Selamat Datang di portal Mat Belatong

Saturday, September 29, 2007

Cerita Naik Haji

Oleh A.Halim R

QUOTA yang ditetapkan oleh Depag RI bagi jamaah haji Kalbar tahun 2007 (1428 H) ini adalah sebanyak 2.314 orang. Sementara yang mendaftar untuk naik haji sudah belonggok. Apa boleh buat bila 6.800 jamaah terpaksa menunggu: antre! Kalau dihitung-hitung, menurut Kakandepag Kalbar Drs H Rasmi Satar, yang antre naik haji baru tuntas pemberangkatannya pada tahun 2010. Entah berapa ribu lagi yang bakal antre berikutnya. Mungkin karena “penggemar” naik haji terlalu besar, maka Depag RI mengeluarkan kebijaksanaan: yang sudah pernah naik haji jangan mendaftar lagi! Beri kesempatan kepada yang belum pernah melaksanakannya.
Seorang teman Mat Belatong yang biasa ngengkol sepeda tiap Jumat dari kawasan Kota Baru ke Masjid Mujahiddin Pontianak, beberapa waktu menghilang. Tahu-tahu muncul lagi di masjid mengenakan gamis! Rupanya dia ikut naik haji pada musim haji tahun 2006 (1427 H) lalu! Rupanya naik haji bukan tergantung orang bermobil atau bersepeda, bukan mesti pejabat dan orang kaya. Yang berkelindan becek di pasar ikan bisa naik haji juga!
“Ade gak ente merase kelaparan di padang Arafah, seperti yang diberitekan di tivi dan dikelohkan banyak jamaah haji tu?” tanya Mat Belatong menggamit lutut kawan yang bergamis. Ternyata jawabannya enteng,”Ah, itulah orang kite. Kalau tak makan nasik tetap bekabar belom makan. Sehingge, dah makan barang laen pon maseh terase lapar!” Nyaris Mat Belatong ngelakak tertawa di dalam masjid.
Tatkala mengantar mayat seorang rekan ke kuburan, Mat Belatong berkata kepada temannya yang biasa disapa Yos Dolly. Nama sebenarnya Yusof Dolek, tetapi karena punya grup orkes dangdut, namanya di-selebritis-kannya menjadi: Yos Dolly.
“Jon, ente dah cukop, pegilah!” ucap Mat Belatong. Sang rekan menjawab,”Pegi kemane?” Mat Belatong menjawab,”Mekah!”
Yos Dolly menjawab,”Aa, iyelah nantiklah ana mendaftar untok berangkat tahon depan.”
“Merampot jak nak berangkat tahon depan. Naek haji sekarang ni antre. Mendaftar sekarang bise-bise baru berangkat 2 – 3 tahon agik! Bagosnye ente umrah jak dolok laki-bini, ongkosnye sekitar 10 – 12 juta satu orang. Ade pemberangkatan umrah tiap bulan sekarang ni!” ujar Mat Belatong.
Yos Dolly tampak berpikir. ”Aa, iye. Kalau dah macam itu, bile agik nak berangkat,” ucapnya sembari menunjuk ke kuburan teman yang tengah ditimbus tanah. Sebab usia yang dikubur, Yos Dolly dan Mat Belatong hampir sebaya.
Percakapan di kuburan ini diceritakan kembali oleh Mat Belatong kepada Boy, anaknya. Kebetulan habis Jumatan, Mat Belatong mampir ke rumah anaknya yang telah berumah-tangga sendiri: rindu kepada cucu.
Anaknya tampak berpikir, setelah mendengar cerita tersebut. Kemudian anaknya berkata,”Kalau begitu Boy berangkatkan jaklah mak mertue Boy untok umrah. Kalau ndak, bise-bise jadi penyesalan. Sebab orang tue tu malar jak becakap: Anak aku yang mane jak yang bise memberangkatkan aku pegi haji. Bagos diumrahkan jak dolok.”
Ketika ibu mertuanya diberi tahu, berangkat umrah minggu depan, betapa kagetnya perempuan yang usianya telah kepala enam itu. “Aku kepengen naek haji bukan umrah!” ucap orang tua itu. “Udah, ibu berangkat umrah dolok. Soal naek haji belakangan, kalau ade duet baru naek haji,” balas Boy.
Tekacal-ganyahlah orang tua itu, karena tiba-tiba saja harus ke Tanah Suci yang diidamkan.
Belum pulang ibu mertuanya dari Tanah Suci, Boy sudah bermimpi: dirinya mengenakan pakaian ihram, melakukan tawaf mengelilingi kakbah!
Abdullah ibn Mubarak (lahir: 736 M – ayahnya Turki, ibunya Persia) dalam tidurnya di Mekah setelah menunaikan ibadah haji, bermimpi didatangi dua orang malaikat. Ia bertanya kepada malaikat itu,”Berapa orang yang diterima hajinya kali ini?” Malaikat menjawab,”Tak seorang pun, kecuali seorang kuli di Damaskus yang bernama Ali ibn Mawaffaq yang tak jadi berangkat haji!”
Pulang dari Mekah, Abdullah ibn Mubarak langsung ke Damaskus mencari Ali ibn Muwaffaq. Ketika bertemu, Abdullah menceritakan tentang mimpinya. Dan ia bertanya, apa “keistimewaan” yang telah diperbuat oleh Ali ibn Mawaffaq.
Ali ibn Mawaffaq bercerita: Sudah 30 tahun aku ingin menunaikan ibadah haji. Aku menabung 350 dirham dari setiap hasil kerjaku. Tahun ini aku berniat berangkat menunaikan ibadah haji. Pada suatu hari ada seorang wanita baik-baik yang sedang hamil mencium bau masakan dari rumah tetangganya. Ia berkata kepadaku,”Pergilah ke sana dan mintakan sedikit makanan tetangga itu untukku.” Aku mendatangi rumah tetangganya itu, dan menerangkan maksud kedatanganku. Tetangganya itu justru meneteskan air mata. Ia berkata,”Semua anakku tidak makan selama tiga hari. Dan tadi aku melihat seekor keledai mati, lalu kuambil, kupotong dan kumasak. Makanan itu tidak halal untukmu!” Aku jadi gelisah mendengar ucapan ini. Kemudian aku mengeluarkan 350 dirham yang rencananya untuk ongkos ke Mekah. Saya memberikan uang itu kepadanya sembari berkata: Belanjakanlah uang ini untuk anak-anakmu. Inilah hajiku!
Syaikh Abu Yazid Al-Busthami (wafat: 877 M) suatu ketika dalam perjalanannya berpapasan dengan seorang lelaki miskin. “Kemana engkau mau pergi?” tanya lelaki itu. “Mau menunaikan ibadah haji,” jawab Abu Yazid. “Berapa bekal yang engkau bawa?” tanya lelaki itu. “Dua ratus dirham,” jawab Abu Yazid. “Berikan uang itu kepadaku,” pinta lelaki itu,”aku seorang lelaki miskin yang menanggung satu keluarga. Kelilingilah aku tujuh kali, itulah hajimu!”
Abu Yazid melakukan apa yang diminta oleh lelaki miskin itu. Ia sadar, menolong sesama yang sedang memerlukan sekali lebih berarti di mata Allah dibandingkan menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia lalu balik ke rumahnya, mengurungkan niat berhaji.
Sufyan Al-Tsauri (lahir: 715 M di Kufah) telah 40 kali naik haji. Pada suatu hari ia bertemu dengan seorang pemuda yang mengeluh karena tak mampu melaksanakan ibadah haji. Melihat keadaan tersebut, Sufyan berkata,”Aku telah 40 kali melaksanakan ibadah haji. Aku akan melimpahkan semua ibadah hajiku kepadamu. Maukah engkau melimpahkan keluhan itu kepadaku?”
“Ya, aku bersedia,” jawab pemuda itu.
Pada suatu malam Sufyan bermimpi, ada suara yang berkata: Engkau telah beruntung dalam transaksi itu. Bila keuntungan itu dibagi-bagikan kepada semua jamaah haji yang hadir di padang Arafah, maka mereka akan menjadi kaya!” ***

Tegur-sapa: telp (0561) 771770 – HP 085252000995

Read More......

Saturday, September 22, 2007

Mat Belatong dan SMS Ramadan


Oleh A. Halim R

SEBUAH kegembiraan lain dirasakan Mat Belatong tatkala menyambut bulan Ramadan 1428 H. Di HP-nya betepek ucapan: Marhaban ya Ramadan dst. Di dunia maya – angkasa – bertaburan getaran elekronik yang dikirim oleh para tukang pantun, tukang syair dan pujangga dadakan. Pesan-pesan tersebut di antaranya ada yang tertuju ke telefon genggam milik Mat Belatong. Ia yang belum lama keluar dari “bawah tempurung” untuk memasuki “era ponsel” membenarkan ucapan Mat Ketumbi alias Ketuk sahabat kentalnya. “HP banyak gunenye Jon! Kalau ente sesat mudah orang ncarik, kalau ente kemane-mane ana gampang monitor,” ucap Ketuk.
Awal-awal ber-HP ia mendapat SMS dari Ketuk,”Posisi ente di mane Jon?” Mat Belatong menjawab,”Di depan tivi, mendengar berite gempa!” Ketuk ngesak, sebab “posisi” maksudnya: berada di mana, di pasar, di warung kopi si Ameng atau di rumah!
Untuk membalas kekesalan hatinya Ketuk SMS lagi,”Tivi ente merek ape, berape inci, antene model ape?!” Mendapat pertanyaan seperti itu, Mat Belatong “naik spaning”, langsung ngebel dan ngomong,”Celake ape awak betanyak soal tivi, soal antenna. Memangnye awak tak pernah masok ke romah aku, nengok tivi aku?! Butakke ape!?” Ketuk tekeruk-keruk ketawa di depan HP-nya. Mat Belatong makin ngesak dan mematikan HP-nya ketimbang membuang-buang pulsa.
Menyambut awal Ramadan, Mat Belatong iseng-iseng mengirim SMS kepada Ketuk. Isinya sama dengan SMS untuk dikirim atau untuk membalas SMS Ramadan yang masuk ke HP-nya: Marhaban ya Ramadan – bulan yang penuh berkah. Kami sekeluarga mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa, semoga kita dilimpahi rahmat, rida, taufik, hidayah, maghfirah dan kesehatan ruhani-jasmani yang prima. Mohon maaf lahir-batin. Wass wr wb.
Kalimat SMS itu bukan orisinil buah pikirannya, melainkan di-edit dari salah satu SMS yang masuk ke HP-nya.
Ketuk langsung membalas: Maaf, Anda salah sambung. Nama saya bukan Marhaban atau Ramadan.
Mendapat jawaban seperti itu, Mat Belatong ngesak. “Ketuk celake nak mampos! Orang ngirem SMS bagos-bagos, dijawabnye macam celake! Nempah budak tu!” omel Mat Belatong.
Mendengar suaminya beleter, Laila istri Mat Belatong coba menyabarkannya. Ia merunut kembali pokok-pangkal persoalan. Akhirnya ia berkata,”Mungkin nomor itu bukan nomor Ketuk agik Bang. Mungkin gak Ketuk dah menjual HP sekalian kartunye dengan kawan-kawan si Ameng yang nonmuslim!”
“Ketuk tu memang celake. Kalau HP dah dijual, kasik tahulah aku, ndakke die tiap ari ke sinik!” ucap Mat Belatong masih ngangat.
Belum hilang cerita manas-nya, tiba-tiba Ketuk muncul di muka pintu, mengucap salam,”Assalamu alaikum!” Walaupun masih manas, Mat Belatong terpaksa menjawab salam tersebut: karena menjawab salam hukumnya wajib, memberi salam hukumnya sunat. “Ketuk celake, dah kau jualke ape HP burok kau tu!” sambungnya.
Ketuk ngelakak tertawa. “Kalau ade yang nak beli mahal, boleh ana jual. Barang antik tu Jon!” jawab Ketuk sambil tertawa.
“Kalau belom dijual, ngape pulak awak jawab SMS aku macam itu!?” sambar Mat Belatong. Ketuk kembali tekeruk-keruk ketawa. Sambil memegang perutnya menahan tawa, Ketuk berkata,”Ente ni yang beragam, ngirem SMS macam itu ke ana! Ndakke kite ni tiap ari betemu. Ucapkan sekarang kalimat itu ke ana, tak osah pakai SMS.”
Mat Belatong terdiam. Kemudian ia berpikir: mengucap “marhaban ya Ramadan” kepada orang yang jauh, kepada yang dekat tak terucapkan! Tidakkah ini sebuah kelalaian: baru kunjung-mengunjungi dan bermaaf-maafan setelah lebaran! Waktu bersempit-sempitan di tengah arena dan gaung takbir salat Id orang tak mau berkenalan dan bersalaman sesama ikhwan. Usai khutbah: bedebu balek! Pertanda apa ini?
Kini, beragam pesan singkat berupa ucapan selamat menyambut Marhaban, eh Ramadan bisa dikirim kepada saudara, handai-tolan lewat SMS. Ada yang berupa pantun, syair maupun kalimat-kalimat puitis. Ternyata pantun dan syair – karya sastra zaman Tok Adam – bisa berjalan seiring dengan kemajuan teknologi, tidak mati tergilas globalisasi! Termasuk “ikan sepat, ikan gabos”-pun bisa masuk HP! Celakanya, karena belum mahir memencet tombol HP, yang dialami Mat Belatong: nak cepat, jadi terapos!
Dari seorang pelukis wanita di Bali, Mat Belatong menerima SMS berbunyi: Ikrar penyelamat adalah “sahadat”, senam paling menyehatkan “salat”, hadiah paling baik “zakat”, diet paling sempurna “puasa”, perjalanan paling indah “haji”, media paling mulia “Al-Quran, lagu paling indah “azan”, mandi paling bersih “wudu”, khayalan paling baik “zikir dan taubat”, doa paling bermanfaat “salawat”, hati paling bersih tanpa “prasangka buruk”, insan terpuji “mutaki”.
Mendapat SMS itu Mat Belatong termenung. Pelukis wanita yang kesehariannya itu seperti tak ambil pusing soal agama – dan biasa dicandainya – kini menasihatinya! Mulia dan berat harapannya kepada Mat Belatong. Ternyata secara diam-diam ia berharap Mat Belatong menjadi seorang muslim yang “kaffah” – totalitas! Ia tak ingin sahabatnya: masok nerake!
Tergagap-gagap Mat Belatong balas menulis: Makkaseh Lia atas petunjok dan siraman ruhaninye. Semoge semuenye itu dapat saye lakukan satu demi satu, tahap demi tahap. Selamat menjalankan ibadah puase, mohon maaf laher-baten, wass wr wb.
Dari sekian banyak SMS karya pujangga dadakan – kalau bukan musiman – yang masuk ke HP Mat Belatong, yang paling mengesankan adalah SMS dari Sultan Sintang. Bunyinya begini: Ass wr wb. Ya Allah muliakanlah Saudaraku ini, bahagiakan keluarganya, berkahi rezekinya & kesehatannya, kuatkan imannya, tinggikan derajatnya, eratkan tali persaudaraan kami & kabulkan doanya. Dalam menyambut bulan suci Ramadan, mohon dibukakan pintu maaf buat kami & keluarga. Amin ya Rabbal alamin. Wassalam Sultan Sintang.
Ketuk juga mendapat SMS yang sama. “Jon,” ucap Ketuk,”Tuanku Sultan mendoekan kite, mintak kepada Allah agar kite beduak dimuliakan, ditinggikan derajat!” Mat Belatong menjawab,”Amin, mudah-mudahan dikabolkan Allah. Sebab selamak ini tak pernah ade pejabat tinggi yang mendoekan kite, malar kite jak diajak khatib nadahkan tangan untok mendoekan para pemimpin dan pembesar.”
Ketuk ngelakak tertawa, kemudian berkata,”Kalau kite beduak dah menjadi orang mulia dan berderajat tinggi, lalu ape kerje kite Jon?” Mat Belatong langsung menjawab,”Tinggal bekipas jak, tesandar di korsi burok!”
Ketuk protes,”Kalau maseh bekipas, maseh dudok di korsi burok, ape gak bedenye dengan sekarang?” Mendengar ucapan Ketuk, Mat Belatong langsung menukas,”Udah Ketuk, Tuanku Sultan bukan bedoe atau mintak kepada gubernur, tapi kepada Allah. Kalau mintak dengan gubernur, boleh awak berharap kipas berganti AC, kursi burok berganti sofa. Mintak kepada Allah tentu laen maknanye. Mane yang awak pileh, bekipas dengan AC, dudok di korsi legislatif, atau mulia dan berderajat tinggi di sisi Allah!?”
Sambil tertunduk dan mengangguk-angguk Ketuk menjawab,”Iyelah kalau begitu. Rasulullah jak tak bekorsi, tak bekipas. Di romah, kalau kepanasan, paling bukak baju.”
Seorang wartawan muda mengirim SMA, eh SMS: Si Hamdan kerje di media massa, Cek Mat kerje di Malaysia, bulan Ramadan telah tiba, selamat menjalankan ibadah puasa.
Mat Belatong tekeruk-keruk tertawa. Sempat-sempatnya ia memasukkan si Hamdan dan Cek Mat yang sudah innalillah itu ke dalam HP-nya. Tapi mungkin Hamdan dan Cek Mat yang lain.
Ade jak ide budak-budak tu mbuat “joke” menyambut Ramadan, pikir Mat Belatong. Namun dari kesemua SMS yang masuk itu – dari yang serius hingga yang lucu, dari yang bagus hingga yang rancu (macam: pantun si Tukul – pen) – Mat Belatong menyimpulkan, bahwa kesemuanya berharap: Mat Belatong puasa, jangan tak puasa! Semuanya berharap ia selamat dalam menjalankan ibadah puasa, bukan mendapat musibah karena puasa. Tak ada yang mengharapkan rumahnya roboh kena gempa ketika berpuasa. ***

(Pontianak, 15 September 2007 ).
Tegur-sapa: Telf (0561) 771770 – HP 085252000995.

Versi cetak muat di Borneo Tribune, Minggu 23 September 2007

Read More......

Mat Belatong dan Kurma


Oleh A.Halim R

KARENA hidupnya bersahaja, Mat Belatong tak pernah berkeinginan yang “neka-neka”. Bahkan untuk makan sehari-hari saja, ia tidak ingin mengatur istrinya untuk membeli ini dan itu untuk lauk-pauk mereka. Tatkala ada sesuatu keinginan yang berkenaan dengan makanan yang terbit dari seleranya, ia segera membunuhnya dan melupakannya. Kendati bukan orang Arab, ia menyenangi buah kurma – tanpa pernah mengatakannya kepada seseorang pun – melainkan hanyalah setelah tulisan ini.
Suatu hari, ia mendapat dua kotak (kemasan) buah kurma dari Bujang Rambo. Bagus, empuk dan tidak lengket.
Setelah memakan beberapa butir kurma itu, ia berkata kepada istrinya,”Korme ni bagos.Tengok mereknye, tengok di mane Bujang tu beli.”
Nurlaila istrinya mengamati kemasan kurma itu. Ada tertera harga Rp 6.000,- ada merek Mall Mataso!
Cerita kurma yang satu ini selesai tak berbuntut, sampai kurma itu pesai dimakan Mat Belatong 4 – 5 butir sehari. Hari-hari selanjutnya tak ada kurma yang muncul! Ada sesuatu yang tak koneks: tak nyambung. Padahal tatkala mengatakan kalimat tersebut kepada istrinya, di hati Mat Belatong: ada “udang di balik batu”. Maksudnya: Cobe gak beli korme macam ini untok aku!
Ia “menyembunyikan” kehendaknya, keinginannya, dengan kalimat seperti itu. Tidak berkata langsung: Beli korme yang macam ini untok aku!
Bahwa kemudian ternyata tak sebutir kurma pun yang dibelikan istrinya, bahwa “kalimat terselubung”-nya tak nyambung: tak ada urusannya lagi. Itu urusan Allah! Biarlah ia “terliur-liur”, itu pun Allah yang mengatur!
Beberapa hari sebelum tanggal 1 Ramadan 1428 H, Mat Belatong kedatangan tamu H Amrannurrahim Al-Ayyubi, abang sepupunya. Pembaca jangan panik, kalau mendengar Mat Belatong bersepupu dengan seorang zuriat Al-Ayyubi yang seakan masih bernasab dengan seorang panglima perang Islam masa lampau: Salahuddin Al-Ayyubi. Sebab Mat Belatong sendiri kalau ditelusur-galur bernama:Ahmad ibnu Ramli Al-Rasyid! Seakan masih punya alur kekeluargaan dengan Sultan Harun Al-Rasyid – Khalifah Baghdad – yang sering “dialoi” oleh Abu Nawas! Masalah ini tak perlu dipusingkan, sebab nasab dan nasib orang memang bermacam-ragam. Dan bukankah semua manusia itu tergolong: Bani Adam!? Termasuk Bani Israil, yang tukang bunuh orang Palestina itu.
Kembali ke kurma, gesah punya gesah akhirnya pembicaraan antara Al-Ayyubi dan Al-Rasyid sampai ke soal puasa, pasar juadah, dan berbuka puasa. Mat Belatong Al-Rasyid menyinggung, betapa dalam kehidupan sehari-harinya ia selalu berperang melawan hawa nafsu. Sehingga tak aneh bila selalu: tutup pintu! Takut nafsu nyelonong masuk! Si nafsu itu memang benar: musuh manusia nomor satu! Sampai-sampai ia sendiri tak ingin memasukkan “keinginan”-nya ke dalam daftar menu sehari-hari di rumah mereka, apalagi menu untuk berbuka puasa.
“Aek puteh…pon jadilah,” ucapnya. Padahal tatkala mengucapkan kalimat ini, ada keinginannya untuk menambah pula dengan: 2 – 3 butir kurma. Tapi “kurma” tak dilisankannya, cuma ada di dalam hati. Ia membunuh keinginannya, karena tak ingin memperturutkan “nafsu”-nya berbuka puasa dengan buah kurma.
Tak sampai satu jam setelah Al-Ayyubi pulang, Mat Belatong kedatangan tamu: Jamil Al-Beting (dari: Kampung Beting!). Kedatangannya hanya sekadar mengantar sebuah kotak yang berisi: kurma!
Mat Belatong terperangah menyaksikan “kerja Allah”. Berkali-kali terbukti, bila ia membunuh kehendak seleranya untuk memakan sesuatu: Allah “mengupah”-nya dengan sesuatu itu! Sesuatu mendatanginya tanpa perlu dicari dan dibeli!
Usai salat isyak, Mat Belatong membuka kotak kurma tersebut dan memakan beberapa butir. Alamak, kurma yang sangat bagus: lunak dan lemak! Daging buahnya tebal dan tidak lengket. Serasa kurma Madinah!
Mat Belatong mengamati kotak kurma yang berukuran sekitar 23 x 10 x 4,5 cm itu. Di kemasannya tertulis besar: Bamdates. Di salah satu sisinya tertulis: No Preservatives, No Additives, Packed & Exported by Badr Day Co – Tehran, Iran! Wow, ia telah mendapat kurma dari negeri para Mullah dan Ayatollah!
Mat Belatong segera menghubungi Jamil Al-Beting lewat telepon. “Mel, di mane awak beli korme tu Mel!?” tanyanya. Jamil bertanya,”Ngape Bang Mat?” Mat Belatong menjawab,”Korme tu bagos, lemak sekali. Di mane aku bise beli, berape hargenye?”
Dari seberang Jamil menjawab,”Bang Mat perlu berape banyak? Korme tu sengaje didatangkan oleh Abdurrahman.”
“Abdurrahman Faloga yang ngajar tasawuf tuke?” tanya Mat Belatong. “Iye Bang Mat,” jawab Jamil.
Kemudian, seperti enggan menyebutkan harga barang pemberiannya, Jamil berucap,”Hargenye Rp 40 ribu sekotak. Bang Mat perlu berape kotak, biar saye belikan.”
Mendengar jawaban demikian dari Jamil, Mat Belatong berucap,”Sekotak agiklah untok aku bebukak puase.” Jamil membalas,”Aa, nantik saye antarkan.”
Setelah dialog dengan Jamil Al-Beting itu usai, beberapa saat kemudian Mat Belatong berpikir keras. Hatinya gelisah: ternyata ia telah merancang tentang sesuatu yang hendak dimakannya tatkala berbuka puasa. Itu tidak boleh terjadi! Ia khawatir, puasanya hanya membuahkan: lapar, dahaga dan letih belaka!
Daripada berlarut-larut diliputi kebimbangan, ia kembali menghubungi Jamil. “Mel, soal korme tu lupakkan jak. Jangan beli agik!” ucap Mat Belatong. Agak kaget Jamil menjawab,”Ngape pulak Bang Mat?”
Mat Belatong berucap,”Sekotak yang tadik hadiah dari Allah lewat perantaraan awak. Sedangkan pesanan aku, berasal dari nafsu! Aku tak akan memperturotkan nafsu. Cukoplah sekotak itu bagiku.” Jamil yang paham dengan tabiat Mat Belatong menjawab,”Iyelah kalau begitu.”
Setelah itu Mat Belatong merasa lega, tiada beban dalam menjalani Ramadan. Ia serahkan semua persoalannya kepada Allah. ***

Pontianak, 15 September 2007 ).
Tegur-sapa: Telf (0561) 771770 – HP 085252000995

Versi cetak muat di Borneo Tribune, Minggu 16 September 2007

Read More......