Oleh A. Halim R
ZAMAN dahulu kala orang-orang tua sudah mengenal peribahasa yang berbunyi: bulat air dalam pembuluh, bulat kata dalam mufakat. Air yang tak berotak itu saja bisa bulat kalau masuk ke dalam pembuluh, apalagi kata – yang muncul dari banyak mulut dan otak – bila dibawa ke dalam permufakatan: bisa menjadi bulat!
Namun manusia masa kini, karena salah makan – termakan “reformasi” dan terinfeksi virus “demokrasi” – pepatah lama tak dipakai lagi. Atas nama “reformasi & demokrasi” yang dibawa angin “globalisasi” dari Barat, semua yang berbau lama walaupun peninggalan nenek-moyang, dianggap: basi, tidak trendy!
Sampai-sampai otak pun jadi “blank” kena virus. Dalam keadaan seperti itulah “buih-buih di lautan” mudah terseret arus kemana saja. Ditambah pula ada yang memberi petuah sesat: beda pendapat adalah rahmat! Maka semakin suburlah perbedaan pendapat, semakin jauh dari: bulat kata dalam mufakat. Tak mau mufakat, tak akan diperoleh kata yang bulat. Yang tak bisa bulat itu: tempoyak! Malar nak meleber jak, padannye: henyakkan ke dalam tempayan!
Entah karena ingin menuai rahmat – mungkin pula ditimpa laknat – akhirnya dalam senika hal kita selalu mengetengahkan: beda pendapat! Ngetrend pemeo baru: banyak kepala banyak pendapat! Sah-sah saja beda pendapat! Alhasil, beda pendapat yang mencuat! Tak pernah ingin mufakat untuk menghasilkan: kata yang bulat.
Coba lihat kambing: bukan hanya kata – mbeekk – yang bulat mufakat, yang keluar dari pantat kambing pun bisa: bulat-bulat. Banyak orang yang berhitung memutar biji tasbih, pahadal kambing tak pernah berhitung memproduksi “biji tasbih”. (Maaf. Mungkin ini kata berlebih, jangan jadikan debat dan dalih, hanya ungkapan rasa sedih, keluar dari hati yang pedih! – pen).
Berhadapan dengan situasi seperti ini, Ketuk alias Mat Ketumbi berkata,”Bagos kite tak bekepalak jak, jadi tak banyak pendapat! Barangkali bise gak kata menjadi bulat!”
Mat Belatong terkejut dan membelalakkan mata kepada Ketuk. Tapi kemudian ia berkata,”Mungkin iye Ketuk. Kalau semue orang tak bekepalak, memang tak banyak omong agik, tinggal koroh jak keluar dari lobang tenggorokan!”
Kini balik Ketuk yang bingung dan bertanya,”Biseke orang idop tak bekepalak, Jon?” Mat Belatong ngelakak tertawa. “Awak tengok jak batu babi di Nanga Sepauk Sintang tu! Tegal tak bekepalak lalu disebot batu babi, padahal awalnya bekepalak sapi, peninggalan Hindu zaman bahari!” jawab Mat Belatong. Ketuk mengangguk-angguk. Kemudian ia berkata seperti untuk diri sendiri,”Tegal tak berkepala, sapi lalu disebut babi. Jangan-jangan manusia ‘tak berkepala’ pun jadi babi juga!”
Mat Belatong tekeruk-keruk tertawa. Ketuk tengah “tak berkepala”, lagi error! Dalam keadaan seperti itu “kesimpulan” yang dibuatnya pun sering absurd dan error!
Bukan cuma Ketuk yang sering membuat kesimpulan error, sekarang pun banyak tukang buat kesimpulan yang membingungkan. Malah ada yang mengatasnamakan “survei”. Karena tergolong “tukang”, maka hasil survei pun bisa juga: tergantung pesanan! Tahun 1970-an di Kabupaten Sintang pernah terjadi: Satuan Pemukiman Transmigrasi di Mensiku terpaksa penghuninya “bubrah” ataupun dipindahkan ke lokasi lain, karena lokasi yang mereka tempati tak bisa dipakai untuk bertani! Lahan berpasir kwarsa! Padahal “layak” menurut hasil survei yang dilakukan jauh hari sebelumnya!
Demikian juga yang terjadi dua hari sebelum Pilkada Gubernur Kalbar 15 November 2007 lalu. Tiba-tiba saja kabar terbaca, sebuah lembaga survei ekspos berita, tentang perimbangan suara di Pilkada, membuat rakyat bertanya-tanya. Rakyat jadi pambar dan bingung, karena kerja “tukang tenung”, hasil survei dilansir bergaung, rakyat pening kuping berdengung. Apa yang terjadi setelah itu, hasil survei sangat tak jitu, membuat pambar tak tentu rudu, untung rakyat tak beramuk-bertinju. Syukurlah rakyat sudah dewasa, ditempa musibah adu-domba, sudah letih bersilang-sengketa, menerima hasil Pilkada dengan legawa. Orang Kalbar pantas dipuji, tak mudah lagi diprovokasi, tak membabi-buta ikut politisi, aman dan damai dijunjung tinggi. Buruk kerja terima sendiri, banyak orang tak percaya lagi, hasil survei ditanggap apriori, tak perlu dipakai- dipedomani. Kini apa pun boleh dibeli, hasil survei maupun trofi, termasuk ijazah perguruan tinggi, piagam penghargaan apatah lagi.
Waktu kandidat debat publik, ada telunjuk dilentik-lentik, itu selubung kampanye politik, muncul dari akal yang licik. Kalau awak bisa begitu, orang bisa lebih daripada itu, kalau semua macam itu, akan timbul haru dan biru. Orang lain tak macam itu, karena hati lebih bermutu, sportif dijunjung aturan dipandu, itulah demokrasi yang dituju. Sandrina Malakiano sampai menegur, karena awak tak pakai atur, awak bukan lagi bau kencur, tapi orang public figure. Mat Belatong rasa beramak muka, Mat Ketumbi mengurut dada, melihat tingkah begitu rupa, kenapa begitu kelakuannya. Sangat sukarkah bersikap sportif, semua aturan bukanlah fiktif, mengajak orang menjadi tertib, agar tak bertinju macam sidang legislatif. Kalau orang lain berbuat begitu, tak perlu awak meniru-niru, jaga perbuatan hati dan kalbu, tunjukkan contoh akhlak bermutu.
Namun kembali kepada padah, banyak kepala banyak tingkah, bagai dah hilang akhlakul karimah, tokoh panutan dicari payah. Ulama-umara hampir serupa, bermain politik dalam arena, umat bingung nak ikut yang mana, tingkah-laku sama tak kena.
Tua muda sama tak beri, bertindak untuk senang sendiri, mabuk kepayang lupa mati, halal-haram tak ingat lagi. Rakyat pun krisis kepercayaan, karena terjadi krisis ketokohan, jalan pintas lalu dilakukan, rakyat memilih jadi demonstran. Huru-hara di seluruh negeri, perang dan demo menjadi-jadi, bencana alam di sana-sini, adakah itu yang dicari?
Tuhan sudah beri peringatan, kalau tak sadar laknat dijatuhkan, ulama-umara mabuk sanjungan, rakyat pun bagai hilang ingatan. Mana ulama mana selebritis, payah dipilah payah ditapis, siraman ruhani membuat miris, hadirin menangis bagai histeris. Adakah itu histeria massa, hanyut orasi bersama-sama, baru sadar suatu ketika, karena petuah dai idola. Histeria massa orang kata, mabuk orasi terangsang rasa, banyak orang bisa laksana, termasuk Bung Karno: Ganyang Malaysia!
Tatkala awak sujud bersunyi, tidakkah terasa Allah hadiri, air mata meleleh sendiri, mungkin itu lebih terpuji. Menangis bukan terangsang orang, melainkan diri sadar seorang, air mata berlinang-linang, kasih Allah sangat dikenang.
Di akhir madah kami nak saji, Syair Sultan Syarif Matani, Raja Ketapang zaman bahari, pujangga piawai kocak berperi:
Berjenis rupa serban dan songkok, ada ke kening ada ke tengkok, muda serupa tua yang bongkok, kaidah baru banyak ditokok. Penuh dan sesak di tepi parit, serban tersenget jubah mengeret, adalah juga rupa prajurit, ada yang rupa Jawa Pleret. Berbagai rupa jenis pakaian, putih dan hitam ada sekalian, hijau dan merah seperti bayan, tidak terkenal sangku dan rakyan. ***
* Syair Sultan Syarif: 643 bait (1895 M).
(Pontianak, 28 November 2007).
Tuesday, December 4, 2007
Sirna Mufakat Hilang Bulat
Posted by MAT BELATONG at 12:24 AM 0 comments
Subscribe to:
Posts (Atom)