang lelaki yang berbeda dari yang aku dengar dari Nabi. Aku kemudian lalu memegang tangannya, lalu menghadap Rasulullah bersamanya. Rasulullah berkata: Kalian berdua baik.”
Syu’bah berkata,”Aku menduga Rasul mengatakan: Janganlah kalian berselisih paham. Sungguh, terdapat kaum sebelum kalian yang berselisih paham, (akhirnya) mereka musnah.”
Di akhir penjelasannya DR Muhammad Fuad Syakir mengatakan: Perbedaan yang terlarang adalah sikap bermusuhan dan mencari-cari kesalahan. Sedangkan perbedaan pendapat mengenai suatu teori tidak dipermasalahkan. Oleh karena itu Rasulullah berkata,”Kalian berdua baik,” kepada Ibnu Mas’ud dan si lelaki pembaca Al-Quran, padahal keduanya berselisih paham dalam bacaan.
Mat Belatong dan Ketuk (sapaan akrab: Mat Ketumbi) bingung. Apakah penetapan akhir Ramadan (permulaan Syawal) yang berbeda itu termasuk: berselisih paham mengenai sebuah teori, berselisih paham dalam bacaan, yang dibolehkan?
Mereka tak mau ambil resiko, karena memang tak punya ilmu tentang hal itu. Rukyat tak mudah, hisab pun payah. Ada lembaga yang sangat berkompeten dalam hal ini yaitu: Departemen Agama RI, dan MUI. Mereka punya ahli yang cakap di bidangnya, sengaja dibentuk oleh Pemerintah RI, sengaja ditunjuk oleh kalangan ulama Islam di Indonesia. Depag dan MUI seyogianya yang paling pantas mengeluarkan fatwa untuk kalangan muslim di Indonesia, sehingga umat muslim tidak terombang-ambing di antara pendapat yang berbeda, tidak salat Id di dua, tiga atau empat masa. Umat Islam pun seyogianya tidak lebih fanatik kepada aliran atau organisasi massa daripada Departemen Agama dan Majelis Ulama! Begitulah kira-kira “impian” Mat Belatong dan Ketuk yang: pintar belom sampai, bodo dah lepas. Meski dengan kadar otak pas-pasan, bukan mereka tak berpikir tatkala melihat kenyataan: satu akidah, bersepakat payah!
Kalau sekadar Rahmat yang berbeda pendapat: lumrah. Ada Rahmad Sugandi, ada Rahmat Kalifah, ada Rahmat Barzanji, ada si Amat yang dah balik ke rahmatullah. Ada fardu ain, ada fardu kifayah, pemimpin berpilah, rakyat susah. Katak di bawah tempurung, ulama tak kompak umat bingung! ***
(Pontianak, 19 Oktober 2007).
versi cetak dimuat Borneo Tribune (21/10)
Thursday, November 1, 2007
Beda Pendapat adalah Rahmat?
Posted by MAT BELATONG at 6:50 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment